“Boy, lebaran jadi imam shalat Ied ya…”Begitu permintaanku sebagai Ibu sekitar seminggu sebelum Idul Fitri diumumkan. Awalnya ia menunjukkan keenganan. Pagi tadi seusai subuh, karpet digelar, sajadah dihamparkan, kami menunggunya. Ia turun dengan pakaian bersih pilihannya, tampak sedikit gugup memimpin shalat yang biasanya kami laksanakan di masjid atau lapangan.
Saya sendiripun gugup dan mengingatkannya urutan-urutannya, termasuk jumlah dan bacaan diantara takbir: Subhanallah wal hamdulillah walaa ilaaha illallah wallahu akbar”. Bacaan ini mengingatkan saya, mungkin juga dirinya, yang selalu dilantunkan sebagai nina bobo ketika ia balita. Dari ibuku, aku dan kini dirinya.
Ada rasa hangat mengalir, haru sekaligus gembira. Lebih dari menghadiri kelulusan atau berbagai perfomancenya. Padahal, rasanya baru kemarin ia ditidurkan disisiku, dan aku menghentikan shalat untuk memangkunya, ketika anak lain memukulnya. Rasanya baru kemarin pula mengendongnya saat shalat, atau ia naik ke punggung saat sujud. Waktu berjalan dengan cepat, ia berdiri didepan dan kami makmum atas dirinya.
Walau tidak sesempurna bacaan ustadz, shalat ditunaikan dengan tertib, kami menunggu khutbah yang akan diberikan. Diambilnya kaleng krupuk, diletakkan didepan, laksana di belakang mimbar ia berkata: “Mungkin ini bukan khutbah, tapi hanya sebuah cerita.” Kami diam menunggu setiap kata yang akan disampaikan oleh Adzan Bintang Aslama.
Kisah Roti dan Ilmu Pengetahuan
Di sebuah desa yang penduduknya makan-makananan utamanya adalah roti, hiduplah seorang tukang roti. Setiap hari ia membagikan roti kepada setiap penduduk. Penduduk desa itu menerimanya dengan sukacita tanpa pernah mempertanyakan: “Dibuat dari apakah roti ini?”, “Bagaimana cara membuatnya?”
Sampai kemudian, ada seorang penduduk memperhatikan roti yang diterimanya. Ia berpikir, ini dibuat dari apa? Kemudian ia melakukan observasi ke rumah tukang roti. Ternyata tukang roti selalu membeli tepung setiap hari, maka dibelilah tepung. Setelah dibelinya tepung, timbul pertanyaan kembali: “tepung ini diapakan?”. Kembalilah ia ke rumah tukang roti. Ia melihat tukang roti menambahkan air dan menjadikannya adonan. “Oh, begitu caranya...adonan tinggal dibakar” simpulnya. Ia pun berlari ke rumahnya dan meniru apa yang dilakukan tukang roti. Namun, roti yang dihasilkannya tidaklah sama rasanya. Ia mencobanya lagi…lagi…dan lagi
Akhirnya tukang roti mendengar upaya yang dilakukan Si Penduduk ini. Tukang rotipun datang. “Tambahkan ragi…”sarannya. Benar setelah diberi ragi, rasa rotipun hampir sama seperti buatan tukang roti. Iapun bisa berbagi roti-roti yang berhasil dibuatnya.
Saya terpana, karena belum pernah mendengar cerita si Pembuat Roti ini. Melihatnya dengan tenang bercerita, saya terkenang saat ia belum bisa membaca. Ia ‘membacakan’ satu buku cerita Franklin Takut Gelap kepada teman-teman bermainnya. Tidak ada yang berkurang, dengan intonansi persis seperti ketika saya membacakannya. Atau ia mendongeng dengan boneka tangan tentang sampah dan lingkungan persis seperti bapaknya. Kini, saya menyadari kemampuan berceritanya didapat dari dongeng-dongeng yang kami bacakan. Kecerdasan berbahasanya karena keakrabannya dengan buku saat kanak-kanak. Sayapun menunggu hikmat dari cerita si Pembuat Roti dan si Penduduk.
Jika kita bandingkan, penduduk-penduduk desa ini bagaikan umat manusia dan roti yang diberikan oleh pembuat roti adalah rahmat yang diberikan oleh Allah SWT. Kebanyakan dari manusia di masa sekarang hanya menerima rahmat-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana Tuhan memberikan rahmatnya kepada umat-Nya.
Namun, tak semuanya berpikir demikian. Seperti yang digambarkan oleh si Penduduk yang mencari tahu bagaimana cara membuat roti tersebut. Orang-orang yang digambarkan sebagai si Penduduk ini adalah mereka yang mencari ilmu pengetahuan termasuk ilmu sains. Mereka melakukan observasi, penelitian, riset terhadap alam yang diciptakan oleh Allah SWT. Mereka mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan, seperti ketika si Penduduk melihat Pembuat Roti membeli tepung setiap hari dan mencampurkannya dengan air. Ketika mereka tidak mendapatkan petunjuk baru, maka Allah sendiri yang akan memberikannya kepada mereka yang berikhtiar seperti si Pembuat Roti yang menyarankan untuk menambahkan ragi.
