Sebelum pandemi ini muncul, saya adalah salah satu jemaah pengajian Tafsir al-Ibrīz yang diasuh KH. Husein Ilyas di kediamannya di Dusun Karangnongko, Mojokerto. Meskipun bukan jemaah yang istikamah pol-polan, yang setiap hari Jumat datang, namun boleh dibilang dalam satu bulan, saya pasti hadir sekali atau dua kali.
Perlu diketahui jemaah pengajian tersebut berjumlah ribuan. Orang-orang, yang saya sendiri agak mikir mereka ini bekerja apa tidak sih, berasal dari banyak daerah: Jombang, Lamongan, Sidoarjo, Kediri, dll. Terbanyak tentu saja dari Mojokerto sendiri.
Di samping banyaknya pengunjung, di pengajian itu juga dibeludaki para penjual kebutuhan sehari-hari. Ada yang menjual makanan, minuman, mainan, pakaian, hingga peralatan rumah tangga. Saya sebutkan saja yang saya ingat: buah nangka, juwet, salak, pisang, apel, sayur mayur, onde-onde, roti goreng, tape ketan hitam, kopyah, ikan panggang, tisu, sabun cuci, alat pijat, daster, panci, wajan, sotil, sandal, pisau, dan kutang. Serta lainnya yang masih banyak lagi.
Tiap hari Jumat mereka hadir, mengais rezeki di tengah banyaknya ibu-ibu yang cantik-cantik dan bapak-bapak yang tampan-tampan duduk ngelempoh di pengajian yang tempatnya di sekitar rumah kiai tersebut. Bersama pada jemaah, para pengais rezeki itu mewarnai suasana pagi, layaknya pasar kaget yang mencerahkan mata.
Nah, salah satu di antara pedagang itu ada pula yang menjual kutang, sekaligus celana dalamnya. Pakaian dalam perempuan itu dipajang secara terbuka. Tanpa ada tabir sama sekali. Bahkan ada yang lebih ekstrem, ia digantung di ranting-ranting pohon. Berkibar-kibar tertiup angin pagi dan tersinari mentari bervitamin D.
***
Pada awal saya mengetahui itu, jujur saya tak bisa menyembunyikan gejolak ketawa saya. Ini apaan? Di pengajian kok jualan underwear, milik kaum Hawa lagi? Begitu pertanyaan dan ketawa saya. Jujur saya mengakui, awalnya saya rikuh dengan fenomena yang terus terang saja tidak pernah saya lihat di forum-forum pengajian lainnya. Hanya di pengajian inilah, kutang dipajang dengan sangat vulgar.
Mungkin, perasaan seperti saya juga banyak menghuni pikiran orang lain. Mereka juga rikuh. Risih. Malu. Barang gituan kok dipampangkan begitu saja. Seyogianyakan dipasang tabir untuk menutupi sebagiannya. Supaya tidak kelihatan semuanya, tidak telanjang secara keseluruhannya. Begitu kira-kira dugaan saya. Benar apa tidak dugaan saya itu, saya tidak tanggung jawab loh ya. Hehehe
Tapi dengan berjalannya waktu, yang mana kedewasaan saya muncul (hoahahah), serta semakin warasnya akal saya (hahay), sayapun menyadari bahwa kerikuhan dan suudzon saya adalah salah. Karena jualan kutang itu tidak porno, baik ditutup tabir atau dibuka begitu saja. Itu tidak wagu. Sebab sejatinya, ya itulah fakta sosial kita. Bahwa manusia butuh makan, minum, bermain, butuh baju, celana dan rok. Di samping itu pula—khususnya perempuan—butuh pakaian dalam, tidak saja pakaian luar.
Lha tapi kan itu forum pengajian agama, forum kesucian. Apa tidak lebih baik dilarang saja orang-orang yang menjual kutang dan celana dalam itu? Supaya pikiran orang-orang yang mengikuti pengajian tidak berimajinasi kemana-mana, agar kesucian pengajian tidak terkotori? Tidak parnolah, istilahnya?
Kalau muncul pertanyaan model seperti itu, maka kita perlu bertanya balik: Lho, yang pikirannya parno apa gak Anda sendiri? Hanya saja Anda tutupi dengan cara berpikir kritis ala-ala demonstran itu sehingga tidak kentara?
Pertanyaan balik itu penting disampaikan, supaya pertanyaan awal tadi tidak lagi mengembara terlalu jauh. Namanya pikiran parno itu berawal dari si subjek sendiri. Ia bisa muncul sekalipun objek yang dipandangnya sama sekali tidak terbuka. Misalkan saja, ada ibu-ibu memakai daster panjang melintas di depan orang berpikiran parno tersebut. Maka pikiran orang parno itu bisa berimajinasi macam-macam. Mohon maaf, salah satunya tentang tubuh di balik daster itu.
Artinya, adalah kewajaran belaka ada yang jual kutang di pengajian. Sebagaimana pula menjual kutang di pasar malam, pasar rakyat dan swalayan mewah. Sama-sama menjual kutang, cuma forum wadahnya berbeda. Toh, kesucian pengajian agama tersebut tetap terjaga. Buktinya para jemaah selalu duduk khusyuk mendengar kalimat perkalimat (kata perkata) dikaji dari ayat yang dibaca sang kiai.
Para jemaah tidak ada yang berpikiran ngeres. Maksudnya, fisik duduk mengaji, tapi pikiran melayang-layang menerawang kutang yang berkibar-kibar di ranting pohon tadi. Sebab pikir mereka, tujuan utama kehadirannya ingin mengais ilmu dan keberkahan. Jika ada yang butuh kutang dan harganya cocok lalu dibeli, maka itu tak lebih hanya demi menutupi kebutuhan. Bukan atas dasar imajinasi yang macam-macam itu tadi.
Bahkan sebenarnya jika ditilik dari ilmu humaniora, adanya kutang dijual di forum pengajian, menunjukkan sebuah keharmonisan yang mantap antara budaya dan agama. Kutang, adalah salah satu produk pikir manusia. Sedang pengajian, adalah sarana dakwah agama. Keduanya bisa dipersatukan. Dipertemukan dan didialogkan.
Keduanya bertemu dalam satu garis yang sama, bahwa kemanusiaan (budaya) tak bisa dijauhkan dari agama. Karena itulah kemanusiaan sebagai pula manifestasi kesucian. Tidak bisa agama berdiri dengan sombong tanpa merangkul kemanusiaan. Sebab subjek yang menjalankan agama, ya manusia.
Justru yang aneh itu ada forum pengajian yang disucikan dan dielu-elukan banyak orang, ternyata banyak olok-olok dan kebencian diujarkan di dalamnya. Olok-olok, kebencian dan hinaan itu diteriakkan oleh sang ustaz dengan entengnya. Tapi saya berbaik sangka saja, pasti sang ustaz itu tidak menyadari jika olok-olok, kebencian dan hinaan itu sebenarnya jauh dari nilai kemanusiaan. Hanya saja sang ustaz sedang semaput, maka butuh kita “bangunkan”. Ternyata kutang dan pengajian sangat berhubungan, bukan? Wa Allah a’lam bisshawāb. [MZ]