Wacana sertifikasi ulama yang digaungkan oleh Kementerian Agama ini muncul karena seiring maraknya ustaz dan mereka yang mengaku sebagai ulama namun ceramah-ceramah yang disampaikan lebih layak disebut sebagai provokasi, seperti yang sering kita lihat di media sosial. Hanya bermodal hafal satu atau dua hadis dan ayat Alquran, mereka ini sudah dianggap sebagai ulama. Padahal, bukankah ulama adalah pewaris risalah para Nabi?
Di tengah wacana sertfikasi ulama ini, ada beberapa pihak yang tidak sepakat akan diadakannya sertifikasi ulama. Mereka yang tidak sepakat, takut tidak dapat panggung di masyarakat ataukah takut diketahui karena kebodohannya.
Bukankah ulama itu mengetahui semua permasalahan agama. Bukankah ulama itu pemegang otoritas pewaris Nabi penuh. Bukankah ulama itu sudah puluhan tahun kenyang ilmu agama yang diasah sejak kecil. Yang aneh lagi, Majelis Ulama Indonesia menolak wacana sertifikasi ini.
Kita bisa belajar dari negara tetangga, Malaysia, tentang sertifikasi ulama. Bukan sembarang orang bisa tampil di panggung khutbah jumat, bisa tampil di panggung pengajian umum, dan bisa memberikan tausiyah di masjid-masjid. Siapapun ustaz yang akan memberikan ceramah baik khutbah ataupun pengajian di cek dulu kelulusan sertifikasi ulamanya.
Misalnya, ada seorang ulama yang sudah mendapatkan sertifikasi level C, maka ia hanya bisa dakwah di musola-musola kampung dan tidak bisa di masjid besar. Jika seorang ulama mendapatkan sertfikasi level B, maka ia bisa berkhutbah di musola dan masjid-masjid regional. Sedangkan jika seorang ulama sudah mendapatkan sertifikasi level A, maka ia bisa memberikan khutbah dan pengajian di seantero negeri. Dengan model ini, siapapun yang akan memberikan khutbah di masjid setempat akan ketahuan kadar keilmuannya.
Indonesia bisa menerapkan model seperti di atas, atau melalui mekanisme lain. Contoh, untuk mendapatkan sertifikasi ulama, maka harus bisa membaca kitab Sirajut Thalibin. Sebuah kitab karangan Syekh Ihsan Jampes dari Kediri. Kitab yang dipakai umat Islam sedunia, bahkan diwajibkan di kampus al-Azhar dan di daerah Afrika.
Atau, misalnya, tes paling dasar bagi ulama level kecamatan, harus bisa membaca dan menjelaskan kitab “gundul” Sullam Al Munajat karya Syaikh Nawawi Al Bantani, seorang ulama terkenal dari Banten Indonesia yang karyanya sangat banyak dan pernah menjadi Imam masjidil Haram Makkah.
Sertifikasi ulama perlu dilakukan di tengah sikap yang demokratis.
Menjadi ulama itu bukan asal cetak banner, lantas di bawah nama kita tertulis ulama. Atau hanya dengan bermodal hafalan satu-dua ayat tampil di media dan punya masa banyak, padahal ceramah yang disampaikan lebih tepat disebut sebagai hujatan,provokasi, mengkafirkan, bahkan berkata jorok.
Saya kira, menyandang gelar ulama itu berat. Meminjam istilah Dillan, “menjadi ulama itu berat, biar saya saja yang jadi ulama”. Artinya, hanya orang-orang yang benar memahami ilmu agama saja yang mampu dan seharusnya disebut sebagai ulama yang menjadi rujukan permasalahan masyarakat. Namun, jika seseorang hanya merasa bisa dan diperparah dengan bersemayamnya sikap sombong, maka itulah awal muncul kebodohan. [AA]