Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin

Generasi Millenial, Industri 4.0 dan Ilmu Hadis [2]: Menuju Intelektual yang Berpihak

2 min read

Dalam menghadapi tantangan-tantangan seperti sebelumnya (Generasi Milenial, Industri 4.0 dan Ilmu Hadis [1]: Menerawang Problem Kita), diperlukan upaya dan kerja keras yang dilakukan oleh seluruh pihak terkait. Jika kita spesifikkan generasi millenial sebagai pemuda-pemudi yang fokus dan intens di bidang hadis (baca: mahasiswa prodi hadis), maka dengan rendah hati dan penuh kesadaran kita perlu menyadari bahwa tugas ini merupakan tugas yang tidak mudah. Perlu ketelitian, kesabaran, bahkan mentalitas yang kuat. Mengapa demikian? Karena disiplin ilmu yang kita geluti memang secara mendasar merupakan keilmuan yang lahir dan hidup dalam dan dari “agama”. Sehingga, secara epistemologis, sumber keilmuan kita lebih banyak diambil dari tradisi “riwayat” dan “naql”, sedangkan untuk penalaran dan analisis dengan perangkat “aql”, tampaknya fungsi ini mesti diberi tanda kurung ().

Kajian dan diskursus hadis yang berlangsung berabad-abad telah memasuki berbagai fase. Nuruddin Itr menyebut bahwa pada masa sekarang, kajian hadis memasuki era kebangkitan. Pendapat bahwa kajian hadis telah memasuki era kebangkitan tentu perlu pembuktian supaya tidak hanya menjadi klaim sepihak. Bagaimanakah cara membuktikannya? Tentu terdapat indikator-indikator yang dapat kita rumuskan bersama.

Satu indikator yang dapat kita sepakati adalah sejauh mana kajian hadis ini mampu menghadirkan karya yang menginspirasi pemikiran dan gerakan umat Islam dalam menghadapi tantangan kemajuan dunia global. Kenyataannya adalah, bagi beberapa kelompok, hadis dijadikan doktrin-doktrin normatif yang justru menghambat perkembangan kemanusiaan. Hadis “segala sesuatu yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat layak dimasukkan ke neraka” belum sepenuhnya dimaknai dengan baik dan tepat dalam merespon perkembangan dunia saat ini.

Baca Juga  Ada Apa dengan Bilboard Kepak Sayap Kebhinekaan?

Padahal, dalam hadis lain disebutkan pentingnya menghadirkan gagasan dan produktivitas baru seperti yang tertera pada “siapa yang menghasilkan sunnah (tradisi) yang baik, maka baginya pahala atas kebaikan yang ia perbuat dan pahala atas orang lain yang melakukan setelahnya. Dan siapa yang menghasilkan sunnah (tradisi) yang buruk, maka baginya dosa atas keburukan yang ia perbuat dan dosa atas orang lain yang melakukan setelahnya.”

Hadis inilah yang mesti benar-benar mendapatkan porsi yang cukup dalam rangka menumbuhkan inklusivitas kajian dan diskursus kita.

Kalau kita mau jujur, tema-tema skripsi ataupun penelitian mahasiswa masih lebih banyak berkutat pada persoalan reproduksi pemahaman di bidang hal-hal yang “jauh” dari persoalan dan tantangan masyarakat kita saat ini. Di sisi lain, beberapa dosen tidak benar-benar bersedia untuk mengajak dan mendorong mahasiswa dalam memahami persoalan yang dihadapi, sehingga kajian terhadap hadis cenderung mengulang-ulang bahkan tampak tergopoh-gopoh untuk menerima perspektif atau pendekatan yang lahir dari keilmuan mutakhir. Akibatnya, paradigma keilmuan hadis cenderung deduktif dari teks ke pemahaman dan pemaknaan. Kurikulum dan mata kuliah yang ditawarkanpun tidak cukup produktif dan bahkan menjauh dari problematika masyarakat.

Sungguh sangat menyedihkan jika kemudian para ilmuan hadis disebut sebagai “intelektual yang jauh dari realitas”.

Paradigma keilmuan tersebut tampaknya sedikit demi sedikit perlu segera bergegas menuju paradigma yang induktif. Dengan cara ini, mahasiswa dan dosen bersama-sama mendekatkan kajian hadis sesuai kebutuhan masyarakat saat ini, bukan sesuai kebutuhan dan isu-isu yang telah muncul dan mengemuka pada zaman old. Hal ini terjadi jika semua unsur akademisi hadis mulai terbuka pada “evolusi sunnah” yang dulu telah digagas oleh Fazlur Rahman. Hadis nabi di satu sisi memang telah terinkripsi pada teks-teks dan buku-buku primer maupun sekunder hadis. Akan tetapi, di sisi lain, ia telah mewujud dan mewaktu dalam pemahaman, gerakan, dan tradisi yang hampir bentuk dari fisik hadis tersebut tidak tampak. Bukankah yang tak tampak tidak selalu berarti tak ada?

Baca Juga  Makna Puasa Menurut Jalaluddin Rumi

Terlebih jika realitas masyarakat kita saat ini adalah masyarakat cyber atau biasa disebut dengan warganet. Dengan memosisikan hadis seperti ini, maka perangkat analisis, pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam kajian dan studi hadis tidak lagi hanya mengandalkan ilmu riwayat, tetapi juga memerlukan kecanggihan analitik yang ditawarkan oleh perkembangan ilmu sosial dan humaniora, bahkan sains dan teknologi. Kurikulum dan mata kuliah yang ditawarkan pun diupayakan mengakomodir keilmuan-keilmuan di luar disiplin keilmuan agama an sich.

Jika sudah demikian, isu radikalisme dan tantangan globalisasi tentu dapat disasar dan menjadi bagian  problematika yang “diselesaikan”, bahkan sejak dari ruang kuliah mahasiswa prodi Ilmu Hadis. Dapat dibayangkan, betapa segarnya jika kritik sanad maupun kritik matan dapat digunakan sebagai penyaring informasi hoax yang berkembang misalnya. Ilmu ‘ilal al-hadits dapat digunakan menolak hadis-hadis yang telah di-framing dan terdistordi dalam meme maupun potongan video Youtube, atau teori-teori dari ilmu hadis lain yang lebih aplikatif terutama dalam menganalisis hadis yang saat ini telah terdigitalisasi dalam berbagai media.

Dengan demikian, sebagai generasi milenial, pada akhirnya intelektual hadis dewasa ini dituntut mampu aktif dalam menyelesaikan problem global umat Islam dengan memanfaatkan media-media terbaru. Harapannya, mahasiswa ilmu hadis mampu menciptakan produk-produk kreatif yang merupakan hasil dari perkawinan khazanah keilmuan hadis dan perkembangan industri 4.0, baik dari segi gagasan atau ide, gerakan, maupun aplikasi-aplikasi. Wallahu a’lam. [HM]

Hasan Mahfudh Santri PP Qomaruddin Gresik, editor Jurnal Mutawatir. Dapat disapa melalui twitter @mahfudhsahin