Sudarto Murtaufiq Dosen Universitas Islam Lamongan

Pesan Kematian Iskandar Agung, Begini Kisahnya

1 min read

Tokoh ksatria tersohor dari Yunani, Alexander the Great atau Iskandar Agung, murid filsuf besar, Aristoteles, adalah seorang raja penakluk. Ia dikenal karena kehebatannya dalam medan perang dan dikenal luas sebagai komandan perang hebat sepanjang masa. Namun tahukan anda, dalam satu momen setelah berhasil menaklukan banyak kerajaan, sang raja pun kembali ke rumah. Dalam perjalanan, dia sakit dan terkapar selama berbulan-bulan. Saat kematian mendekat, dia menyadari penaklukannya, pasukannya yang besar, pedangnya yang tajam, dan semua harganya—karunia berharga yang diterimanya dari kehidupan—sama sekali tidak berguna.

Dia memanggil para jenderalnya dan berkata, “Waktuku habis dan aku akan segera berpisah dengan dunia ini. Namun, aku punya tiga keinginan. Tolong, penuhi keinginanku dan jangan sampai gagal. Dengan air mata bergulir di pipi, para jenderal menyanggupi untuk memenuhi permohonan terakhir sang Raja.

Pertama, aku ingin para dokterku membawa peti matiku. Kedua, saat petiku dibawa ke kuburan, jalan menuju ke sana harus ditaburi dengan emas, perak, dan batu berharga yang aku kumpulkan dalam perbendaharaanku. Permintaan ketiga dan terakhir dariku adalah kedua tanganku harus dibiarkan menjuntai ke luar peti. Orang-orang yang berkumpul di sana tercengang dengan permintaan Raja yang tak lazim itu. Namun, tidak seorang pun bertanya kepadanya. Jenderal yang sangat dipercaya oleh Iskandar Agung mencium tangannya dan meletakkannya di dadanya. “Wahai raja, kami yakinkan Paduka bahwa keinginanmu akan dipenuhi. Namun, beritahu kami mengapa Paduka membuat permohonan yang tidak lazim seperti itu?”

Iskandar Agung menarik nafas panjang dan berkata, “Aku ingin dunia mengerti tiga pelajaran yang aku dapatkan di ujung kehidupanku, yaitu sekarang. Aku ingin para dokterku membawa peti matiku karena orang-orang harus menyadari bahwa tidak ada dokter yang dapat memberikan nyawa kepada siapa pun. Mereka tidak berdaya dan tidak bisa menyelamatkan orang dari cengkraman kematian. Jangan biarkan orang-orang menyia-nyiakan kehidupan.

Baca Juga  Di Hadapan Seorang Guru, Murid Ibarat 'Budak'

Permohonan kedua tentang menaburkan emas, perak, dan harta lain ke jalan menuju kuburan adalah untuk memberitahu orang-orang bahwa tidak ada emas sedikit pun yang dapat dibawa bersamaku. Biarlah orang-orang menyadari bahwa buang-buang waktu saja untuk Memburu kekayaan duniawi.

Dan, dengan permohonanku yang ketiga, yaitu membiarkan tanganku menjuntai ke luar peti, aku ingin orang-orang mengetahui bahwa aku lahir ke dunia ini dengan tangan kosong dan meninggalkan dunia ini dengan tangan kosong pula.”

Kata-kata terakhir Iskandar Agung yang terus diingat berbunyi: “Kubur tubuhku, jangan dirikan monumen apa pun, tetapi biarkan tanganku tetap menjuntai ke luar peti agar dunia mengetahui bahwa orang yang telah menaklukkan dunia ini tidak mempunyai apa-apa di tangannya saat dia meninggal.”

Cerita di atas memberikan pesan penting akan kematian dan sifat kehidupan dunia yang fana ini. Bahkan Hujjat al-Islām, Abū Hāmid al-Ghazālī dalam salah satu kitabnya, Kīmiyā’ al-Sa‘ādah memberikan petunjuk kepada kita pentingnya untuk selalu waspada dan berhati-hati dalam menempuh kehidupan di dunia ini.

“Tiap-tiap nafasmu adalah permata yang tidak ternilai karena tidak tergantikan dan sekali terlepas, tidak akan bisa dikembalikan. Jangan seperti orang-orang bodoh terperdaya yang berleha-leha karena setiap hari kekayaan mereka bertambah, padahal sisa umur mereka berkurang. Apa bagusnya harta bertambah saat umur semakin sempit? Maka, merasa senanglah hanya karena bertambah ilmu atau amal baik karena keduanya merupakan teman terbaikmu yang akan menemanimu dalam kubur saat keluarga, harta, anak-anak, dan teman-teman tidak menyertaimu”. [MZ]

Sudarto Murtaufiq Dosen Universitas Islam Lamongan

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *