Memahami dan Mempertanyakan Ulang Mengapa Agama dan Budaya “Dibedakan”

Agama dan budaya merupakan dua aspek mendasar yang membentuk identitas, pandangan dunia, dan interaksi sosial umat manusia. Meskipun keduanya sering kali saling terkait, dapat dikatakan secara tergesa-gesa bahwa keduanya tidak sama. Sebab, hubungan keduanya sebenarnya rumit, mencerminkan relasi yang berkait kelindan sekaligus mencuatkan ketegangan.

Agama umumnya didefinisikan sebagai sistem kepercayaan, praktik, dan kode moral yang berpusat pada realitas transenden atau ilahi. Agama sering kali membahas pertanyaan mendasar tentang keberadaan, seperti tujuan hidup, sifat baik dan jahat, dan kehidupan setelah kematian.

Agama diekspresikan melalui ritual, kitab suci, kerangka etika, dan ibadah Bersama. Contohnya termasuk Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan tradisi adat yang tak terhitung jumlahnya. Budaya, di sisi lain, mencakup praktik, nilai, adat istiadat, dan artefak bersama dari sekelompok orang.

Budaya mencerminkan bagaimana masyarakat menafsirkan dan menanggapi lingkungan mereka, membentuk bahasa, seni, makanan, norma sosial, dan struktur pemerintahan. Budaya berevolusi dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh faktor historis, geografis, dan ekonomi, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak seperti agama, budaya tidak selalu melibatkan hubungan dengan yang ilahi atau metafisik.

Perbedaan antara agama dan budaya, secara dangkal, terletak pada cakupan dan fokusnya. Agama sering kali bertujuan untuk melampaui pengalaman manusia, menghubungkan individu dengan yang sakral atau abadi. Tampak berbeda, budaya lebih berfokus pada interaksi dan adaptasi manusia dalam konteks temporal dan material. Namun, agama sering kali menginformasikan budaya, dan norma budaya sering kali memengaruhi cara agama dipraktikkan.

Kesalingbergantungan Agama dan Budaya

Agama dan budaya saling terkait erat. Kepercayaan agama sering kali membentuk praktik budaya, seperti yang terlihat dalam upacara dan norma etika. Misalnya, prinsip-prinsip agama Hindu memengaruhi seni, musik, dan masakan India, sementara teologi Kristen telah sangat memengaruhi konsep keadilan dan hak asasi manusia Barat.

Sebaliknya, konteks budaya membentuk cara agama dipahami dan dipraktikkan. Kekristenan di Amerika Latin, misalnya, menggabungkan tradisi dan simbol lokal, yang menghasilkan ekspresi iman yang sangat berbeda dari yang ada di Eropa atau Amerika Utara.

Kesalingbergantungan ini menciptakan hubungan yang dinamis, keduanya memengaruhi dan membentuk kembali satu sama lain dari waktu ke waktu. Namun, ketegangan muncul ketika perubahan budaya menantang doktrin agama atau ketika lembaga agama menolak beradaptasi dengan norma budaya yang terus berkembang. Misalnya, perdebatan tentang peran gender dan kemajuan ilmiah sering kali menyoroti gesekan antara konservatisme agama dan pergeseran budaya progresif.

Agama dan budaya dipahami secara berbeda karena tujuan dan asal usulnya yang berbeda. Agama sering kali dipandang sebagai sesuatu yang universal dan tidak dapat diubah, didasarkan pada wahyu ilahi atau kebenaran abadi. Otoritasnya dianggap transenden, menarik kekuatan yang lebih tinggi di luar masyarakat manusia. Hal ini memberi agama otoritas moral dan eksistensial yang unik.

Namun, budaya dipandang sebagai konstruksi manusia, yang berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat dan keadaan historis. Budaya bersifat cair, mudah beradaptasi, dan responsif terhadap kondisi material dan sosial pada masanya. Perbedaan ini sering kali menyebabkan agama dikaitkan dengan stabilitas dan tradisi sakral, sementara budaya dikaitkan dengan perubahan dan inovasi.

Selain itu, metode mempelajari agama dan budaya berkontribusi pada pemahaman keduanya yang berbeda. Agama sering kali didekati melalui teologi, filsafat, dan teks-teks suci, yang menekankan dimensi spiritual dan metafisiknya. Sebaliknya, budaya dipelajari melalui antropologi, sosiologi, dan sejarah, yang berfokus pada aspek sosial dan materialnya.

Pengaruh Pandangan Dunia Barat dan Sekularisme

Kompleksitas hubungan antara agama dan budaya disebabkan oleh pandangan dunia Barat, khususnya munculnya sekularisme. Sekularisme, yang berakar pada cita-cita Pencerahan (Aufklarung), menganjurkan pemisahan agama dari kehidupan publik dan pemerintahan, dengan menekankan akal rasionalitas, individualisme, dan bukti empiris. Hal ini telah membentuk masyarakat Barat modern secara signifikan, yang memengaruhi bagaimana agama dan budaya dipersepsikan dan dipraktikkan.

Sekularisme sering kali memperlakukan agama sebagai masalah pribadi, terpisah dari ranah publik politik, ekonomi, dan pendidikan. Pemisahan ini dapat menyebabkan pemahaman agama yang terkotak-kotak, sehingga mengurangi perannya dalam membentuk budaya.

Misalnya, di banyak negara Barat, hari raya keagamaan seperti Natal dan Paskah sebagian besar telah menjadi acara budaya, yang kehilangan signifikansi teologisnya. Demikian pula, wacana publik sering kali memprioritaskan keragaman budaya.

Sebelum Pencerahan, agama dan budaya jarang dipahami sebagai entitas yang berbeda. Di sebagian besar masyarakat, agama tertanam dalam praktik budaya, dan ekspresi budaya sering kali tidak dapat dipisahkan dari makna keagamaan. Ritual, seni, pemerintahan, dan kehidupan masyarakat diresapi dengan makna spiritual, dan yang sakral menjadi bagian mendasar dari kehidupan sehari-hari.

Namun, Pencerahan membawa perubahan paradigma, memprioritaskan rasionalitas, otonomi individu, dan pengamatan empiris. Gerakan intelektual ini membingkai ulang agama sebagai domain pribadi dan subjektif, dan budaya sebagai konstruksi sekuler yang berpusat pada manusia.

Perbedaan ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi memiliki implikasi sosial dan politik yang mendalam. Sekularisasi kehidupan publik di masyarakat Barat menempatkan agama pada ranah pribadi, sementara budaya menjadi fokus identitas dan kemajuan kolektif.

Pandangan sekuler dan khas Barat demikian menciptakan ilusi bahwa agama dan budaya beroperasi secara independen, sebuah perspektif yang bertahan dalam banyak konteks modern. Pada titik ini, kita mesti berupaya menyodorkan pertanyaan lagi, apakah agama benar-benar berbeda dari budaya, dan apakah budaya sama sekali tak dapat disebut agama?

0

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.