Menafsirkan Alquran berarti upaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandungan Alquran. Karena objek tafsir adalah Alquran yang merupakan sumber pertama ajaran Islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran merupakan keharusan. Tafsīr al-Ibrīz karya KH Bisri Mustofa merupakan hasil pemahaman dan penafsiran atas teks suci Alquran. Ia merupakan gabungan refleksi audiens atas teks suci dan realitas lain yang mengitarinya. Seorang penafsir mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-kata atau tulisan yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti audiens–nya.
Seorang penafsir saat memahami dan menafsirkan sebuah teks suci, sebagaimana Kiai Bisri Mustofa saat menafsirkan Alquran dan kemudian dituliskan dalam sebuah buku yang disebut al-Ibrīz, pada hakikatnya telah melakukan kegiatan hermeneutiS. Kegiatan ini merupakan problem hermeneutika yang meliputi dua hal. Pertama, seorang mufassir telah menyampaikan kehendak Tuhan dalam ‘bahasa langit’ kepada manusia yang menggunakan ‘bahasa bumi’. Kedua, penafsir menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang berbeda.
Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan setiap bahasa mencerminkan pola budaya tertentu, maka problem terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutika. Demikian pula tafsir al-Ibrīz, ia ditulis dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab pegon. Karena tafsir ini memang hendak menyapa audiens–nya dari kalangan Muslim Jawa yang sebagian besar masih tinggal di pedesaan.
Tafsīr al-Ibrīz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pegon). Pilihan huruf dan bahasa ini tentu melalui pertimbangan matang oleh penafsirnya. Pertama, bahasa Jawa adalah bahasa ibu penafsir yang digunakan sehari-hari, meskipun ia juga memiliki kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibrīz ini tampaknya ditujukan kepada warga pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa.
Karena yang hendak disapa oleh penulis Tafsīr al-Ibrīz adalah audiens dengan karakter di atas, maka penggunaan huruf dan bahasa di atas sangat tepat. Merujuk pada kelahiran Nabi Muhammad di Mekah dan berbahasa Arab, sehingga Alquran pun diturunkan dengan bahasa Arab, miaka Tafsīr al-Ibrīz yang ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa adalah bagian dari upaya penafsirnya untuk membumikan Alquran yang berbahasa langit (Arab dan Mekah) ke dalam bahasa bumi (Jawa) agar mudah dipahami.
Memang benar, dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon, tafsir ini menjadi eksklusif, dibaca dan hanya dipahami oleh orang-orang yang familiar dengan bahasa Jawa dan huruf Arab (santri). Itu berarti, tidak setiap orang mampu mengakses tulisan dan bahasa dengan karakter tersebut. Tetapi dari sudut pandang hermeneutik, orang tidak akan meragukan otentisitas dan validitas gagasan yang dituangkan penulisnya, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sangat dikuasainya dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.
Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam Tafsīr al-Ibrīz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh (tata krama). Ada semacam hierarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa, yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Bahasa Jawa yang digunakan oleh KH Bisri Mustofa berkisar pada dua hierarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus).
Kedua hirarki bahasa ini dipakai pada saat berbeda. Bahasa ngoko digunakan tatkala KH Bisri Mustofa menafsirkan ayat secara bebas, karena tidak ada keterkaitan dengan cerita tertentu dan tidak terkait dengan dialog antar dua orang atau lebih. Sementara bahasa kromo digunakan untuk mendeskripsikan dialog antara dua orang atau lebih, yang masing-masing pihak memiliki status sosial berbeda. Satu di bawah dan lainnya di atas. Satu hina dan lainnya mulia.
Misalnya, deskripsi dialog yang mengalir antara Ashāb al-Kahf dengan Raja Romawi Diqyanus, antara Qithmīr (anjing yang selalu mengiringi langkah Ashāb al-Kahf) dengan Ashāb al-Kahf, antara Nabi Muhammad dengan seorang konglomerat Arab-Quraisy bernama Uyaynah b. Hishn, antara Allah dengan Iblis yang enggan menuruti perintah-Nya untuk bersujud pada Adam, juga antara Khidir dengan Musa.
Dari sisi sosial, tafsir ini cukup bermanfaat dan memudahkan bagi masyarakat pesantren yang notabene adalah warga desa yang lebih akrab dengan bahasa Jawa dibanding bahasa lainnya. Dari sisi politik, penggunaan bahasa Jawa dapat mengurangi ketersinggungan pihak lain jika ditemukan kata-kata bahasa Indonesia misalnya, yang sulit dicari padanannya yang lebih halus. Bahasa Jawa memiliki tingkatan bahasa dari kromo inggil sampai ngoko kasar, yang dapat menyampaikan pesan kasar dengan ragam bahasa yang halus.
Gaya bahasa Tafsir al-Ibrīz sangat sederhana dan mudah dipahami. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko andap dengan struktur sederhana. Tutur bahasanya populer dan tidak jlimet (rumit). Meski harus diakui, jika dibaca oleh generasi sekarang kadang mengalami kesulitan karena kendala bahasa dan kebiasaan yang dianut.
Penafsiran Bisri Mustofa juga banyak dipengaruhi dengan lokalitas yang masih melekat dengan bahasa Jawa yang disesuaikan dengan masyarakatnya, misalnya penafsiran yang menyangkut Q.S. al-Zumar [39]: 6, KH Bisri Mustofa memasukkan nama hewan yang notabene ada di daerah sekitar rembang yaitu wedus kacangan atau kambing.
خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan ?”.
Sebagai contoh dalam al-Ibrīz, KH Bisri Mustofa menafsirkan sebagaimana berikut.
Allah Ta’ala nitahake sira kabeh sangking awak-awakan kang siji (yoiku Nabi Adam) nuli Allah Ta’ala ndadekake sangking awak-awakan mau (Nabi Adam) rupa bojone (yoiku Hawā’) lan Allah Ta’ala nurunake kanggo sira kabeh sangking werna-wernane raja kaya wolu sejodoh-sejodoh (unto sejodo, sapi sejodo, domba sejodo, wedos kacang sejodo). Allah Ta’ala nitahake sira kabeh ana ing wetengane ibu-ibu sira kabeh rupa kedadehan sak wuse kedadehan (ateges asli namung rupa mani nuli dadi getih nuli dadi daging nganti dadi sampurno). Sira kabeh podho manggon ono ing peteng rangkep telu (siro kabeh dibuntel ari-ari, ari-arine ono ing telanaan, telanaan ono ing weteng). Yo pengeran kang kuoso nitohake mengkono iku gusti Allah, Pengeran iro kabeh, namung kagungane Panjenengan Allah sekabehane kerajaan, ora ana Pengeran kang haq kasembah kejobo namung Panjenengan Allah Ta’ala dewe nuli kapriye teko sira kabeh podho biso di anggukake (marang nyembah sak liane Allah Ta’ala).
Editor: MZ