Woko Utoro Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Tulungagung

Anak dalam Lingkaran Eksploitasi Media

2 min read

Souce: thedanishway.com

Beberapa waktu lalu saya mendapat kiriman video yang berisi konten humor “dewasa” namun diperankan oleh anak di bawah umur. Awalnya saya acuh saja dengan video tersebut, namun pada akhir video saya begitu terkejut dengan teks kalimat yang ada dalam percakapanya. Tentu, bagi saya, konten demikian itu tidak lucu sama sekali, justru konten dewasa sangat berbahaya sekali bagi perkembangan anak ke depannya.

Dunia anak memang sangat rentan terhadap ekploitasi, salah satu faktornya karena anak belum mengerti apa-apa selain mengikuti apa kata orang dewasa. Dalam video kiriman teman saya itu, saya menemukan beberapa poin eksploitasi yang mana si anak tersebut diajari untuk berselingkuh.

Ia dipaksa dengan santainya untuk mengatakan aku selingkuh dan berganti pasangan dengan yang lain. Selanjutnya si anak harus memilih selingkuhanya dengan frasa fisik, yaitu “jika ada yang cantik kenapa memilih yang jelek”. Dua poin yang sesungguhnya bukan bahasa anak-anak itu benar-benar mencirikan kebodohan si pembuat konten. Karena, pada dasarnnya, dunia anak-anak dan orang dewasa sangat berbeda, bahkan memiliki batasan.

Namun, itu bukan berarti ada sekat di antara anak dan orang dewasa, lebih tepatnya persoalan waktu. Anak belum saatnya mendapat pengetahuan tentang perselingkuhan misalnya, karena seharusnya anak masih dalam proses pembelajaran, pendidikan yang membuatnya menjadi mandiri.

Dunia anak seharusnya masih dalam lingkup bermain, sehingga saat masa bermain tersebut telah usai, si anak akan mengalami perkembangan yang sempurna. Terkait beberapa orang tua yang telah memberi sex education tentu itu soal lain karena sex education dalam hal ini lebih pada pendidikan untuk mengenalkan mereka tentang gender, hak kewajiban, batasan, serta tugas dan fungsi yang menyertainnya. Bukan pengetahuan dewasa seperti hubungan seksual dan lainya.

Baca Juga  3 Hal yang Menjadi Tanggung Jawab Setiap Orang Berilmu

Data statistik dari KPAI pada tahun 2018 menyebutkan bahwa telah terjadi sekitar 36 kasus eksploitasi anak. Kasus tersebut terbagi atas kekerasan seksual, traficking, hingga ekploitasi ekonomi. Secara khusus, data tersebut juga menyebutkan ekploitasi yang berkaitan dengan fisik, seksual, dan traficking selalu bagai bola salju, tiap tahun selalu meningkat.

Belum lagi soal KDRT yang lagi-lagi anak selalu jadi korbannya. Kasus seperti eksploitasi ekonomi dengan modus mengemis juga sering kita jumpai. Anak-anak dipaksa kerja keras bahkan tak jarang ada yang sampai menjadi tulang punggung keluarga.

Menurut UU No. 23 tahun 2002 eksploitasi terhadap anak terbagi menjadi 3 kategori, eksploitasi fisik, eksploitasi sosial, dan eksploitasi seksual. Secara umum, ekploitasi yang sering kita temukan yakni memanfaatkan anak untuk mengemis dan mengamen di jalan, berjualan koran, hingga menjadi pekerja seks komersial. Tujuannya tidak lain adalah demi mendapat popularitas dan keuntungan ekonomi.

Inilah yang perlu diwaspadai oleh para orang tua terutama di era media sosial yang semakin masif ini. Kita mungkin sering melihat anak-anak dilibatkan dalam peran-peran dunia digital. Mereka menjadi pemeran dan meramaikan media sosial terutama menjadi selebgram atau YouTubers.

Dikutip dari berita CNBC (21/7/2019) bahwa perusahaan produksi mainan Lego, melakukan survei kepada anak Amerika Serikat (AS) dan Cina usia 8 sampai 12 tahun sebanyak 3.000 anak. Survei juga melibatkan 326 orang tua yang memiliki anak berusia antara 5 dan 12 tahun.

Hampir sepertiga dari anak-anak dalam survei tersebut mengatakan bahwa mereka ingin menjadi YouTuber ketika tumbuh dewasa. Sebenarnya tidak salah menjadi apapun. Akan tetapi hal itu tidak sepenuhnya salah. Bisa juga kita menilai dari segi positifnya. Hal itu senada dengan perkataan penyair Lebanon Khalil Gibran (w. 1931) bahwa anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.

Baca Juga  Naturalisme dan (De)legitimasi Evolusi

Anak memang cenderung akan mengikuti apa kata hatinya. Semua itu terbawa karena konsumsi sang anak, apa yang dilihat, didengar dan dirasakanya. Mereka memang termasuk peniru ulung sehingga di masa inilah peran orang tua dan orang sekitarnya sangat menentukan perkembangan anak. Jangan sampai orang tua melewatkan mendampingi anak di masa tersebut. Terutama di era digital ini, para orang tua harus di garda depan mengawal perkembangan si buah hati.

Media sesungguhnya bermata dua, ia bisa menjadi positif dan bisa juga negatif tergantung siapa penggunanya. Jika seseorang bijak dalam menggunakan media tentu kasus penipuan, prostitusi online, hingga kejahatan dunia maya lainnya bisa dicegah. Sayangnya, para orang tua terkadang, bahkan seringkali kewalahan menghadapinya karena arus informasi yang begitu cepat.

Lebih lagi perkembangan anak dalam menerima informasi media sosial begitu cepat melebihi orang tuanya. Di sinilah peran pentingnya peran orang tua untuk mengawasi tumbuh kembang anak terutama dalam hal interaksinya dengan media sosial. [AA]

Woko Utoro Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Tulungagung