Kesadaran dan penyadaran akan penyakit wabah bukan monopoli sains. Agama juga memberi tuntutan yang gamblang dan gampang dalam menghadapi wabah (tha’un). Demikian juga masyarakat tradisi yang berorientas pada adat memiliki cara menyadari dan menyikapi berbagai serbuan penyakit.
Dou Mbawa (orang Mbawa) yang hidup di pegunungan Bima, Nusa Tenggara Barat, adalah masyarakat adat yang bertumpu pada daur pertanian (peasantry). Pergulatan hidup dengan lingkungan alam dan sosial yang intens, telah melahirkan pengetahuan dan praktik (kearifan lokal) dalam menyikapi wabah dan penyakit.
Dou Mbawa memandang jagad makrokosmos dan mikrocosmos ini menyediakan rahmat sekaligus petaka. Ruma (Tuhan) pun bisa menjadi asal bala karena hukumannya pada durhaka manusia. Juga manusia sendiri, jin (jalamao), binatang atau hewan. Tak terkecuali sira (makhluk remeh-temeh)—esena mangemo awana marama (dari yang terbang sampai yang melata).
Perwujudan musuh dan bala bagi tanaman pertanian bisa berupa nggodu (ulat), karawo (tikus), nasi (burung), karanga (wereng), sementara bagi manusia berupa kadi ro kohe (gatal-gatal), nggoma ro tema (kudis dan borok). Penyakit dan bala selalu datang tanpa disadari dan bersifat kasat mata.
Dou Mbawa menghadapi musuh-musuh itu dengan cara “berdamai”, diwadahi dalam Ritual Raju, yakni rangkaian upacara bersih kampung. Pada ritual ini mereka berdoa untuk kemurahan Yang di Atas agar membebaskan kampung dan orang-orangnya dari segala bala dan petaka.
Introspeksi
Sebelum ritual puncak (doá), mereka melakukan prakondisi dalam 3 sampai 5 hari, layaknya festival. Ada sesi paresa rasa (memeriksa diri) untuk menyadari kesalahan relasi manusia dengan alam: alam atas (Tuhan dan malaikat-Nya), alam tengah (sesama manusia), dan alam bawah (binatang dan tumbuhan). Dari sini lahir komitmen untuk memperbarui cara bergaul dengan semua level alam.
Hari-hari awal setiap penduduk melaksanakan pembersihan lingkungan fisik di rumah masing-masing. Setelah itu mereka beranjak ke pusat kosmologi, Uma Ncuhi, berupa bangunan “A Frame” sederhana, terletak di bukit kecil di tengah kampung, berlatar beringin tua dan bebatuan cadas. Sebuah tempat yang magis.
Ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk bergerak bersama sebagai komunitas guyub. Sebagai masyarakat dengan kode kehormatan (codes of honour), mereka belajar mematuhi dan menghormati otoritas dan norma sosial.
Hari-hari selanjutnya adalah kegiatan lao nggalo (pergi berburu) dan raso dana (bersih tanah kampung dengan menebar sesaji di lereng-lereng bukit dan sungai). Praktik ini pada dasarnya mengajarkan keseimbangan bahwa mencari makan kepada alam harus juga dibarengi dengan menjaga marwah dan eksistensinya. Jika tidak maka manusia akan songsong bala dan bencana.
Pembatasan Sosial
Selama masa Raju, semua penduduk kampung dilarang meninggalkan kampung, kecuali dengan alasan atau keperluan darurat. Beberapa pantangan diterapkan, seperti tidak melakukan muna (menenun), lete fare (menjemur padi), mbaju (menumbuk padi), bercocok tanam mendahului yang lain, membabat hutan atau menebang pohon, berjualan keliling kampung, menganyam tikar, isu ni`u (berkeramas santan kelapa), dan isu kaleli (berkeramas minyak kemiri). Bagi mereka yang pergi ke bukit dan sungai untuk lao nggalo dan raso dana dilarang menebang pohon, mencuri, dan mengambil barang temuan.
Jika larangan-larangan itu dilanggar, maka diyakini musuh dan bala akan menyerang tanaman pertanian, manusia yang bersangkutan, dan kampung beserta penduduknya. Biasanya ada saja yang melanggar. Namun bila ada yang sakit, sando (dukun) segera bisa mengobatinya dengan doa-mantra dan borehan ramuan tertentu.
Jika ada orang luar yang berjualan, hal itu masih dibolehkan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan lauk-pauk dan bahan pokok. Tetapi mereka tidak boleh berjualan keliling, harus berdiam di suatu tempat. Kalau terpaksa berkeliling kampung, maka jualan harus ditutup dengan daun pisang. Bila hal itu dilanggar, maka sanksinya menyerahkan barang dagangan itu kepada masyarakat melalui Uma Ncuhi.
Pemberlakuan pantangan ini pembelajaran sosial dan mekanisme kontrol dalam ritual. Terutama belajar bekerja bersama dan merawat kebersamaan, sambil menciptakan nilai ketundukan dan kepatuhan sosial.
Berdoa
Pada hari puncak, tatkala matahari pagi muncul dari arah timur, Dou Mbawa melakukan Doa Kasaro di Uma Ncuhi. Dalam doa ini dilontarkan bait demi bait mantra-doa memohon keselamatan kampung dan keberhasilan pertanian. Doa Kasaro dipimpin oleh tetua adat yang berkompeten, berlangsung dalam waktu cukup lama, hampir satu jam.
Pada bagian-bagian tertentu dari Doa Kasaro diselingi ritual memercik air pada bibit tanaman, sebagai simbolisasi kesiapan untuk menanam. Pada bagian lain terdapat ritual meminum tuak secara bergilir dari cawan yang dituangkan oleh pimpinan doa. Ini melambangkan filosofi sama iu (rasa senasib), yaitu penggalangan solidaritas dan persatuan di antara komunitas.
Setelah doa selesai, sesajen ditaburkan ke tempat-tempat yang disebut rafu (persemayaman roh nenek moyang), di sungai dan gunung di sekitar kampung. Tradisi ini dimaknai larung untuk membuang dan membersihkan penyakit yang hinggap di kampung, sekaligus sebagai cara menghubungkan kembali penduduk kampung dengan sumber asal-usul.
Ibrah
Terlepas dari sinkretisnya praktik ini, ada pelajaran besar dari kearifan masyarakat kecil menghadapi petaka. Kita harus lebih jernih menengok ke dalam, bahwa kepada alam kita telah keliru menggauli, sembari memperbaiki diri dan relasi dengan alam. Kita juga harus punya ikhtiar untuk mendisiplinkan masyarakat melalui norma dan otoritas. Kita juga diajarkan untuk meletakkan kemusykilan hidup di atas landasan spiritual, tidak melulu kepada sains dan teknologi. [MZ]