Ramadan di Baku, ibu kota negara Republik Azerbaijan lumayan unik. Kota ini pernah dikuasai oleh USSR (Uni Soviet). 93 persen warganya adalah pemeluk Islam—mayoritas Islam Syi’ah. Komposisi Muslim di sini hampir mirip di Indonesia, bahkan prosentasenya lebih besar, namun Ramadan di negara api ini tak semeriah di Indonesia, biasa-biasa saja.
Saat penulis tinggal di kota yang dikelilingi Laut Kaspia (Caspian Sea) ini, warga muslim di Baku jika ditanya tentang Ramadhan, mereka tahu, namun pada umumnya mereka tidak menjalankan puasa. Kalau di Kedutaan masih lumayan—ketika saya bekerja di KBRI Baku, dari 5 staf Azerbaijan, 3 orang berpuasa. Tapi beberapa teman yang di luar, rata-rata mereka tidak menjalankan puasa. Bahkan ada sahabat dekat saya, yang mengatakan bahwa puasa itu tidak wajib.
Mungkin hanya 10 persen yang berpuasa. Di antara pemicunya adalah, sejak Azerbaijan dicaplok USSR (sekarang Rusia), semua ritual keagamaan dihancurkan. Selama sekitar 70 tahun di bawah kekuasaan Soviet, muslim Azerbaijan tidak lagi menjalankan ibadah secara penuh.
Menurut sahabat saya, Emil Gulaliyev, dahulu pada era Soviet, orang Azeri (Azerbaijani) jika ketahuan baca al-Qur’an saja, bisa langsung dipenjara. Situasi seperti ini terbawa sampai ke generasi muda saat ini, meski tidak semua anak muda Azerbaijan tidak berpuasa.
Selama saya di sana (2011-2013) Ramadhan selalu jatuh pada musim panas. Suhu udara sangat panas, dan durasi puasa antara 16-17 jam. Masyarakat Indonesia seminggu sekali melaksanakan buka dan tarawih bersama di Wisma Duta. Saya sendiri hampir tiap hari diajak ngaji bersama keluarga Duta Besar saat itu, Prayono Atiyanto. Terkadang diminta kultum menjelang maghrib, di hadapan ibu-ibu Dharma Wanita KBRI Baku.
Terkadang saya juga diajak tarawih di salah satu masjid di Elemlar oleh kawan saya, yang sebelumnya juga bekerja di KBRI Baku, Elvin Hidayatzadeh. Tarawihnya mirip masjid-masjid NU di Indonesia, 20 Rakaat, dan 3 rakaat witir. Tapi tarawih hanya dijalankan oleh masyarakat Muslim Sunni, sementara Muslim Syi’i tidak mengenal tradisi shalat tarawih.
Suasana Ramadhan tidak semeriah di Indonesia. Menjalankan ibadah agama sepertinya menjadi urusan pribadi. Aktivitas berjalan dengan santai, seperti tidak memasuki bulan Ramadan.
Hal tersebut diamini oleh Expatriat Indonesia yang bekerja di BP Oil Company dan sekarang masih penempatan di Baku, Yoliandri Susilo. “di Baku masih lockdown. Tapi yang jelas kalaupun tidak lockdown (red: karena covid 19), Ramadhan tidak akan terlihat bedanya dengan hari lainnya. Restoran atau kantin masih full saat lunch time.” tuturnya.
Rumah makan dan penjual makanan jalanan tetap buka dan beraktivitas seperti biasa. Tidak ada tirai yang menutupi rumah makan itu. Warga yang tak berpuasa makan dengan terbuka di tempat umum.
Tak ada yang risi atau terganggu oleh hal itu. Saling menghormati dan tak mencampuri urusan ibadah masing-masing. Aktivitas berjalan seperti biasa. Dari pagi hingga larut malam pun kota Baku masih ramai lalu lalang kendaraan, warga berkumpul di taman dan berolahraga di fasilitas publik.
Kendati demikian, menurut Farid Hadiaman, ketua Diaspora Indonesia untuk Azerbaijan, tahun ini ada kabar baik, Xalifa, resto etnik yang bernuansa serba Arab sekarang sudah tutup. Jadi para expat yang biasa nongkrong sambil “nyisha” (Qaliyun), untuk ramadhan kali ini bisa fokus beribadah di rumah.
Saat waktu salat tiba, azan yang terdengar tidak bersahut-sahutan seperti di Indonesia, karena masjid jumlahnya sedikit, itupun masih ada kategori, masjid Sunni dan Syi’ah. Bahkan, biasanya, saya tidak dapat mendengar suara azan. Norma di Azerbaijan mengatur bahwa azan masjid mesti terdengar dengan radius maksimal 1 kilometer.
Di sini, siapa yang ingin mendengar azan, disilakan ke masjid. Tiap masjid memang ada azannya tapi diatur agar cukup sampai ke sekitarnya masjid saja. Soal ini, bukan peraturan tertulis seperti undang-undang.
Seberapa jauh radius azan terdengar hanyalah norma yang jamak diketahui dan dipatuhi secara bersama. So, saat kita sedang bepergian dan tiba waktu salat (berbuka), lebih baik mengandalkan jadwal imsakiyah atau aplikasi penunjuk waktu salat (seperti Athan) di telepon seluler.
Sistem pemerintahan di Azerbaijan memang memisahkan agama dan Negara (sekuler). Pemerintah tetap memberi kebebasan beragama, namun kehidupan beragama dan pemerintah, tidak boleh saling mengganggu. Menurut norma dan UU Azerbaijan, pemerintah tidak boleh mengganggu orang yang mau beribadah sesuai agamanya, dan sebaliknya, agama tak boleh mengganggu pemerintah.
Adapun kuliner di Azerbaijan yang terkenal adalah pilav, dolma, kabab, dan sop dushbere. Yang terakhir ini lumayan cocok dengan lidah Indonesia, karena hampir mirip dengan bakso. Apalagi jika disantap saat musim dingin di pinggir Park Bulvar mall di pinggir laut Caspian.
Untuk pengganjal perut sementara, saya lebih suka tantuni yang lumayan pedas, shavarma ataupun iskandarani. Menurut sahabat lama saya yang fasih berbahasa Indonesia karena pernah belajar di Jogjakarta dan beberapa kali berkunjung ke Indonesia, Ismail Seymur, selain menu-menu di atas ada juga hidangan Azeri yang sedap, di antaranya adalah qutab, blincik, paytaxt salati, mimosa salati, kompot, narsharab, baliq, qatiq dan dovga. (AS)