Membaca Ulang Perjuangan HR Rasuna Said: Iman, Ilmu, dan Perlawanan

Nama Hajjah Rangkayo (HR) Rasuna Said telah menjadi bagian dari jalan ibukota kita yang membentang melewati beberapa perkampungan dari Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Namun, apakah kita pernah sungguh-sungguh berhenti di jalan itu; bukan hanya di lampu merah Jalan HR Rasuna Said, tapi berhenti untuk merenungi mengapa nama itu ada di sana? Mengapa nama seorang perempuan dari tanah Minang itu layak diabadikan dalam nadi identitas bangsa ini? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar untuk nostalgia nasionalisme, tetapi untuk membedah apa yang telah hilang dari kesadaran kolektif kita hari ini.

Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah sosok yang tidak selesai hanya dengan kata “pahlawan nasional.” Ia bukan hanya perempuan pertama yang dihukum karena speek delict, pasal penghinaan terhadap penguasa colonial, tetapi juga perempuan yang menegaskan bahwa belajar agama saja tidak cukup jika tidak ada keberanian untuk menafsirkan realitas politik secara langsung. Ia membaca Al-Quran, ia mendalami ilmu agama, namun ia juga menantang gurunya, institusi pendidikan, bahkan komunitasnya sendiri, ketika pendidikan hanya melahirkan kepatuhan tanpa kesadaran.

Ia berhenti dari Diniyah Putri karena pendidikan di sana tidak membuka ruang bagi keterlibatan perempuan dalam politik. Ini bukan tindakan impulsif, melainkan gestur intelektual yang lahir dari kepekaan dan keberanian. Rasuna Said muda sadar, perempuan akan tetap jadi penonton sejarah jika mereka hanya diajarkan menjadi baik, sopan, dan patuh, tanpa pernah diajak berpikir tentang mengapa dunia di sekeliling mereka begitu timpang. Ia mendirikan sekolah sendiri dan berpidato di panggung-panggung umum, menulis di majalah, dan yang lebih penting, ia tidak menunggu restu siapa pun untuk mulai berjuang.

Pada tahun 1932, dalam sebuah pidato yang tajam dan menggugah di Payakumbuh, Rasuna menyerang sistem kolonial secara terbuka, mengaitkan ajaran Islam dengan pembebasan rakyat. Saat Belanda menangkapnya karena pidatonya, ia tidak gentar. Ia justru menggunakan ruang pengadilan sebagai mimbar perjuangan. Kata-katanya di pengadilan terdokumentasi sebagai narasi keberanian perempuan dalam melawan imperialisme dengan akal dan iman.

Rasuna bukan satu-satunya perempuan yang bersuara saat itu, tapi ia adalah satu dari segelintir figure perempuan yang menggabungkan teologi, politik, dan kesadaran gender dalam satu tarikan napas perjuangan. Ia tidak menolak Islam, namun justru menafsirkan ulang ajarannya.

Baginya, Islam bukan alasan untuk membungkam perempuan, melainkan landasan untuk membebaskan mereka. Maka, ketika orang berbicara tentang emansipasi perempuan sebagai proyek Barat, Rasuna sudah lebih dulu menjawab bahwa emansipasi juga lahir dari iman dan dari sejarah lokal kita sendiri.

Ketika Indonesia merdeka, Rasuna tidak berhenti. Ia masuk parlemen. Ia terlibat dalam pengambilan kebijakan dengan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas untuk memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai masalah-masalah kenegaraan dan kemasyarakatan.

Namun, yang paling patut untuk dikenang darinya bukanlah posisinya dalam struktur negara, melainkan konsistensinya untuk membawa suara perempuan dan rakyat tertindas ke meja-meja kekuasaan. Ia tidak sekadar jadi lambang keterwakilan, tapi benar-benar hadir sebagai pengubah arah percakapan.

Dalam banyak hal, Rasuna jauh lebih radikal daripada sekadar representasi masyarakat sipil. Ia tidak ingin perempuan sekadar duduk di ruang publik namun juga bertekad agar perempuan dapat mengintervensi struktur kekuasaan, merumuskan ulang norma-norma sosial, dan membongkar pola pikir feodal yang membelenggu bahkan di tengah masyarakat adat yang menjunjung tinggi peran perempuan seperti Minangkabau.

Rasuna tidak pernah sungkan mengkritik budaya yang stagnan, agama yang hanya jadi pembungkus kuasa laki-laki, atau negara yang sering lupa pada janji-janji kemerdekaannya sendiri.

Yang membuat Rasuna berbeda adalah kesadarannya bahwa pembebasan tidak bisa dilakukan secara ‘nanggung’, separuh-separuh. Ia merasa bahwa perjuangan tidak cukup dengan hanya membebaskan bangsa dari penjajahan asing, namun rakyat tetap tertindas oleh kemiskinan, perempuan tetap dibungkam oleh patriarki, dan pendidikan tetap menjadi alat pelanggeng ketidakadilan sosial. Rasuna tidak memilih satu isu untuk diperjuangkan, ia melihat semuanya sebagai satu mata rantai utuh.

Namun, kini namanya kerap hanya dipakai sebagai nama gedung, jalan, atau instansi. Kita melupakan pikiran dan perjuangannya, membekukan gagasannya, dan menaruhnya di museum sejarah, bukan di ruang-ruang dialog.

Padahal, saat ini kita masih hidup di zaman yang tak jauh beda dari zaman Rasuna: pendidikan masih elitis, politik masih maskulin, perempuan masih dibungkam dengan cara halus. Bahkan, mungkin, cara penjajah membungkam lebih jujur daripada cara sistem hari ini membungkam melalui birokrasi, algoritma, dan kultur yang konon modern.

Satu pertantanyaan yang selalu mengusik dalam dada saya, kira-kira apa yang akan Rasuna lakukan jika ia hidup di era ini?

Mungkin ia akan menulis kritik tentang bagaimana perempuan hanya jadi objek promosi dalam politik; mungkin ia akan marah melihat sekolah-sekolah yang mengajarkan kepatuhan lebih daripada pertanyaan; atau bisa jadi ia akan turun ke jalan, bukan demi sensasi, tapi karena tuntutan iman.

Rasuna Said memberi kita warisan yang lebih dari sekadar sejarah. Ia memberi kita cermin sekaligus sebuah pertanyaan yang menuntut dijawab hari ini. Apakah kita masih mendidik dengan keberanian? Apakah kita memberi ruang kepada perempuan untuk bersuara tanpa harus menyamar menjadi laki-laki? Apakah pendidikan kita membebaskan, atau justru membentuk manusia taat tanpa keberanian bertanya?

Rasuna tidak sempurna. Ia manusia. Tapi keberaniannya, konsistensinya, dan kapasitasnya untuk menyatukan iman, ilmu, dan aksi adalah sesuatu yang langka—bahkan dalam konteks hari ini. Di tengah zaman yang membingungkan ini, kita tidak perlu terus mencari panutan baru. Kita hanya perlu lebih jujur membaca ulang mereka yang telah berteriak di masa lalu. Rasuna Said adalah satu dari sedikit suara yang tidak hanya menggema di masa lampau, tapi terus mendengung menunggu dijawab. Rasuna bukan hanya pejuang masa lalu, Ia adalah suara-suara perjuangan yang belum selesai hingga kini. [AA]

3

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.