Banyak yang bertanya-tanya dan terheran-heran kenapa ada orang yang berpendidikan dan bersekolah tinggi bisa menjadi ultrakonservatif, superfanatik, intoleran, radikal dan militan dalam beragama dan bersosial-kemasyarakatan?
Anda tak perlu heran karena memang konservatisme, fanatisme, intoleransi, radikalisme dan militansi itu tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan sekolahan atau kelas sosial. Tidak ada jaminan orang semakin berpendidikan dan bersekolah tinggi akan semakin moderat, toleran, damai dan pluralis.
Sejarah mencatat banyak para ilmuwan yang berkongkalikong dengan rezim politik, pemerintah kolonial, badan intelijen, dan otoritas keamanan untuk menaklukkan masyarakat dan membumihanguskan manusia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa “orang sekolahan” bisa menjadi radikal dan bigot.
Pertama, sejarah dan pengalaman pribadi yang getir. Sejumlah pentolan dan pentilan kelompok Islamis radikal, termasuk para ideolognya, menyaksikan dan mengalami masa-masa getir dalam hidupnya. Ada yang menjadi korban kolonialisme, diskriminasi, ketidakdilan, rasisme, kekejaman, kekerasan, dipenjara, ancaman pembunuhan, atau menyaksikan kekalahan demi kekalahan, dlsb.
Sayyid Qutub, Muhammad Qutub, Muhammad Surur, Sa’id Hawwa, Osama, Maududi, Ayman Zawahiri, Abdullah Azam, Nabhani, dlsb semua pernah mengalami sejarah hidup yang kelam dan buram. Para dedengkot dan anggota faksi ormas dan parpol radikal di Mesir, misalnya, banyak yang insinyur atau profesor di kampus. Begitu pula di kawasan lain. Silakan baca buku Engineers of Jihad.
Sejarah hidup yang penuh dengan kepahitan itu kemudian “dilampiaskan” dengan berbagai cara: ada yang menulis karya-karya radikal, ada yang membuat ormas, ada yang mengumandangkan teror dan jihad, dlsb.
Kedua, kepentingan politik-ekonomi yang menggebu-gebu dan gairah ingin berkuasa yang meluap-luap. Karena didorong oleh gairah dan kepentingan ini, banyak dari “wong sekolahan” yang mendadak menjadi picik, pikun, rabun dan sontoloyo. Gairah dan kepentingan yang menggelora ini bisa menumbangkan akal sehat dan hati nurani.
Ketiga, overdosis kebencian pada orang dan kelompok tertentu juga bisa merontokkan akal sehat dan hati nurani orang-orang sekolahan. Kebencian ini bisa karena dilatari dan dimotivasi oleh sentimen agama, ras, etnik, politik dan lainnya, atau kalah nyapres, dll.
Keempat, malas membaca dan mempelajari pendapat, argumen, perspektif, dan karya-karya dari berbagai sumber dan sarjana. Orang sekolahan juga belum tentu mau membaca dan mempelajari keanekaragaman karya dari para ilmuwan yang beraneka ragam. Banyak orang sekolahan yang sebetulnya mengidap penyakit “intellectual laziness” yang kemudian berdampak pada pribadi yang angkuh.