
Hari Raya Idulfitri merupakan momen penuh kegembiraan, persatuan, dan pembaruan spiritual bagi umat Islam di seluruh dunia. Perayaan ini tidak hanya menandai puncak ibadah suci, seperti puasa Ramadan atau haji, tetapi juga momen untuk merenungkan nilai-nilai yang lebih dalam, yakni kasih sayang, kerendahan hati, dan yang terpenting, pemaafan.
Di antara sekian banyak tradisi yang terkait dengan Idulfitri, salah satu yang menonjol adalah tindakan mencari dan memberi pemaafan. Namun, apa sebenarnya arti saling memaafkan setelah Idulfitri, dan mengapa tindakan ini begitu mengakar dalam semangat muslim?
Pemugaran setelah Idulfitri lebih dari sekadar kesopanan sosial; ini adalah pemugaran spiritual. Setelah sebulan berpuasa dan beribadah, jiwa seorang muslim dimurnikan, lebih dekat dengan Tuhan, dan siap untuk menjalani kehidupan yang saleh. Namun, tidak ada perjalanan spiritual yang lengkap tanpa memperbaiki hubungan yang rusak dengan sesama manusia.
Menyimpan dendam atau menyimpan perseteruan bertentangan dengan kedamaian dan kemurnian yang dilambangkan oleh Idulfitri. Dengan memaafkan orang lain, kita tidak hanya meringankan hati kita sendiri tetapi juga menghargai perjalanan pembersihan spiritual yang telah kita jalani.
Nabi Muhammad mengejawantahkan semangat memaafkan sepanjang hidupnya. Meskipun menghadapi penganiayaan, ejekan, dan semisalnya, ia memaafkan bahkan kepada musuh-musuh terburuknya. Setelah penaklukan Mekkah, ketika ia memiliki kekuatan untuk membalas dendam, ia memilih untuk memaafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepadanya. Tindakan belas kasih ini bukan sekadar anekdot sejarah, melainkan pelajaran berharga bahwa kekuatan sejati terletak pada melepaskan amarah dan merangkul rekonsiliasi.
Dalam kesibukan kehidupan sehari-hari, kesalahpahaman, konflik, dan luka emosional tidak dapat dihindari. Idulfitri memberikan kesempatan krusial untuk berhenti sejenak, merenung, dan mengulurkan tangan. Mengucapkan “Selamat Idulfitri” disertai dengan ucapan tulus “Mohon maaf lahir dan batin” dapat menjadi momen transformatif dalam hubungan apa pun.
Hal itu meruntuhkan penghalang, memperbaiki ikatan yang renggang, dan menumbuhkan budaya empati. Sering kali, orang menunggu “waktu yang tepat” untuk meminta maaf atau memaafkan. Maka, Idulfitri, dengan tema kasih sayang dan persatuan, adalah momen yang tepat tersebut.
Pengampunan sejati bukan hanya tentang mengucapkan kata-kata, melainkan tentang membebaskan diri kita dari beban kemarahan dan kepahitan. Menyimpan dendam dapat melelahkan secara emosional dan menguras dimensi spiritual kita. Ketika kita memaafkan orang lain, kita melepaskan diri kita dari beban ini dan menciptakan ruang untuk kedamaian dan pertumbuhan. Pemaafan setelah Idulfitri melambangkan tindakan pembebasan ini, menyelaraskan keadaan batin kita dengan perayaan kegembiraan dan persatuan lahiriah.
Secara komunal, kebersamaan umat muslim tumbuh subur dengan keharmonisan, rasa saling menghormati, dan pengertian. Satu tindakan memaafkan dapat berdampak pada keluarga, lingkungan sekitar, dan seluruh jaringan komunal. Tindakan ini menjadi contoh, menginspirasi orang lain, dan berkontribusi pada semangat rekonsiliasi kolektif.
Ketika seseorang dapat melihat bahwa Idul Fitri bukan hanya tentang makanan, pakaian baru, atau hadiah, tetapi juga tentang kemurahan hati emosional, perayaan tersebut memiliki makna yang lebih mendalam dan berdampak secara lebih luas dan emosional.
Meskipun ide memaafkan itu indah, mempraktikkannya bisa sangat menantang. Beberapa luka yang sangat dalam, beberapa pengkhianatan sulit dilupakan. Namun, Islam mengakui perjuangan ini. Al-Qur’an mendorong orang beriman untuk berusaha memaafkan, bahkan ketika itu sulit: “Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Taghabun [64]: 14). Ayat ini menjadi pengingat bahwa tindakan memaafkan, bahkan ketika tidak pantas, amatlah dianjurkan Allah.
Lebih lanjut, pemaafan setelah Idulfitri tidak terbatas pada memaafkan orang lain, tetapi juga termasuk mencari pengampunan dan memaafkan diri sendiri. Kita semua pernah gagal, melakukan kesalahan, dan menyakiti orang lain. Permintaan maaf yang tulus merupakan langkah yang ampuh menuju penyembuhan.
Pada saat yang sama, kita juga harus belajar memaafkan diri sendiri. Idulfitri adalah perayaan hujan rahmat, dan belas kasih terhadap diri sendiri merupakan bagian integral dari rahmat tersebut. Dengan mengakui ketidaksempurnaan kita dan berusaha untuk menjadi lebih baik, kita menerima esensi dari apa yang diwakili oleh Idulfitri.
Memaafkan satu sama lain setelah Idul Fitri merupakan ungkapan cinta, belas kasih, dan kedewasaan spiritual yang mendalam. Ini bukan tentang melupakan kesalahan tetapi memilih untuk melupakannya demi kedamaian batin dan keharmonisan bersama.
Di dunia yang semakin terpecah belah oleh permusuhan dan kebencian, tindakan sederhana tetapi ampuh ini dapat menjadi katalisator untuk penyembuhan dan persatuan. Jadi, saat kita merayakan Idulfitri, marilah kita juga membuka hati, mengulurkan tangan, dan menemukan kembali kegembiraan yang datang dari saling memaafkan dengan tulus.
Sumirnya, Idulfitri, dalam arti sebenarnya, bukan sekadar perayaan, melainkan undangan untuk memulai sesuatu yang baru, baik dengan Tuhan maupun dengan manusia satu sama lain.
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com