Abd Ala Abdi Pesantren Annuqayah Latee Sumenep Madura; Guru Besar Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Keberagaman dalam Era Kelaziman Baru

3 min read

Di saat belum melandainya pandemi Covid-19 secara signifikan di Indonesia, di kalangan masyarakat dan pengambil kebijakan muncul wacana menuju era new normal (kelaziman baru). Pola menuju hidup dalam era kelaziman baru ini terus bergulir dan menguat. Beragam pandangan atau keinginan menyeruak ke permukaan. Ada sebagian yang berpendapat agar era ini sesegera mungkin untuk diimplementasikan. Sebagian lain, menegaskan perlunya persiapan sematang mungkin untuk menuju ke arah sana.

Terlepas kapan mau diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia, hidup dalam kelaziman baru–menurut beberapa ahli–berpulang pada dua dimensi utama; menguatnya perhatian masyarakat terhadap kesehatan atau pola hidup sehat, dan percepatan terjadinya Revolusi Industri 4.0. Martin Reeves et. al. dari Boston Consulting Grup menyatakan perubahan fundamental pada masyarakat postCovid-19 adalah perhatian yang lebih serius terhadap upaya dan tindakan kebersihan dan kesehatan, dan juga terhadap keamanan keluarga.

Perubahan hidup lain juga akan mengiringi. Sebagaimana dinyatakan Bernard Marr (Forbes, 3 April 2020), bahwa kelaziman baru meliputi beragam hal.  Di antaranya, interaksi secara kontak langsung akan berkurang dan digantikan dengan interaksi dan komunikasi secara daring. Kerja dari rumah, belanja daring dan sejenisnya akan menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat.

Sejalan dengan itu, infrastruktur digital akan mengalami penguatan atau percepatan secara signifikan. Demikian pula, telemedicine, pengobatan daring dan pelayanan klinis tanpa in-person visit akan menghiasi wajah kehidupan pasca pandemi Covid-19.

Tantangan Keberagamaan

Pertanyaan yang kemudian mengedepan, perubahan kehidupan semacam itu apakah akan mengganggu keberagamaan, khususnya keberagamaan Muslim di Indonesia? Misalnya, apakah kelaziman baru akan mendegradasi keberagamaan umat dan sejenisnya.

Yasemin El-Menouar (2014) dari Bertelsmann Stiftung Jerman melihat keberagamaan, khususnya Islam, dalam lima komponen dasar. Pertama, basic religiosity yang berhubungan dengan keimanan dasar. Kedua, central religious dutiess yang terdiri dari lima kewajiban ritual dasar yang harus dilaksanakan. Ketiga, religious experience dalam bentuk merasakan kehadiran dan keterikatan dengan sang Pencipta dan hal-hal yang gaib. Berikutnya, religious knowledge yang diwujudkan dalam kapasitas pengetahuan tentang sumber ajaran; dan terakhir religious orthopraxis yang direpresentasikan dalam keketatan dalam pengamalan ajaran agama.

Baca Juga  Desa-(kan) Kota

Berdasarkan dimensi keberagaman yang dikembangkan El-Menouar itu, new normal senyatanya tidak akan menimbulkan terjadinya gejolak dalam keberagamaan, terutama di Indonesia. Dalam bahasa yang lain, era kelaziman baru tidak akan berpengaruh signifikan dalam terjadinya degradasi keberagamaan, terutama dalam hal-hal yang substantif.

Keberagamaan umat Islam di Indonesia selama masa pandemi mengungkapkan hal itu seutuhnya. Para cendikiawan agama arus utama yang mayoritas mampu mengkontekstualisasikan nilai dan ajaran agama, khususnya Islam, ke dalam aturan, etik-moralitas, dan hukum agama yang akomodatif dan sinergis dengan kondisi pandemi. Mayoritas masyarakat pun menjalankan aktivitas dan ritual keagamaan mereka dengan menaati aturan sesuai dengan protokol kesehatan dengan penuh ketulusan dan penuh kesejukan..

Namun, bukan berarti keberagamaan dalam era kelaziman baru tidak akan menyisakan persoalan. Ada sekelompok kecil umat dalam masyarakat dengan basic religiosity yang parsial-literalistik menganggap pandemi dan sejenisnya lebih merupakan hukuman Tuhan terhadap manusia yang berdosa. Artinya, hanya pendosa yang kemungkinan besar akan terpapar wabah.

