Abdul Chalik Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Ikhtiar Dulu Tawakkal Kemudian

3 min read

https://digdayamedia.id/

Dalam beberapa minggu terakhir, teman-teman dosen dan tenaga kependidikan  dan keluarganya meninggal dunia. Jumlahnya cukup banyak. Seolah tidak afdol jika dalam waktu 2-3 hari tidak ucapan bela sungkawa di group whatsapp kampus. Ternyata ucapan yang sama juga terjadi di group lain. Bukan 2-3 hari lagi, tapi tiap hari. Sementara di group RT dan RT juga memberitahukan tentang keluarga yang kritis, mencari oksigen sana-sini, menyampaikan informasi bila ICU penuh, hingga isolasi di beberapa tempat.

Yang cukup mengejutkan beberapa tokoh dan kyai juga meninggal dunia. Bedanya, bila mereka meninggal sebagian besar diumumkan dalam bentuk flyer atau pamflet yang disebar di grup medsos oleh organisasi atau lembaga yang menaunginya. Sementara bagi publik kebanyakan tidak demikian, mati ya mati, maksimal Modin atau Takmir Masjid mengumumkan lewat TOA Masjid.

Belum ada data yang cukup tentang jumlah orang meninggal berdasarkan latar belakang sosial, kecuali tokoh-tokoh sentral seperti Gubernur dan Bupati/Walikota. Namun hasil amatan saya di beberapa media online dan tersebar di grup medsos, jumlah yang meninggal dari unsur tokoh agama entah itu kyai, nyai, ustadz dan tokoh agama cukup banyak.

MUI dan RMI (Rabithah Mahad Islamiyah) mencatat setidak per 7 Juli 2021 ada 584 Kyai meninggal dunia. Jumlah yang sangat fantastis. Pada waktu yang sama per Juni 2021, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) merilis ada 458 dokter dan lebih dari 1000 perawat meninggal.

Bedanya, dokter dan perawat sebagian besar berhadapan langsung dengan pasien sementara Kyai tidak. Orang awam berkata, ‘pantas mereka meninggal karena sangat dekat dengan pasien’. Sementara tugas Kyai jauh dari urusan pasien, karena sebagian besar mengajar di pesantren, mengisi pengajian, memberikan bantuan doa (suwuk), hingga mengelola organisasi kemasyarakatan.

Baca Juga  Ruangguru vs Ruangkiai: Mungkinkah?

Dokter dan Kyai merupakan profesi yang berlainan. Tugas dokter untuk mengobati orang sakit. Dokter selalu berangkat dari kasus atau gejala untuk sampai pada kesimpulan tentang penyakit seseorang. Semua menggunakan prosedur ilmiah sebagaimana dalam ilmu kedokteran. Sementara tugas Kyai mengajar agama, dan sebagian lain nyambi menjadi tukang suwuk. Dalam Islam, sebagaimana keyakinan Kyai, hidup dan mati tergantung Allah. Semua jenis penyakit baik yang terlihat maupun yang samar adalah ujian dan cobaan. Dialah zat yang menghadirkan dan sekaligus melenyapkannya.

Karenanya, dokter dan Kyai memiliki cara pandang agak berbeda dalam merespon penyakit. Dokter lebih kuat di ikhtiar lahirnya karena selalu menggunakan analisis ilmiah melalui gejala-gejala. Sementara Kyai dengan kedalaman spritualitasnya menjadikan gejala-gejala tersebut semua bersumber dari Allah. Karenanya, sikap tawakkal (berserah diri) sama kuatnya atau bahkan lebih kuat dibanding dengan ikhtiar manakala segala upaya mengalami kebuntuan. Lalu apa hubungan keduanya dengan kematian?

Ikhtiar Dulu, Lalu Tawakkal

Mendengar cerita kematian dokter dan Kyai, saya melihat ada yang berlebihan dalam mamaknai ikhtiar dan tawakkal. Seolah ikhtiar cukup dilakukan sekali, dua hingga tiga kali. Begitu mentok, selesai. Padahal tidak, ikhtiar untuk selamanya, tiada henti. Begitu pula dalam memaknai tawakkal.