Apa hikmahnya? nikmat yang kita terima sejatinya tidak hanya dinikmati, tapi harus dipahami, disyukuri, dan dibagi. Dari kisah ini apa yang kita dapat, bisa digunakan sebagai ilmu untuk mencapai suatu tujuan. Seperti yang ditulis di Ar-Rahman ayat 33: “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”
Kekuatan di ayat ini bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan, sains dan tehnologi yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada para ilmuwan melalui observasi dan riset. Dari kekuatan itulah jin dan manusia bisa melakukan hal-hal yang awalnya dianggap mustahil, seperti menjelajahi ruang angkasa.
Ia sempat menyinggung Stephen Hawking dan perbedaan pendapat atas pemikiran-pemikirannya. Saya seperti mendengarkan pengalamannya berkenalan dengan ilmu pengetahuan. Di masa-masa balitanya, saya yang memilih penuh bersamanya, menjelajahi pengetahuan melalui bermain. Namun, yang paling membuatnya antusias adalah tema-tema ruang angkasa.
Saat sudah SD, ia membaca terjemahan karya Stephen Hawking dan Lucy Hawking berjudul George’s Secret Key to The Universe jilid I dan II. Saya ingat membelikan buku seri pertama saat kelas empat SD yang dengan sekejap habis dibacanya. Kecerdasan Stephen dan Lucy adalah kemampuan menerjemahkan teori-teori fisika ke dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Buku itu sendiri bercerita tentang George, anak cerdas yng mempunyai keingintahuan dan minat sangat tinggi terhadap luar angkasa dan alam semesta. Dia baik hati, sopan, jenaka, berani, panjang akal, setia, polos, yang agak mustahil kita temukan di dunia nyata sekarang. Teman berpetualangnya, Annie, dan ayah Annie, Erick, seorang ilmuwan Global Space Agency (semacam NASA nya) yang mempunyai Cosmos, komputer mega-canggih berkemampuan membuka portal kemana saja di alam semesta ini. George, Annie dan Cosmos melakukan berbagai petualangan ke luar angkasa.
Melalui bacaan-bacaan dan dialoqlah kemudian logika sainsnya terbentuk. Bukan perkara mudah, karena dalam pergaulannya kemudian ia dirudung ‘sok tahu’ atau ‘terlalu dewasa’. Cara berpikir yang mengedepankan logika ini, saya lihat mempengaruhi pendapat dan pengambilan keputusannya. Ia meradang ketika organisasi yang diikutinya dibina oleh yang disebutnya golongan bumi datar. Iapun memilih keluar. Walau saat itu tentu saja saya kecewa.
Kami memperkenalkannya dengan sedikit filsafat melalui film dan novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, dan mitologi Yunani. Tapi, layaknya anak-anak ia sangat akrab dengan Doraemon dan Anime yang menjadi teman imajinasi akan alat-alat yang mungkin diciptakan. Perkenalannya dengan karakter anime Astro Boy karya Osamu Tezuka membawanya membaca karya-karya monumental Osamu yaitu “Sang Budha” dan “Adolf” yang sangat menyentuh nilai-nilai kemanusiaan.
Saya tidak tahu, apakah interaksinya dengan manga dan anime inilah yang membuatnya ‘banting setir’ dari cita-citanya menjadi saintis ke komikus. Saya sempat kecewa ketika memasuki SMA intensitas membacanya menurun tajam, tapi kemudian saya menyadari ada perbedaan media, ia beralih ke berbasis web. Kamipun menyadari buku-buku yang menurut kami baik, belum tentu disukainya atau bersesuaian dengan jamannya. Ia memilih apa dan media apa yang disukainya.
Pilihannya menekuni manga dan anime,tidak sesederhana yang saya pikir. Ternyata, tidak sekedar menggambar, namun harus menguasai persfektif ruang, anatomi tubuh berbagai kelompok ras, spektrum warna, emosi wajah dan melakukan riset untuk memastikan detail kontennya berkesesuaian. Ketika kebebasan berpikir dan berpendapat kami coba terapkan, maka kami harus konsisten dengan pilihan tersebut. Pada titik temu ini, sebagai Ibu sayapun banyak belajar darinya tentang budaya Jepang, nilai-nilai yang diusung komunitasnya dan mendengarkan pengalamannya menjadi mediator bagi kawan-kawannya. Ia melanjutnya ceirtanya menuju pada kesimpulan:
Seperti Si Penduduk yang mempertanyakan apa dan bagaimana membuat roti, ia tidak akan pernah mengetahuinya jika ia tidak mencari tahu dan melakukan berbagai ujicoba. Roti yang kita nikmati tidak datang dengan sendirinya, melainkan melalui ilmu pengetahuan dan ujicoba. Disinilah ilmu pengetahuan yang diberikan kepada ilmuwan oleh Allah berperan untuk menjelaskan nikmat Allah. Selanjutnya, hasil ilmu pengetahuan itu dibagikan agar kita sebagai manusia mensyukuri apa yang telah Allah diberikan. Jadi pahami, syukuri dan berbagilah atas setiap nikmat.
Sebagai Ibu, mungkin hal ini adalah pencapaian setelah menemaninya selama 18 tahun. Tapi tugas orangtua tidak akan pernah selesai sampai kami menutup mata. Akan dibutuhkan banyak dialoq, negosiasi dan kompromi diantara kami bertiga. Namun dari simpulannya diatas, sebagai ibu dan kawannya, saya tidak meragukan bahwa pengetahuan dan ketrampilannya akan selalu diperuntukkan bagi kepentingan kemanusiaan, dengan tetap tunduk kepada Tuhannya, seperti nama aslama di belakangnya. Mungkin terlalu berlebihan, buat saya ini adalah shalat Idul Fitri terbaik. []