Bagi orang yang awam sejarah sosial-politik umat Islam–baik yang bersekolah tinggi maupun bukan, baik guru besar maupun guru kecil, baik kelas elit maupun kelas proletar – mereka akan menganggap kampanye dan propaganda Hizbut Tahrir (termasuk antek & makelarnya di Indonesia – almarhum HTI, semoga arwahnya tidak gentayangan) tentang “Khilafah” (kadang ditambahi embel-embel “Khilafah Islamiyah” supaya lebih meyakinkan) itu sebagai sesuatu yang valid, autentik dan benar adanya.
Tetapi bagi para sarjana dan sejarawan yang membaca, mempelajari dan mendalami sejarah sosial-politik umat Islam, mereka akan menertawakan apa yang dikampanyekan HT & HTI tentang “Khilafah” itu dan menganggapnya sebagai bualan atau propaganda politik saja. Tak lebih dan tak kurang.
Seperti Anda ketahui, para pentolan dan pemandu sorak HTI sering bilang (atau “berbohong” tepatnya) kalau semua umat Islam selama kurang lebih 15 abad, sejak wafatnya Nabi Muhammad (w. 632 M) hingga Turki Usmani (Ottoman) mempraktikkan sistem politik-pemerintahan bernama Khilafah sebelum dihancurkan oleh kaum penjajah dan sekuler hingga akhirnya “Khilafah” ini benar-benar tamat riwayatnya pada tahun 1923. Itulah yang dipropagandakan oleh Ikhwanul Muslimin, al-Qaeda, ISIS, Hizbut Tahrir, Jamaah Islamiyah dan kelompok Islamis dan jihadis lainnya.
Dalam propaganda itu, seperti biasa, mereka membayangkan kalau sistem Khilafah dulu sangat baik dan sempurna yang mampu membawa umat Islam hidup adil, makmur, aman, tenteram, damai dan sentosa bak kehidupan di alam surgawi. Hanya orang-orang yang ber-IQ rendah dan pengkhayal saja yang mempercayai bualan ini.
Apakah umat Islam dulu ada yang hidup di bawah rezim politik-pemerintahan bernama khilafah? Tentu saja ada. Tetapi itu hanya nama saja dan bukan satu-satunya nama yang dipakai oleh para rezim politik umat Islam sejak zaman dahulu kala. Sepeninggal Nabi Muhammad, umat Islam berada di bawah kontrol berbagai kekuasaan rezim politik-pemerintahan.
Ada ratusan rezim politik-pemerintahan yang membentang di berbagai kawasan: Jazirah Arabia & sekitarnya (Saudi, Yaman, Oman, Bahrain, UEA, Qatar dan Kuwait), Mesopotamia & Levant (Irak, Suriah, Libanon, Yordania dan Palestina), Iran, Anatolia (Turki dan sekitarnya), Afrika Barat, Afrika Utara. Ini belum termasuk di Asia Tengah, Selatan, dan Tenggara. Di masing-masing wilayah ini, ada berbagai rezim dan sistem politik-pemerintahan silih-berganti pemimpin dan nama sistem pemerintahan.
Mereka ada yang memakai nama Daulah (negeri), Mamlakah (kerajaan), Saltanah (kesultanan), Imarat (Keamiran), Shaikhdom, dlsb. Suka-suka mereka saja mau pakai nama apa. Kini, semakin bertambah namanya, misalnya Jumhuriyah (Republik). Sama seperti sejarah kerajaan di Nusantara juga begitu: gonta-ganti nama. Karena nama sistem politik-pemerintahannya berbeda-beda, nama pemimpin politik-pemerintahannya pun berbeda-beda: khalifah, malik, sultan, amir, syaikh, dlsb.
Kenapa mereka memakai nama penguasa dan sistem politik-pemerintahan yang berlainan? Karena Islam tidak mengatur sistem politik-pemerintahan. Tidak ada juklak dan juknis tentang sistem politik-pemerintahan dalam Islam dan Alquran. Yang ada adalah “pesan moral”, misalnya pemimpin itu harus adil, bijak dlsb.
Sendainya ada dan diatur dengan jelas – misalnya sistem khilafah – tentu semua umat Islam dari dulu akan memakai nama yang seragam (khilafah). Tapi kenyataannya tidak. Hingga kini pun, tidak ada satu sentipun negara mayoritas Muslim di dunia ini yang memakai sistem khilafah. Masak mereka bodoh semua? Masak hanya HTI yang mengaku pinter?
Tetapi apapun nama sistem politik-pemerintahan yang dipakai oleh umat Islam dulu, esensi dan intinya adalah sama, yaitu monarki, dinasti, imperium, kekaisaran, atau kerajaan. Ciri-ciri utama sistem monarki ini adalah pemimpin tertinggi pemerintahan berasal dari keturunan atau keluarga si “monarkh” (raja, emperor, kaisar, malik, sultan dlsb), bukan dari keturunan dan keluarga si munaroh.
Kemudian, ciri-ciri lainnya adalah meskipun mereka menggunakan simbol-simbol Islam, dalam praktiknya sistem politik-pemerintahan mereka adalah berbasis suku, klan, etnis, dan sekte dan mazhab keislaman (Sunni, Syiah, Mu’tazilah, Ibadiyah, Sufi, Imamiyah, Ismailiyah, Zaidiyah, Ja’fariyah, dlsb).
Semua tergantung pada siapa yang memegang kendali dan kontrol kekuasaan. Masing-masing kelompok ini – Arab, Turki, Berber, Persi, Kurdi, Mongol, Bani Hasyim, Bani Umayah, Bani Khalid, Bani Tsani, Bani Rashid, Bani Ilyas, Sunni, Syiah, dlsb – semua saling berebut kekuasaan satu sama lain. Bukan hanya “antarkelompok” (Arab versus Turki misalnya) tetapi juga “intrakelompok” (sesama Arab, sesama Turki, sesama Persi dlsb).
Apakah sistem hukum yang mereka pakai selalu berbasis hukum Islam? Tidak selalu. Ada yang campuran dengan hukum-hukum sipil lain. Kalaupun ada yang berbasis pada hukum Islam, mereka menggunakan sistem hukum Islam yang sesuai dengan aliran teologi, mazhab fiqih, dan tentu saja selera sang penguasa. Sunni, Syiah, Mu’tazilah, Ibadiyah dlsb menggunakan sistem hukum yang berlainan dalam sistem pemerintahan mereka.
Akhirul kalam, di zaman internet ini dimana semua informasi bisa diakses dengan gratis secara virtual, idealnya dan seharusnya membuat umat manusia bisa semakin pintar dan cerdas dalam bersikap dan berpikir sehingga tidak mudah dibodohi dan menjadi korban propaganda politik para tengkulak khilafah.
Silakan baca sejarah sosial-politik dan pergolakan berbagai dinasti Islam sejak klasik hingga abad ke-20 meskipun dikit-dikit supaya Anda melek sejarah dan tidak kurang wawasan: sejak Umayah di abad ketujuh hingga Usmaniyah atau Turki Usmani. Umayah, Abbasiyah, Fatimiyah, Andalusiyah, Ayubiyah, Buridiyah, Hamdaniyah, Saljuk, Asadiyah, Numairidiyah, Tulunyah, Mamluk, Samani, Safavi, Alavid, Buyidiyah dll dsb. [MZ]