Seolah dengan tawakkal, Allah akan menjamin keselamatan manusia karena atas anugerah dan kasih-Nya. Padahal tidak demikian. Sama seperti melamar pekerjaan, jangan menyerah sebelum tangan dan kaki masih mampu mengantar surat lamaran. Kata orang bijak, menyerah manakala lamaran ke 501 ditolak.

Tawakkal bermakna berserah diri. Berserah diri bukan dalam pengertian ‘menyerah’ atas ketidakmampuan ikhtiar lahir dan mengembalikannya semua pada taqdir Allah, karena tawakkal ada proses panjang panjang yang dilaluinya dan proses tersebut tidak terhenti ketika sudah berserah diri. Tawakkal menjadikan Allah sebagai ‘wakil’ untuk intervensi apabila manusia sedang menghadapi kebuntuan.

Baca Juga  Islam Nusantara sebagai Brand (1)

Meskipun sudah ada ‘wakil’, bukan berarti kita menyerahkan seluruh persoalan pada wakil kita. Perlu komunikasi, dorongan dan diskusi antara wakil dan yang diwakilinya. Coba anda melapor kehilangan motor ke kantor polisi. Anda akan memperoleh respon yang cepat manakala ada komunikasi, sering tanya, dan minta update info terakhir. Beda ketika anda datang, dan tidak ada komunikasi sedikitpun.  Begitu penjelasan Prof. Quraish Sihab dalam Tafsir al-Misbah.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ‘Aku telah bertawakkal kepada Allah’. Mendengar sahabat berkata seperti itu, Nabi SAW menimpali, “I’qilha wa tawakkal’, tambatkan dulu (untamu) baru bertawakkal. Maknanya, jangan salahkan Onta lari atau dicuri orang jika tidak tertambat dengan baik. Dalam suatu riwayat, Nabi selalu mencontohkan agar pintu dan jendela selalu dikunci manakala akan pergi. Semua itu dalam rangka ikhtiar apabila ada binatang buas masuk atau orang yang sengaja akan berbuat jahat.

Sebenarnya filosofi ikhtiar cukup kuat dalam tradisi kita. Menyiapkan payung sebelum hujan, menyiapkan mantel dalam motor untuk digunakan bila sewaktu-waktu hujan. Menyediakan CCTV di depan rumah, alarm motor dan mobil bahkan rumah. Hingga menyediakan obat-obatan manakala bepergian jauh. Itulah beberapa kebiasaan kita untuk menjaga manakala situasi darurat datang secara tiba-tiba.

Namun ada pula yang tidak menyiapkan apapun, pastilah mereka akan merasakan kesulitan dan ribet di kemudian hari. Bahkan motor dan mobil kadung dibawa maling dan tidak deketahui jejaknya karena tidak ada satu atupun instrumen yang dapat mengontrolnya.

Dalam hal ini, ikhtiar menjadi keniscayaan yang harus dilakukan. Prokes ketat 5 M tetap dilakukan secara ketat dimanapun dan dalam situasi apapun, selagi tanda-tanda virus masih berada di sekitar kita atau pemerintah belum mencabut aturan Prokes. Doa, wirid, dan suwuk tetap dilakukan sepanjang dilakukan secara aman. Ketika sudah sampai titik di mana  fisik, pikiran dan segala ikhtiar sudah dilalui, maka bertawakkal kepada Allah.

Baca Juga  Gus Mus, Doraemon, dan Haul Gus Dur

Serahkan semua hidup ini pada Allah. Sebagaimana doa-doa dalam sholat lima waktu, ‘inna salati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamin’ (sesunggunya sholatku, ibadahku, hidup dan maatiku hanya milik Allah rabbul alamin). Sambil bertawakkal, ikhtiar lahir tetap dilakukan. (mmsm)

Abdul Chalik Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya