Intropeksi Diri sebagai Kontrol Kita di hadapan Tuhan

2 min read

Semakin bertambahnya usia, semakin menunjukkan kedewasaan seseorang. Melalui proses kedewasaan inilah terkadang seseorang ingin mengubah dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Sebelum mengubah semua itu, hendaknya seseorang mengetahui dirinya sendiri. Ia harus mampu mengintropeksi dirinya mulai dari hal yang terkecil sampai terbesar. Dalam Islam, proses ini biasa dinamakan muhasabah diri.

Muhasabah diidentikkan dengan mengintropeksi atau menilai diri sendiri dengan menggunakan Al-Qur’an serta sunah sebagai acuan untuk dijadikan penilaian, bukan berdasarkan keinginan diri sendiri.

Bahkan di dalam Al-Qur’an seorang muslim dituntut untuk selalu bermuhasabah. Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 18 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dari ayat tersebut jelaslah mengisyaratkan untuk selalu bersikap amar makruf nahi mungkar, dan hal itu hendaknya dibarengi dengan sifat untuk selalu memperhatikan dirinya sendiri yaitu dengan melihat kesalahan yang telah diperbuat.

Setelah berintropeksi pada diri sendiri, maka kita dapat menjadikan pelajaran untuk keesokannya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Muhasabah merupakan salah satu metode dalam ilmu tasawuf yang dapat membentuk individu untuk mampu berintrospeksi, dan menilai diri agar mampu bertambah baik perilakunya.

Selain bermanfaat untuk diri sendiri, muhasabah juga mampu menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada beberapa syarat muhasabah yang dikemukakan oleh al-Ghazali: musyarathah (penetapan syarat); muraqabah (merasa diawasi); muhasabah; mu’aqabah (menghitung diri atas segala kekurangan); mujahadah (bersungguh-sungguh); dan mu’atabah (mencela diri).

Berdasarkan ijmak, muhasabah hukumnya wajib. Seseorang yang melakukan muhasabah berarti secara automatis dapat dikatakan bahwa orang tersebut meyakini bahwa Allah menghitung semua amal yang dilakukan, baik amalan yang baik maupun buruk.

Baca Juga  Generasi Millenial, Industri 4.0 dan Ilmu Hadis [2]: Menuju Intelektual yang Berpihak

Metode muhasabah dapat dilakukan dengan wawas diri. Ini merupakan salah satu cara untuk melakukan penghitungan terhadap dirinya sendiri melalui apa yang telah terjadi pada masa lampau, memperbaiki kedaan saat ini, dan tetap berpegang teguh pada jalan yang benar.

Dengan fokus terhadap metode wawas diri, selain dapat mendorong orang untuk menyadari kesalahannya, dapat pula memotivasi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah seseorang mampu bermusahabah kepada Allah, maka ia akan merasakan muraqabah, di mana ia merasa bahwa Allah selalu mengawasi dirinya dalam berbagai hal. Dalam hal ini berarti ia sudah meyakini bahwa Allah itu ada serta meyakini bahwa akan ada perhitungan amal baik dan buruk kelak.

Orang yang ber-muqarabah sepenuhnya kepada Allah, maka jika ada bisikan setan untuk bermaksiat kepada Allah dalam segala bentuk, cahaya iman dalam hatinya akan memberi sinyal penolakan untuk menolak bisikan tersebut. Sebaliknya, jika ada peluang untuk melakukan kebajikan, maka sinyal cahaya dari hati akan mengaktualisasikannya.

Sebagai seorang hamba hendaknya harus mampu mengontrol keadaan dirinya dalam tiga cara, yaitu mengerjakan semua kewajiban Allah yang harus dilaksanakan kepada-Nya, serta menjauhi segala sesuatu yang dilarang dan memberikan kemaslahatan jasa dan batinnya disamping menjadi dukungan terhadap ketaatannya.

Dari masing-masing tersebut hendaknya memiliki batasan-batasan yang harus dijaga, yaitu dengan bermuqarabah. Tentunya semua itu juga akan memberikan dampak yang besar terhadap diri kita. Dampak itu terletak pada hubungan terhadap Allah (hablun minallah) serta hubungan terhadap manusia (hablun minannas).

Secara otomatis, jika hubungan kita terhadap Allah baik, maka secara tidak langsung hubungan kita terhadap manusia juga akan baik. Sudah terlihat jelas, jika hubungan kepada Allah baik tentunya seorang hamba juga memiliki sifat dan kepribadian yang baik terhadap sesama—dalam artian, baik terhadap Allah berarti ia sudah menjadi seorang hamba yang taat terhadap segala perintah dan larangan-Nya.

Baca Juga  Antara Mengikuti Idola dan Menganut Sebuah Keyakinan

Jika dikaji lagi, antara muhasabah dan muraqabah merupakan dua hal yang memiki tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Tentu jika seseorang telah menanamkan kedua hal tersebut, maka setiap diri dituntut untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai ihsan.

Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh ketika seorang hamba rajin bermusahabah dan ber-muqarabah, di antaranya ia akan lebih mudah mengetahui aib dan kekurangan dirinya dan berusaha semampu mungkin untuk menghilangkannya; yang kedua ia akan selalu beristiqamah dijalan Allah sebab dia sudah mengerti bahwa keimanan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan kelak diakhirat; dan yang terakhir ia akan terselamatkan dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat.

Lalu, setelah mengetahui penjelasan diatas serta beberapa manfaat yang diperoleh dari hasil muhasabah dan muqarabah, Apakah kita bisa melakukan kedua hal tersebut dengan istikamah?

Jika kita berusaha untuk menanamkan keduanya secara langsung pada diri kita, tentunya sangat sulit. Yang pertama kita bisa melakukan muhasabah, hendaknya muhasabah dilakukan sejak dini agar mulai terbiasa.

Setelah seseorang sudah mampu bermuhasabah pada diri kita serta lingkungan, selanjutnya orang tersebut pasti akan merasa bahwa semua perbuatan yang dilakukan selalu diawasi oleh Allah. [AR]