Lanjutan dari Artikel Sebelumnya
Dalam cover tabloid yang dimiliki Taufik Kiemas (suami Megawati), Demokrat, Amien digambarkan sebagai vampire. Dengan penggambaran yang menyebabkan marahnya para aktivis PAN tersebut, Demokrat ingin mengirimkan pesan kepada Amien agar tidak meneruskan langkah partisannya, bila tidak ingin menjadi seperti dalam ilustrasi tadi.
Ketua Umum (waktu itu) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Matori Abdul Jalil malahan menganggap Amien bertanggung jawab secara moral terhadap tragedi berdarah di Mataram yang, menurut Matori, dipicu oleh “Aksi Sejuta Umat” yang dihadiri oleh Amien di Monas tersebut.
Perlu diketahui bahwa konflik berdarah di Maluku semula, di antaranya, justru dipicu oleh primordialisme agama kelompok Islam, yang mendapatkan patronase rezim Orde Baru. Mereka telah memarjinalkan kelompok Kristen dari lingkup kekuasaan birokrasi di Ambon.
Ketidakadilan ini menumbuhkan perasaan dendam kelompok Kristen, yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang Islam. Hubungan patronase antara rezim Orde Baru dengan kelompok Islam tertentu, yang umumnya juga anti-Gus Dur saat itu, telah memberikan berbagai previlase hingga mereka dengan mudah dapat mendominasi posisi-posisi strategis di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, baik di pusat pemerintahan Jakarta maupun di daerah seperti Maluku.
Monopoli kekuasaan dengan cara menutup akses bagi kelompok lain untuk memasuki struktur kekuasaan (the structural obstruction) inilah di antaranya yang menjadi pemicu timbulnya tragedi berdarah antara komunitas Muslim dan Kristen di Maluku.
Aksi Siaga Sejuta Umat 7 Januari 2000 lalu merupakan awal dari skenario besar perlawanan eksponen anti-Gus Dur. Mereka memandang Gus Dur sebagai rival politik yang harus dirintangi dengan bermacam gangguan.
Mereka sangat gigih dalam melakukan aksinya, sampai pada tingkat melakukan character assassination (pembunuhan karakter). Perlawanan ini memang sangat disayangkan, karena pelakunya justru berasal dari kalangan Muslim (santri) sendiri. Kelompok Islam militan hanyalah bagian dari eksponen anti-Gus Dur yang umumnya berasal dari kalangan Muslim (santri) non-NU.
Dalam berbagai aksi protesnya, kelompok Islam militan selalu mendapatkan dukungan penuh dari mereka. Gerakan perlawanan tersebut mendapatkan momentumnya, setalah berhasil menarik kaum nasionalis pendukung Megawati ke dalam barisan mereka. Mereka akhirnya memang berhasil melengserkan Presiden Gus Dur dan memilih Megawati menjadi presiden melalui Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001.
Perlu dicatat bahwa lengsernya Gus Dur menjadi sesuatu yang sangat niscaya, karena kaum oposan telah mengerahkan segala daya dan kemampuannya untuk merealisir agenda pelengseran tersebut.
Pada saat Gus Dur memegang jabatan presiden, bermacam upaya penjegalan adalah bagian dari realitas kesehariannya. Selama dia memerintah, tidak pernah ada hari berlalu tanpa hujatan kepadanya. Berbagai hujatan, fitnahan serta tuduhan yang dirancang untuk merusak nama baik Gus Dur serta mendegradasikan legitimasi pemerintahannya diarahkan sebagai instrumen pembunuhan terhadap karakter mantan Ketua Umum PBNU ini.
Perlu dicatat bahwa dengan kekuatan dananya kelompok anti-Gus Dur yang selalu membiayai berbagai aksi demo memang berhasil menciptakan publik opini negatif tentang Gus Dur. Milyaran rupiah telah dibelanjakan untuk membiayai para demonstran bayaran.
Salah seorang penyandang dana aksi demo bayaran tersebut, Dion Hardi Dirut PT Mampang Nugraha Prima milik Tommy Soeharto, mengaku telah mengucurkan dua belas milyar rupiah untuk membiayai demo anti-Gus Dur tersebut. Fakta seperti itu mengilhami lahirnya sebuah idiom politik-populer, “Maju tak gentar, membela yang mbayar.” [Baca pengakuan Dion Hardi, Dirut PT Mampang Nugraha Prima milik Tommy Soeharto, tentang pengucuran dana 12 milyar guna demo Gus Dur. ”Rp 12 M Buat Demo Gus Dur,” Surya (Kamis, 6 Juni, 2002), 1-11]
Dalam UUD 1945 yang belum diamandemen, MPR memang bisa dipergunakan sebagai alat untuk menggalang dukungan politik guna menjatuhkan seorang presiden. Mengingat suksesi kepemimpinan nasional tidak diatur melalui perangkat regulasi yang berbasiskan sistem presidensiil, tetapi lebih didasarkan pada ketentuan praksis dalam sistem parlementer.
