M Kholid Syeirazi Sekretaris Umum PP ISNU

Rame Diskusi “Pemakzulan Kepala Negara”, Begini Pandangan Imam Mawardi dan Imam Nawawi

3 min read

Ini dua orang juris raksasa dalam mazhab Syāfi’ī. Abū al-Hasan Alī al-Māwardī (974-1058 M) ahli fikih Irak. Karyanya yang terkenal al-Ahkām al-Sulthānīyah dan Adab al-Dunyā wa al-Dīn. Beliau juga penulis kitab al-Hāwī al-Kabīr, syarh atas kitab al-Mukhtashar al-Muzannī. Al-Muzannī, murid Imam Syāfi’ī, meresume kitab al-Umm setebal 7 jilid menjadi 1 jilid. Resume al-Muzannī dielaborasi lagi secara epik oleh al-Māwardī setebal 18 jilid. Itulah tradisi dialektis dalam fikih klasik.

Muhy al-Dīn b. Syaraf al-Nawāwī (1233-1277 M) juris raksasa dari Damaskus, dijuluki Imām al-Syaikhān. Kalau dalam ilmu hadis gelar Syaikhān merujuk kepada Bukhārī-Muslim, dalam fikih Syafi’i Syaikhān merujuk kepada Nawāwī-Rāfi’ī. Karyanya banyak. Saya sebut, antara lain, Riyādh al-Shālihīn, Rawdhat al-Thālibīn, al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, dan Syarh Shahīh Muslim.

Dalam banyak karyanya, Imam Nawāwī sering mengutip pendapat Imam Māwardī. Tentu saja kalau sesuai. Tetapi, ada kasus Imam Nawāwī berbeda dengan Imam Māwardī, yang akan saya bahas di sini. Ini soal ribut-ribut tempo hari, tentang pemakzulan Presiden.

Din Syamsuddin, pembicara kunci dalam diskusi yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) bertajuk “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19,” mengutip pendapat al-Māwardī soal syarat pemakzulan Presiden.

Pertama, kata dia, tidak adanya keadilan. Kedua, jika pemimpin tidak memiliki ilmu pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional.

Sebenarnya, pendapat al-Māwardī tidak persis seperti itu. Dalam kitabnya, al-Ahkām al-Sulthānīyah, al-Māwardī menyebut 10 tanggung jawab khalifah dan kewajiban umat terhadap pemimpinnya. Jika khalifah telah menunaikan tanggung jawabnya, kewajiban umat adalah taat dan membelanya (الطاعة والنصرة). Saya kutipkan pernyataan al-Māwardī (h. 42-43):

« إذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان: أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه، فأما الجرح في عدالته وهو الفسق ٠٠٠وأما ما طرأ على بدنه من نقص فينقسم ثلاثة أقسام: أحدها نقص الحواس، والثاني نقص الأعضاء، والثالث نقص التصرف »

Baca Juga  Daging Kambing, Mendoan dan Secangkir Kopi Pahit untuk Gus Dur

“Jika Imam telah menunaikkan tanggung jawabnya terkait hak-hak umat seperti yang telah kami sebut, maka dia telah menunaikan hak-hak Allah yang ada pada mereka. Wajib bagi umat untuk taat dan membelanya sepanjang tidak berubah keadaannya. Perubahan itu, yang membuat boleh keluar dari kepemimpinannya, adalah dua hal. Pertama, cacat dalam keadilan. Kedua, cacat fisik. Cacat dalam keadilan adalah fasik. Cacat fisik ada tiga yaitu cacat indera, cacat organ, dan cacat kemandirian/kebebasan.”

Cacat keadilan (fasik) dicontohkan al-Māwardī seperti melakukan perbuatan terlarang, memperlihatkan kemunkaran, dan mengikuti hawa nafsu. Cacat indra dicontohkan al-Māwardī dengan gila, buta, tuli, bisu, dan gagap. Contoh cacat organ adalah kehilangan alat vital, impoten, kehilangan dua tangan dan kaki. Contoh cacat kebebasan atau kamandirian adalah tersandera atau ditawan pihak musuh. Al-Māwardī memberikan ketentuan rinci dan ragam pandangan terkait jenis-jenis cacat fisik yang membolehkan imam dimakzulkan.

Dalam Rawdhat al-Thālibīn, Juz 7, al-Nawāwī mengutip pendapat al-Māwardī terkait cacat fisik yang memungkin Imam dimakzulkan. Tetapi, al-Nawāwī mengabaikan pendapat al-Māwardī terkait cacat keadilan atau fasik. Secara tegas al-Nawāwī menyatakan begini (h. 268):

« أن الامام لا ينعزل بالفسق على الصحيح »

“Menurut pendapat yang sahih, Imam tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan.”

