Penderitaan merupakan aspek inheren dari kondisi manusia, sebuah benang eksistensial yang mengikat individu lintas waktu dan budaya. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari rasa sakit fisik, penderitaan emosional, hingga keputusasaan eksistensial. Kita akan mencoba mengeksplorasi pengalaman manusia dalam menghadapi penderitaan dan bagaimana Islam menawarkan perspektif unik dalam memahami dan mengatasinya.
Penderitaan adalah fenomena yang mempunyai banyak segi. Hal ini dapat terwujud dalam berbagai cara, seperti rasa sakit fisik akibat penyakit atau cedera, tekanan emosional yang disebabkan oleh kehilangan atau trauma, atau penderitaan eksistensial yang timbul dari pertanyaan tentang tujuan dan makna hidup.
Apa pun bentuknya, penderitaan menjadi kenyataan hidup manusia yang tak terhindarkan, yang dapat menimpa siapa pun pada kapan pun—bahkan orang yang tak tepat di waktu yang juga tak tepat. Hal ini dapat menjadi sumber kesedihan dan keputusasaan yang mendalam, menguji ketahanan dan keyakinan seseorang dalam menghadapi kesulitan.
Penderitaan fisik, seperti penyakit atau cedera, sering kali menimbulkan perasaan rentan dan tak berdaya. Keterbatasan tubuh menjadi sangat nyata, dan seseorang acap pula bergumul dengan ketakutan akan kematian.
Sebaliknya, penderitaan emosional muncul dari peristiwa kehidupan seperti kehilangan orang yang dicintai, masalah hubungan, atau pengalaman traumatis. Situasi ini dapat menimbulkan kesedihan, kesayuan, dan gejolak emosi yang menggores.
Penderitaan eksistensial, yang paling mendalam, berpusaran pada pertanyaan mendasar tentang eksistensi diri. Mengapa “aku” menderita? Apa arti kehidupan? Mengapa kebaikan dibalas dengan kejahatan? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini dapat menimbulkan rasa rengsa dan putus asa.
Islam menawarkan perspektif unik tentang penderitaan yang berakar kuat pada ajaran dan prinsipnya. Inti dari pandangan Islam adalah keyakinan bahwa penderitaan ialah bagian dari rencana Tuhan. Hal ini dipandang sebagai ujian keimanan seseorang dan sarana penempaan diri secara spiritual. Al-Qur’an sendiri mengakui penderitaan sebagai kenyataan hidup, tetapi juga menekankan bahwa penderitaan bukannya tanpa tujuan.
Dalam Islam, penderitaan dipandang sebagai ujian keimanan seseorang. Kesulitan dan kesusahan dipandang sebagai kesempatan bagi individu untuk mengejawantahkan kesabaran, keberpasrahan, dan kepercayaan mereka kepada Tuhan.
Al-Qur’an sering menyebut konsep cobaan dan kesengsaraan, menekankan pentingnya menanggung penderitaan dengan ketabahan. Diyakini bahwa Tuhan sendirilah yang mengizinkan penderitaan demi memurnikan karakter seseorang dan memperkuat hubungan manusia dengan-Nya.
Selanjutnya, penderitaan juga dipandang sebagai sarana ampunan Tuhan. Umat Islam didorong untuk senantiasa bersandar kepada Tuhan, terutama saat mengalami kesusahan, lantaran pada titik itulah manusia kerap gampang menyadari bahwa ia hanyalah hamba. Dengan cara itu, manusia mencari belas kasihan dan pertolongan-Nya. Penderitaan dapat menjadi katalisator untuk refleksi diri dan pertobatan, yang kemudian mengarah pada hubungan lebih dekat dengan Tuhan.
Selain itu, penderitaan adalah pengingat akan nikmat yang sering kali dianggap remeh. Dalam Islam, diyakini bahwa rasa syukur di saat seseorang menderita dapat meningkatkan keberkahan. Di dalam al-Qur’an, Tuhan berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim [14]: 7).
Dengan mengakui penderitaan dan menyikapinya dengan rasa syukur, orang mukmin dapat menemukan konsolasi dan konsolidasi diri dalam memahami tujuan penderitaan atau kesusahan yang tengah mereka alami.
Lebih jauh, penderitaan acap kali dipandang sebagai sarana penyucian jiwa. Sama seperti api memurnikan emas dengan menghilangkan kotorannya, penderitaan dapat memurnikan jiwa manusia lantaran dapat membersihkannya dari dosa dan keterikatan pada materialisme. Hal ini kemudian dapat mendorong individu untuk merefleksikan tindakannya dan melakukan perubahan positif dalam hidupnya.
Penting dicatat bahwa Islam juga mempromosikan gagasan dukungan komunal kepada orang-orang yang menderita atau mengalami kesulitan. Hal ini menstimulasi orang-orang beriman untuk menunjukkan kasih sayang dan berbagi kebaikan kepada mereka yang menderita. Rasa kebersamaan dan empati ini dapat memberikan pelipur lara bagi mereka yang menghadapi kesulitan atau cobaan.
Terakhir, Islam mengajarkan bahwa siapa yang menanggung penderitaan dengan sabar dan beriman akan mendapat pahala di akhirat. Keyakinan ini memberikan harapan dan menyuplai ketabahan mental, mengingatkan individu bahwa penderitaan mereka tidak sia-sia serta tidak akan terjadi selamanya.
Kendati pandangan Islam tentang penderitaan menawarkan tilikan yang mendalam untuk memahami dan mengatasi kesulitan, penting untuk menyadari bahwa pengalaman penderitaan bisa bersifat sangat pribadi dan subjektif. Tidak semua umat Islam menafsirkan dan menerapkan prinsip-prinsip ini dengan cara yang sama, dan respons manusia terhadap penderitaan bisa sangat bervariasi berdasarkan keyakinan individu, pengaruh budaya, dan pengalaman pribadi.
Pada akhirnya, pengalaman penderitaan manusia adalah realitas universal yang melampaui batas-batas budaya, agama, dan geografis. Hal ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk, yang menyebabkan tekanan fisik, emosional, eksistensial, bahkan spiritual, sebagaimana telah disinggung di muka.
Dalam Islam, penderitaan dilihat melalui kacamata iman dan tujuan penciptaan, yakni dipandang sebagai ujian iman seseorang, kesempatan untuk pertumbuhan spiritual, dan sarana untuk mencari ampunan dan pertolongan Tuhan. Dengan mengakui peran penderitaan sebagai rencana Tuhan, sehingga manusia perlu menghadapinya dengan kesabaran serta rasa syukur. Bersabar dalam penderitaan dapat meningkatkan ketakwaan dan akan mendapatkan ganjaran sesuai janji Allah.