Dengan begitu, maka pelengseran presiden menjadi sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan Pasal 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Sebagai Ketua MPR, Amien Rais memang berperan sangat menentukan dalam proses pelengseran Abdurrahman Wahid. Amien akhirnya berhasil mempelopori upaya penggalangan dukungan politik untuk memproses pelengseran Presiden Wahid.
Upaya delegitimasi seperti dalam ilustrasi tersebut tampaknya memang bukan gerakan oposisi biasa, tetapi sudah masuk klasifikasi gerakan konspirasi. Karakter konspirasi ini tercermin dari hujatan mereka yang tanpa pandang bulu selalu menegasikan semua kebijakan pemerintahan Gus Dur.
Karakter konspirasi tadi tampak semakin nyata saat Sidang Istimewa MPR mencabut mandatnya selaku presiden, meski tidak satu pun tuduhan kepada Gus Dur yang melandasi diselenggarakannya SI tadi secara hukum dapat dibuktikan kebenarannya. Keberhasilan kaum oposan dalam SI memang tetap menyisakan sebuah pertanyaan, mengingat pencabutan mandat tadi didasarkan pada kuantitas suara yang mendukungnya, bukan kualitas argumentasinya.
Kesewenang-wenangan seperti itu bertentangan dengan prinsip demokrasi yang tidak pernah mentolerir terjadinya praktik “tirani kaum mayoritas terhadap kelompok minoritas” (tyranny of the majority over the minority).
Penutup
Seperti diketahui bahwa kelompok Muslim (santri) yang memprakarsai gerakan oposan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dengan menjadikan kaum Islam militan berdiri di garda depannya memang memiliki naluri agresif dalam soal kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa mereka pernah merecoki pemerintahan Soekarno dengan konsep negara Islamnya.
Pada zaman Orde Baru, mereka adalah kelompok Islam yang pernah “menghijaukan” parlemen negeri ini serta mengisi keanggotaan kabinetnya Soeharto dan Habibie dan menguasai bermacam jabatan strategis dalam lingkup birokrasi pusat dan daerah.
Pada era reformasi, mereka juga tampak sangat terobsesi untuk menduduki kursi kepresidenan, seperti terlihat tiga dari empat orang yang menyatakan dirinya menjadi calon presiden pra-Pemilu 1999 adalah dari kelompok mereka. Meskipun nama ketiga-tiganya tidak muncul dalam daftar calon resmi presiden di Sidang Umum MPR 1999.
Hasil perolehan suara partai mereka dalam Pemilu 1999—yang semula mereka pastikan unggul dan ternyata sangat terpuruk—membuat obsesi mereka terutup rapat untuk memasuki bursa pencalonan presiden.
Memang dalam masa pemerintahan Megawati, mereka sudah tidak lagi menampakan sikap oposannya, sekurang-kurangnya sampai satu tahun pertama pemerintahan Mega, seperti yang pernah mereka lakukan kepada Abdurrahman Wahid sebelumnya.
Namun perubahan sikap tadi bisa saja karena untuk menghindari terjadinya counter productive mengingat pendukung Mega yang relatif kuat, atau karena sempitnya sisa masa pemerintahan Mega tidak menjanjikan keuntungan politik yang memadahi.
Meskipun perlu dicatat bahwa mereka juga pernah mengadakan beberapa kali pertemuan di kediaman Achmad Tirtosudiro, Amien Rais dan Ali Marwan Hanan yang—menurut banyak pengamat—dimaksudkan untuk menggalang terbentuknya kaukus Islam versi Poros Tengah.
Sebagai proyek penggalangan sekterianisme (Islam), Poros Tengah merupakan sebuah eksperimentasi yang terbukti berhasil menghadang mobilitas politik kaum nasionalis. Kelompok politisi ini menjadi ketagihan dengan keberhasilannya dan berobsesi menggalang kembali potensi sekterianisme tersebut.
Sayangnya, pertemuan yang dianggap mencuri start kampanye tersebut menjadi layu sebelum berkembang, karena mendapatkan reaksi keras dari kalangan PDI-P. Seorang tokoh PDI-P di Parlemen, Arifin Panigoro, segera bergegas mengundang ke rumahnya beberapa tokoh partai berideologi kebangsaan untuk menggertak konsolidasi politisi Poros Tengah tersebut.
Melalui Poros Tengah, mereka sebelumnya pernah menggalang kekuatan serupa untuk menjegal perjalanan Mega ke kursi kepresidenan dan mengusung Gus Dur ke istana pada Sidang Umum MPR 1999. Saking tingginya hasrat mereka untuk menggapai jabatan presiden yang belum pernah mereka peroleh, mereka dulu sering mengklaim Soekarno sebagai anggota kelompoknya.
Demikian pula Soeharto pernah dinyatakan sebagai bibitnya dan Habibi adalah karib dekatnya. Suatu saat, mereka barangkali akan mengklaim bahwa Megawati, yang pernah mereka sangsikan keislamannya, juga anggota kelompoknya. Hanya karena Mega pernah hadir beberapa kali dalam perhelatan yang mereka selenggarakan di tingkat nasional. [MZ]
-Selesai-