Syafa Rosita Devi Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Mengenal Ibrahim bin Adham, Seorang Pangeran yang Meniti Jalan Sufi

2 min read

Ibrahim bin Adham memiliki nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Adham. Ia lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. Ia dikatakan sebagai seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya dalam legenda sufi, yang kemudian mengembara ke arah Barat untuk menjalani hidup sebagai seorang petapa dengan mencari nafkah yang halal hingga diperkirakan meninggal di negeri Persia pada tahun 160 Hijriah atau 777 Masehi. Dikatakan dalam beberapa sumber, bahwa Ibrahim terbunuh saat mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium.

Mengenai identitas dan kisah peralihan Ibrahim bin Adham menjadi seorang zahid yang menjadi topik favorit para sufi. Ia seringkali dibandingkan dengan kisah Budha Gautama. Diriwayatkan:

“Ayahku dari Balkh”, kata Ibrahim bin Adham, demikian diceritakan. Ia adalah salah seorang amir di Khurasan. Ia amat kaya, dan mendidikku agar aku senang berburu. Ketika aku sedang berkuda bersama anjingku, kulihat seekor kelinci. Kudera kudaku; tiba-tiba kudengar sekilas suara di belakangku: “Bukan untuk ini kau diciptakan, bukan ini kewajibanmu.” Aku berhenti, menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak seorang pun kulihat, lalu aku menyumpah: “Semoga Allah melaknat iblis itu!” Kudera lagi kudaku; dan kudengar suara yang lebih jelas daripada sebelumnya: “Hai Ibrahim! Bukan untuk ini kau diciptakan, bukan ini kewajibanmu.” Aku berhenti seraya berkata: “Aku telah disadarkan! Aku telah disadarkan! Allah, Tuhan alam semesta, telah mengingatkanku. Sungguh, mulai hari ini aku akan patuh kepada Allah, selama Allah memeliharaku.” Maka aku kembali pada pengawal-pengawalku dan kutinggalkan kudaku. Ku hampiri salah seorang pengawal ayahku, kucopot jubah dan mantelnya, kuganti dengan pakaianku, lalu aku berangkat menuju Irak, berkelana dari negeri ke negeri.

Kisah ini selanjutnya memaparkan bagaimana Ibrahim bin Adham mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain yang berusaha untuk menemukan jalan hidup yang halal. Dan akhirnya sampai di Syria, ia hidup dari bekerja sebagai tukang kebun di sana. Namun lambat laun, orang-orang mengetahui identitas Ibrahim bin Adham yang sebenarnya. Maka pergilah ia dan hidup di daerah gurun. Di sana ia berteman dengan zahid-zahid Kristen. Ia memperoleh pengetahuan sejati mengenai Tuhan dan menerima pelajaran melalui para zahid Kristen tersebut.

Baca Juga  Syekh Yusuf al-Makassari dan Jaringan Tarekat Syattariyah di Nusantara

Ibrahim bin Adham mengatakan: “Kupelajari ma’rifah, kisahnya kepada seorang murid, dari seorang rahib, Bapa Simeon namanya. Kukunjungi di dalam biaranya, dan aku bertanya: “Bapa Simeon, telah berapa lama Anda tinggal di biara ini?” “Tujuh puluh tahun” jawabnya. “Apa yang Anda makan?” tanyaku lagi. “Wahai Hanifah” ucapnya. “Mengapa Anda tanyakan ini?” “Aku ingin tahu”, jawabku. Kemudian ia menjawab: “Satu buncis setiap malam”.”

Ibrahim bin Adham adalah merupakan salah seorang zahid di Khurasan yang sangat populer di zamannya. Meskipun ia putera seorang raja dan pangeran di Balkh, namun ia tidak tergiur oleh kekuasaan  dan kerajaan yang dibawahinya. Ibrahim bin Adham lebih memilih mengenakan baju bulu domba yang kasar dan memusatkan pandangannya ke negeri Syam (Syria), daerah di mana ia hidup sebagai penjaga kebun dan pekerjaan kasar lainnya.

Suatu ketika Ibrahim bin Adham ditanya: “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Lalu ia menjawab: “Kupegang teguh agama di dadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri yang lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku mengira aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bisa memelihara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan mejaga keimananku, sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematian.

Kemudian di antara ucapan-ucapannya, Ibrahim bin Adham juga pernah mengatakan: “Ketahuilah, kamu tidak akan bisa mencapai peringkat orang-orang saleh kecuali setelah kamu melewati enam pos penjagaan. Hendaklah kamu menutup pintu gerbang kenikmatan dan membuka pintu gerbang kesulitan, hendaklah kamu menutup gerbang kemusyrikan dan membuka pintu gerbang kehinaan, hendaklah kamu menutup pintu gerbang hidup santai dan membuka pintu gerbang kerja keras, hendaklah kamu menutup pintu gerbang tidur dan membuka gerbang jaga tengah malam, hendaklah kamu menutup pintu gerbang kekayaan dan membuka pintu gerbang kemiskinan, dan hendaklah kamu menutup pintu gerbang cita-cita dan membuka pintu gerbang kesiapan menghadapi mati.”

Baca Juga  Benedict Anderson, Gus Dur dan Cak Nur (1)

Agaknya Ibrahim bin Adham juga pernah berdo’a: “Ya Allah, Engkau tahu bahwa surga tak layak bagi diriku, walau seberat sayap agas pun. Jika Kau lindungi diriku, Engkau cintai diriku dan Kau mudahkan bagiku dalam menaati-Mu, maka karuniakanlah surga-Mu bagi yang Engkau kehendaki.” Dalam sebuah suratnya kepada salah seorang zahid, ia menulis:

“Aku harap Anda bertakwa kepada Allah. Dia wajib ditaati. Kepada-Nya lah Anda berharap. Bertakwalah kepada Allah. Karena yang bertakwa kepada-Nya akan mulia dan agung. Ia takkan lapar dan takkan haus, dan jiwanya akan lebih mulia daripada dunia. Raganya sungguh tampak berada di antara bangsa-bangsa di dunia ini, namun hatinya berada di akhirat. Bila hatinya senang kepada dunia ini, maka mata hatinya akan buta. Karenanya ia akan membenci segala yang haram di dunia ini, dan menghindari pesonanya”.

Demikianlah sebagian isi surat yang di tulis oleh Ibrahim bin Adham yang akan ia berikan kepada seorang zahid. Jika dilihat dari ungkapan-ungkapan sebelumnya, tampak sangat jelas betapa besarnya ia diliputi oleh rasa takut. Sama halnya semua zahid semasanya, berusaha sungguh-sungguh demi menggapai akhirat, sikap zuhd terhadap dunia dan tindakan yang tidak mengenal kompromi dalam ketaatan yang dilakukannya.

Syafa Rosita Devi Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya