Iklan merupakan hasil budaya modern yang sangat fenomenal sampai dianggap sebagai salah satu hal penting yang merefleksikan dan mengonstruksi kesadaran masyarakat kekinian. Betapa tidak, mayoritas kehidupan masyarakat terutama di era modern dan postmodern, seolah tidak menyisakan sedikit pun ruang yang steril dari pengaruh dan kuasanya.
McLuhan bahkan pernah menyebut iklan sebagai temuan karya seni terbesar abad ke-20 karena di dalamnya terkandung sejenis the magic system yang mempunyai daya luar biasa untuk melakukan the hidden persuaders atau the subliminal seduction, sehingga menjadikan kesadaran masyarakat secara masif-ideologis.
Iklan sendiri mempunyai manfaat positif dan negatif. Salah satu dampak negatifnya yaitu dikaitkan dengan persoalan semakin tingginya budaya konsumerisme, materialisme, dan hedonisme di masyarakat. Fenomena tersebut dapat terjadi karena iklan memicu lumpuhnya daya nalar kritis masyarakat akibat kecenderungan sikap dan perilakunya yang banyak diatur oleh akal. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau iklan banyak mendapat kritik keras di masyarakat. Misalnya, mengritik iklan sebagai produk budaya modern yang kontroversial jika dipandang dari perspektif moral, ideologi, dan nilainya.
Berbagai nilai-nilai yang serba Barat akhirnya menjadi bentuk obsesi keterpesonaan yang luar biasa dalam wacana periklanan di media massa yang dapat membahayakan eksistensi jati diri kebudayaan Indonesia. Fenomena itu, jika dilihat dari perspektif postkolonial, dapat dikatakan sebagai bentuk realitas penjajahan baru yang modusnya tidak dilakukan dengan cara kekerasan fisik, melainkan secara persuasif atau sebuah hegemoni.
Fenomena tersebut tentunya merupakan realitas kultural yang amat memprihatinkan karena tanpa disadari dapat berpotensi destruktif bagi pembangunan politik identitas dan nasionalisme bangsa. Terkait dengan persoalan inilah, Williams menegaskan bahwa iklan, sebagai salah satu bagian dari representasi sistem bahasa, merupakan salah satu situs hegemoni dari kebudayaan yang secara tersembunyi sebagai tempat pertarungan ideologi yang kompleks di masyarakat. Termasuk dalam konteks ini adalah ideologi poskolonial.
Poskolonial kalau diartikan menjadi sebuah teori, merupakan terminologi yang sulit untuk dikerangkai dalam definisi secara terbatas karena memang bukan sebuah konsep yang tunggal dan statis. Namun, paling tidak terdapat satu substansi penting di dalamnya, yakni poskolonial merupakan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti berbagai kebudayaan yang ada di bekas koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan aneka dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama terkait dengan persoalan ketidakadilan hubungan dialektis, misalnya dalam wujud eksploitasi, marginalisasi, dan rasialisasi.
Dengan demikian, kolonialisme tidaklah berakhir dengan berakhirnya pendudukan kolonial. Ia berganti baju menjadi new colonialism, yang substansinya tetap sama, merusak dan melukai. Kolonialisme baru tersebut dijalankan tidak secara coercive (kekerasan), melainkan secara hegemoni dengan modus memengaruhi ranah mental kesadaran masyarakat lewat determinasi kultural dengan menggunakan sarana utama yaitu ideologis bahasa.
Pada era modern dan postmodern kekinian, hegemoni itu semakin eksplosif-masif, terutama seiring dengan pengaruh revolusi teknologi dan informasi, yang disebut sebagai revolusi gelombang ketiga. Dampak dari revolusi ini telah mengubah dunia laksana sebentuk global village sehingga dunia dilanda badai globalisasi.
Dalam era globalisasi ini, pengaruh budaya Barat terhadap Timur lebih dominan dan memanifesto, misalnya, dalam wujud “Amerikanisasi”, “McDonaldisasi”, “CocaColanisasi”, “Hollywoodisasi”, serta “McDisneysasi”. Revolusi teknologi telah mengubah orientasi budaya dan sistem nilai.
Paling tidak ada tiga hegemoni estetika poskolonial yang cukup dominan dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, yakni dominan obsesi terhadap ketubuhan Barat atau Indo, kulit putih Barat dan penggunaan bahasa Inggris. Keseluruhan representasi sistem tanda nilai tersebut mengimplikasikan makna keterpesonaan atas superioritas Barat, dan sebaliknya juga inferioritas kedirian keindonesiaan. Fenomena tersebut bukan semata-mata terjadi dalam khazanah budaya periklanan, melainkan merupakan persoalan yang hampir terdapat di seluruh sistem dan pranata kultural Indonesia.
Budaya Barat seolah telah menjadi sebentuk fenomena “kutukan” obsesi historis yang melampaui akan hasrat dan keinginan apapun dalam proses kinerja kulturasi di negeri ini dan karenanya amat memprihatinkan. Adapun faktor penyebab kuatnya konstruksi dan reproduksi hegemoni estetika Barat dalam represnetasi iklan di media massa cetak Indonesia modern adalah lebih terkait dengan persoalan sindrom poskolonial yang dialami oleh bangsa Indonesia ini sebagai akibat dari proses kolonialisme yang panjang di masa lampau.
Banyak strategi kultural penting yang dapat diupayakan untuk membangun kesadaran counter hegemoni postcolonial di antaranya yang cukup strategis adalah dengan jalan merevitalisasi paradigma tentang pentingnya arti dan keberadaan berbagai kearifan budaya lokal yang sangat kaya dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dalam konteks spesifik di ranah estetika, terkait dengan revitalisasi kesadaran paradigma kultur lokalitas itu, antara lain dapat ditempuh dengan melakukan serangkaian upaya penggalian kembali berbagai keilmuan tentang “estetika keindonesiaan”, yang terutama banyak berbasis pada spirit estetika Timur, yang difungsikan sebagai paradigma estetika utama dalam segala praksis berkesenian, termasuk dalam konteks ini adalah dalam wacana periklanan.
Ketika membahas estetika keindonesiaan itu mampu diupayakan, terminologi pengembangan gagasan kreativitas yang terkait dengan estetika periklanan, tidak lagi disandarkan pada hegemoni pengedepanan berbagai sistem tanda, baik menyangkut penanda maupun petanda yang berasal dari Barat, melainkan lebih didasarkan pada seberapa besar kadar dan bobot kreativitas estetisnya yang bisa diwacanakan.
Dalam konteks ini pula, diharapkan akan tercipta kesadaran kolektif yang dimiliki oleh bangsa ini. Terutama dalam kaitannya dengan pemahaman tentang terminologi kemerdekaan, yang mestinya secara substantif mampu dimaknai lebih sebagai upaya perjuangan terhadap setiap praksis penjajahan dengan segala macam representasinya, baik yang terjadi dalam konteks kolonialisme maupun juga poskolonialisme.