Catatan penelitian Justin Stearns (2009) menyebutkan, pandangan semacam ini nyaris terdapat pada semua umat atau tokoh beragam agama. Untuk melawan wabah, mereka menekankan umat harus lebih banyak beribadah dan meramaikan tempat-tempat ibadah. Mereka cenderung mengabaikan aspek lainnya, seperti aspek hegienis dan kesehatan.

Persoalan menjadi tambah runyam manakala keberagamaan tersebut bersanding erat dengan–meminjam ungkapan Khalid el-Fadl–theology of power. Teologi ini dianut sekelompok orang yang melihat modernitas dengan segala turunannya sebagai ancaman terhadap mereka.

Perasaan frustasi dan merasa kalah mengantarkan mereka kepada perlawanan terhadap segala hal yang dianggap sebagai ancaman. Untuk melawan, mereka sering, kalau tidak selalu, menggunakan cara-cara kekerasan.

Dari fenomena yang berkembang selama ini, keberagamaan sejenis ini memiliki peluang (sekecil apa pun) untuk tumbuh dan berkembang. Bagaimana pun juga, pandemi telah menyudutkan masyarakat kepada kepanikan, trauma dan seumpamanya yang sangat rentan mengarah keberagamaan semacam itu. Apalagi kalau politik identitas ikut nimbrung masuk ke dalamnya, sebagaimana tampak menyeruak di dunia media sosial dewasa ini.

Baca Juga  Teori Konflik Sosiologi dalam Kasus Kecurangan Pemilu 2024

Dari Literasi Keagamaan ke Literasi Informasi

Sekecil apa pun peluang adanya keberagamaan parsial-literalistik, terutama di era kelaziman baru nanti, perlu diantisipasi dan diupayakan tidak dapat tumbuh kembang. Penyebaran dan penguatan religiositas sejenis itu cenderung menjadikan new normal sebagai old normal yang abai terhadap protokol kesehatan dan segala turunannya.

Selain itu,  agama juga akan mudah ditumpangi penumpang gelap dan dibebani titipan hal-hal pragmatis, sempit, dan sektarian yang akan menjadikan agama alat kepentingan, bahkan pembenar bagi tindak kekerasan, seperti politik identitas.

Menyikapi hal itu, literasi keberagamaan mutlak menjadi bagian dari pandangan dan kehidupan umat beragama. Literasi ini mensyaratkan umat untuk memahami dan mengembangkan pemahaman, sikap dan perilaku berdasarkan sumber keagamaan yang “otoritatif”. Sumber nilai dan ajaran yang dijadikan pegangan dapat dipertanggungjawabkan secara teologi, etika-moral, dan dalam Islam juga fikih. Pada saat yang sama, mereka dituntut untuk memiliki sikap kritis, dan tidak reaktif dalam menyikapi pandangan-pandangan agama yang ada.

Seiring itu, mereka juga mesti memiliki kemampuan literasi informasi. Era the Fourth Industrial Revolution yang berbasis cyber physical system nyaris tidak akan memberikan peluang kehidupan yang normal dan layak bagi mereka yang tidak memiliki literasi tersebut.

Dalam konteks Indonesia, dunia media sosial misalnya telah memporak-perandakan kebenaran dan realitas. Kebohongan informasi (hoaks) dianggap, bahkan diyakini sebagai kebenaran hanya karena ulah permainan oknum atau kelompok yang menguasai dunia teknologi informasi. Berpulang pada lemahnya kemampuan literasi, masyarakat bukan hanya yang tidak berpendidikan yang termakan hoaks dan sejenisnya, tapi juga mereka yang menguasai agama atau bependidikan tinggi tapi tidak melek informasi.

Kemampuan minimal dua literasi tersebut merupakan keniscayaan bagi umat beragama. Melalui penguasaan literasi keagamaan dan literasi informasi, umat beragama diyakini dapat menyesuaikan diri dalam era new normal. Bahkan bukan hanya dapat menyesuaikan, mereka berpeluang besar untuk memberikan sumbangsih signifikan bagi era new normal dan kehidupan di masa-masa yang akan datang. [AA]

Abd Ala Abdi Pesantren Annuqayah Latee Sumenep Madura; Guru Besar Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya