Rasanya tidak ada agama selain Islam yang mewajibkan umatnya untuk melakukan ritual massal sebagaimana ibadah haji. Ibadah haji yang keabsahannya mewajibkan pelakunya untuk melakukannya dalam satu waktu dan satu tempat tertentu membuatnya menjadi ritual keagamaan paling massif yang pernah ada.
Aturan syariah dalam masalah haji ini membuat jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul dalam satu ruang dan waktu. Mungkin yang agak menyerupai ritual haji, sekalipun perbandingan jumlahnya sangat jauh, adalah ibadah umat Hindu di Sungai Gangga, India. Atau, Kebaktian Agung di kompleks Basilika Santo Petrus yang memiliki luas area dua puluh tiga ribu meter persegi dengan kapasitas enam puluh ribuan. Bandingkan dengan luas kompleks Masjidil Haram yang mencapai 357 ribu meter persegi. Dengan luasnya ini, Masjidil Haram dapat menampung sekitar satu hingga dua juta orang di dalamnya.
Umat Muslim meyakini bahwa haji ada panggilan Allah. Para jamaah haji diundang oleh Allah untuk mengunjungi rumah-Nya. Melalui haji, Allah memerintahkan umat Muslim untuk menyaksikan kebenaran Islam sebagaimana yang telah dijabarkan melalui ayat-ayat-Nya dalam al-Qur’an. Haji adalah ujian terhadap keimanan dan ketauhidan.
Perjalanan haji bukanlah perjalanan menapaktilasi kisah-kisah mitos yang dipenuhi dengan dongeng-dongeng akan makhluk astral yang tak kasat mata. Sekalipun Allah Maha Kuasa menentukan segalanya, namun ganjaran yang dijanjikan Allah pada hambanya yang melaksanakan haji adalah surga, bukan hal-hal magis yang biasa dijanjikan para dukun sakti. Inilah yang termaktub dalam hadits yang sangat terkenal: الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة (Tidak ada pahala bagi haji mabrur kecuali surga).
Banyak yang bertanya, untuk apa haji ke Mekkah? Jika Allah bisa ditemui di mana pun kita berada, mengapa harus jauh-jauh pergi ke Mekkah? Menapaktilasi sejarah dan mengunjungi situs-situs atau objek yang tertulis dalam al-Qur’an dan terpahat dalam sejarah perjuangan para Nabi akan menambah keimanan kita.
Manfaat mengunjungi sebuah objek dan mengalaminya secara langsung lebih baik dibanding hanya mendengar dari pihak lain adalah sebuah metode pendidikan yang telah diakui oleh para pakar. Setelah melihat dan mengalami langsung, diharapkan level keyakinan seseorang meningkat dari ainul yaqin ke haqqul yaqin. Sebegitu pentingnya hal ini, tidak mengherankan jika ketika kelompok Wahabi ingin menghancurkan situs-situs tersebut, gelombang protes datang dari para ulama dari seluruh dunia.
Nabi Muhammad pasti menyadari bahwa suatu saat nanti umatnya memerlukan semacam historical evidance untuk menopang dan meningkatkan keimanannya. Apakah berarti umat Muslim lemah imannya karena seakan-seakan tidak cukup dengan penjelasan al-Qur’an? Sama sekali tidak. Allah sendiri berfirman bahwa ayat-Nya tidak hanya berupa ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), tapi juga kauniyah (fenomena yang bisa diindrai).
Tentu saja kita saat ini tidak lagi bisa berharap ditunggui oleh para Sahabat Nabi. Kita tidak mungkin bisa mengharapkan sosok-sosok seperti Sayidina Abu Bakar atau Ali bin Abu Thalib atau As’ad bin Zurarah atau Sahabat Nabi lain untuk tetap hidup bersama kita saat ini. Jarak waktu kita dengan mereka adalah empat belas abad lebih. Itulah mengapa tapak-tapak sejarah Nabi dan para Sahabatnya itu penting untuk tetap dilestarikan.
Dari sudut pandang jurnalisme, pentingnya situs-situs itu bagi kita saat ini seperti prinsip pencarian kebenaran dalam dunia jurnalisme. Salah satu dari lima prinsip inti jurnalisme (five core principles of journalism) adalah bahwa kebenaran dan akurasi (truth and accuracy) seorang jurnalis tidak selalu bisa menjamin ‘kebenaran’, tetapi yang ditekankan adalah mendapatkan fakta dengan benar.
Keberadaan Ka’bah, bukit Shafa dan Marwah, Maqam Ibrahim, Hijir Ismail, dsb. adalah bukti nyata atas seluruh kebenaran yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an. Betapa beruntungnya jika hal-hal yang dinyatakan dalam al-Qur’an itu bisa ditemukan dalam kenyataan. Itulah yang saat ini bisa kita temukan melalui ibadah haji.
Pewajiban ibadah haji dengan ditambahi kata ‘bagi yang mampu’ adalah sebuah isyarat bahwa kelak umat Islam tidak hanya berkembang di Jarizah Arab saja, tetapi meluas seantero bumi. Jelas haji adalah sebuah perjalanan spiritual. Sekalipun demikian, haji juga memiliki dampak lain. Berkumpulnya umat Muslim dari berbagai penjuru dunia di musim haji berdampak pula pada pergerakan ekonomi, diplomasi, dan pengetahuan tentang keanekaragaman budaya, suku, dan bahasa, serta gerakan dakwah yang massif dan menyebar.
Ritual haji bagaikan sebuah konferensi internasional. Setiap orang saling berinteraksi dan ber-ta’aruf satu sama lain. Mereka menjalin kekerabatan dalam keislaman. Dimensi spritual dan sosial beriringan dalam satu rangkaian ibadah ini.
Melalui ritual haji ini, Nabi mendakwahkan kepada umatnya bahwa ada sosok-sosok sebelumnya yang juga harus dimuliakan. Melalui jamaah haji, keagamaan kita dipersambungkan secara spiritual dengan Nabiyullah Ibrahim sebagai Bapak Tauhid.
Melalui ritual haji, kita mendapati berbagai bukti sejarah tentang apa yang telah Allah firmankan. Ibadah haji adalah perjalanan spiritual sekaligus napak tilas sejarah dari perjuangan manusia-manusia mulia sebelum kita. Melalui haji kita meneladani bahwa alam yang sangat tandus dan gersang pun bisa melahirkan sebuah peradaban dunia, jika dikelola oleh pribadi-pribadi yang agung dan mulia.
Melalui ritual haji, Allah menunjukkan kepada kita bahwa Dia menciptakan manusia yang beragam. Keragaman manusia ini tidak memiliki implikasi apapun atas kemuliaannya kecuali sebab ketaqwaannya. Ketaqwaan hanya akan muncul dari rahim tauhid. Inilah yang tergambar dalam ritual thawaf, ketika lautan manusia yang beragam berputar mengelilingi satu titik, yaitu ka’bah, Baitullah (Rumah Allah).
Melalui ritual haji, kita juga diingatkan pentingnya keberdayaan umat Islam. Syarat ‘istitha’ah’ (kemampuan) adalah isyarat yang jelas dari Allah bahwa umat Muslim harus berdaya dalam segala hal. Ibadah haji adalah ibadah spiritual yang melibatkan keberdayaan fisik dan biaya.
Adalah kewajiban kita saat ini meneruskan dakwah Rasulullah ini. Kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa haji bukanlah sebuah perjalanan mitologis dan mistis, tapi rihlah bathiniyah atau perjalanan spiritual untuk menguatkan keimanan kita atas kebenaran firman Allah dan sabda Nabi-Nya.[MMSM]