Imam wajib dipatuhi meskipun dia tidak adil selagi tidak menentang hukum syariat (h. 267):

« تجب طاعة الامام في امره ونهيه ما لم يخالف حكم الشرع ، سواء كان عادلا او جائرا »
“Wajib patuh kepada pemimpin dalam perintah maupun larangannya selagi tidak bertentangan dengan hukum syara’, baik dia itu pemimpin adil maupun culas.”

Menurut al-Nawāwī, Imam tidak boleh dimakzulkan karena fasik, tetapi karena kafir atau murtad. Ini pernyataan al-Nawāwī dalam Syarh Shahīh Muslim, Juz 12 (h. 229):

Baca Juga  Gus Dur Membangunkan Rumah untuk Para Mantan Gerwani

« اجمع العاماء أن الامامة ل تنعقد لكافر، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل »

“Para ulama sepakat kepemimpinan tidak sah oleh orang kafir. Jika kekafiran muncul belakangan (murtad), dia dimakzulkan.”
Pendapat ini didukung Ibn Hajar al-Asqalāni. Dalam Fath al-Bārī, Juz 13, dia mengatakan begini (h. 105):

« انه ينعزل بالكفر اجماعا فيجب على كل مسلم ، فيجب على كل مسلم القيام فى ذلك ، فمن قوي على ذلك فله الثواب ، ومن داهن فعليه الإثم ، ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض »

“Seorang Imam makzul karena kafir secara ijma’. Wajib bagi setiap Muslim mengambil tindakan. Jika mampu, dia mendapat pahala. Jika menjilat, dia berdosa. Jika tidak mampu, dia wajib pindah dari daerah itu.”

Para juris klasik menolak penggulingan Imam selagi tidak murtad atau jelas-jelas menunjukkan kemunkaran. Al-Syaukānī, dalam Al-Sail al-Jarrār (h. 965) mengatakan begini:

« ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ، ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد ، بل كما ورد فى الحديث أن يأخذ بيده ويخلو به ، ويبذل له النصيحة، ولا يُذلّ سلطان الله ٠٠٠وأنه لا يجوز الخروج على الأئمة، وإن بغوا في الظلم ايّ مبلغ ما اقاموا الصلاة ، ولم يظهر منهم الكفر والبواح »

“Jika pemimpin jelas salah dalam suatu masalah, seyogianya seseorang menasihatinya, tetapi tidak boleh mengumpatnya di depan banyak orang. Seperti disinggung sebuah hadis, hendaknya dia menggamit tangannya dan mengajaknya menyepi dan kemudian menyampaikan nasihat serta tidak merendahkan penguasa…Dan tidak boleh keluar dari barisan imam, meskipun dia melampaui batas asal masih menegakkan salat dan tidak mendemonstrasikan kekufuran dan kelacuran.”

Baca Juga  Diplomasi Publik ala Bucin

Alhasil, saya ingin memberikan catatan dua hal berikut.
Pertama, ini pandangan para juris klasik tentang Imam. Jika disebut Imam dalam literatur fikih klasik, maksudnya adalah الإمام الأعظم dengan kekuasaan yang nyaris absolut, tidak sama persis dengan Presiden dalam konsep kekuasaan modern. Presiden, dalam konsep kekuasaan modern, hanya pemimpin dari salah cabang kekuasaan yaitu eksekutif. Para juris klasik memutlakkan syarat Imam harus Muslim, karena—seperti ditegaskan Ibn Taimiyah dalam al-Khilāfah wa al-Mulk (h. 43)— tugas imam antara lain adalah memimpin salat dan jihad. Ini tentu berbeda dengan nalar pengangkatan Presiden dalam konsep negara modern yang dipilih bukan (semata) karena agamanya, tetapi karena prestasinya.

Kedua, saya tidak setuju dengan pemakzulan Presiden karena dua hal. Pertama, ini akan menimbulkan gejolak politik yang bisa berujung pada anarki. Anarki dalam fikih siyāsah klasik sangat dihindari, sampai-sampai Ibn Taimiyah mengatakan begini:

« ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة واحدة بلا سلطان »

“Enam puluh tahun bersama Imam jahat itu lebih baik daripada semalam tanpa Imam.”

Kedua, pemakzulan akan melahirkan dendam politik yang tidak berkesudahan. Ulu hati saya sampai sekarang masih nyeri dengan pemakzulan Gus Dur dan tidak bisa melupakan ‘dosa politik’ Amien Rais beserta konco-konconya. Menghentikan Presiden di tengah jalan karena alasan politik, bukan karena alasan hukum yang sah dan meyakinkan, akan melukai demokrasi.

Saya sekarang memang ‘sedang sebel’ dengan Jokowi, tetapi akan menentang segala upaya untuk menjatuhkannya. Silakan kritik Jokowi, karena dia sekarang memang perlu dikritik. Kritik tidak sama dengan cacian dan umpatan-umpatan kasar. Di sinilah kita sedang diuji sebagai bangsa yang beradab. [MZ]

M Kholid Syeirazi Sekretaris Umum PP ISNU

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *