Menjadi Muslim di Dunia yang Terfragmentasi: Pentingnya Tafakur di Era Distraksi

Di era yang ditandai oleh arus informasi yang cepat, notifikasi yang tak henti-hentinya, dan menyusutnya rentang retensi, praktik tafakur bagi umat Muslim menjadi amat krusial diterapkan.

Hidup di dunia yang terdistraksi oleh stimulasi digital yang berlebihan dan polarisasi ideologis, tindakan menempa diri dengan berefleksi merupakan sebentuk perlawanan spiritual yang radikal. Kita perlu melihat bagaimana tafakur menawarkan umat muslim jalan menuju keutuhan, integritas, dan kehadiran di dunia yang terfragmentasi.

Kehidupan modern dipenuhi dengan distraksi. Dari media sosial yang ditentukan secara algoritmik hingga siklus berita 24/7, pikiran kita terus-menerus ditarik ke berbagai arah. Hasilnya adalah kondisi yang digambarkan oleh filsuf Byung-Chul Han sebagai “masyarakat yang kelelahan” (the burnout society) di saat orang-orang merasa terus-menerus kelelahan bukan karena pekerjaan fisik tetapi karena kelebihan informasi.

Dalam iklim seperti itu, fragmentasi tidak hanya bersifat eksternal, sebagaimana terwujud dalam keretakan politik dan sosial, melainkan juga terjadi secara internal, karena kita kehilangan kontak dengan diri kita sendiri.

Bagi umat Islam, krisis perhatian ini khususnya bersifat spiritual. Islam menekankan niat, kekhusyukan, dan zikir, yang semuanya membutuhkan ketenangan pikiran dan kejernihan hati. Namun, dunia modern hanya menawarkan sedikit ruang untuk menumbuhkan kondisi tersebut.

Kita menyaksikan di mana doa menjadi tergesa-gesa, zikir menjadi mekanistik, dan refleksi etis malah menjadi latah-latahan berjamaah. Dengan kata lain, irama suci kehidupan seorang muslim berisiko tenggelam dalam kebisingan kecepatan dan produktivitas.

Perintah Al-Quran tentang Tafakur

Tafakur disebutkan beberapa kali dalam Al-Quran sebagai tindakan yang dilakukan ulū al-albāb, yakni mereka yang “diberkahi dengan wawasan”. Tidak seperti berpikir pada umumnya, tafakur adalah perenungan secara sengaja dan disiplin yang bergerak dari observasi ke transformasi.

Dalam surah Ali Imran [3]: 191, misalnya, Al-Quran memuji “orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” Hal ini bukan sekadar meditasi atau filsafat abstrak. Ini adalah refleksi yang diejawantahkan dan sadar akan Tuhan yang mengikat hati dengan alam dan diri dengan tujuan ilahi yang lebih besar.

Dalam dunia yang terfragmentasi, tafakur menjadi praktik integrasi spiritual untuk diri seseorang, memungkinkan seseorang untuk melihat melalui kekacauan penampilan, gangguan ego, dan ilusi modernitas, hingga mencapai kesadaran yang membumi tentang tempat seseorang di dunia.

Dalam hal ini, tafakur adalah bentuk perlawanan. Melawan tirani kecepatan, ia menawarkan ketenangan. Melawan fragmentasi, tafakur menawarkan sintesis. Melawan kebisingan, tafakur menawarkan keheningan. Hal ini merupakan penolakan agar kehidupan batin seseorang tidak dijajah oleh tekanan eksternal.

Nabi Muhammad mempraktikkan tafakur bahkan sebelum kenabian dengan menyepi ke Gua Hira untuk merenungkan keadaan masyarakatnya dan makna hidup. Setelah mendapat wahyu, aktivitas tafakur tersebut tidaklah menghilang, tetapi justru dipenuhi dengan tuntunan ilahi.

Bagi muslim modern, meniru Nabi berarti mengambil kembali hak untuk memperlambat langkah, mengajukan pertanyaan mendalam, dan membiarkan dunia dalam keheningan cukup lama untuk memahami maknanya. Ini bukan ketenangan. Tafakur bukanlah pelarian; ini adalah kejelasan sebelum bertindak.

Tafakur memurnikan niat dan menyelaraskan hati dengan kebijaksanaan ilahi, sehingga memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan integritas di tengah kerumitan. Tafakur menawarkan jeda yang diperlukan sebelum berbicara, menggulir layer gawai, mencerna, atau bereaksi.

Menuju Islam Kontemplatif

Menghidupkan kembali tafakur saat ini berarti menumbuhkan apa yang mungkin disebut Islam kontemplatif, yakni cara menjadi muslim yang mengutamakan kedalaman daripada kebisingan, makna daripada pendapat, dan kehadiran daripada kinerja. Ini memiliki implikasi praktis.

Pertama, tafakur menuntut kita untuk mengambil kembali waktu. Seseorang tidak dapat berefleksi sambil terus-menerus bereaksi. Menetapkan periode menyendiri, mengurangi konsumsi digital, dan menyusun aktivitas sehari-hari untuk momen hening merupakan tindakan dekolonisasi spiritual yang kecil tetapi berpengaruh.

Kedua, hal ini memerlukan pemikiran ulang tentang pengetahuan. Kondisi muslim kontemporer sering kali dibentuk oleh informasi yang berlebihan: postingan, siniar, kolom komentar. Meskipun berharga, hal-hal ini harus dilengkapi dengan keterlibatan yang mendalam dan perlahan dengan Al-Quran, khazanah keislaman, dan refleksi batin seseorang. Seperti yang diingatkan Al-Ghazali, pengetahuan tanpa refleksi ibarat makanan yang tidak dimakan sehingga tidak mengenyangkan.

Ketiga, tafakur mengajak umat Islam untuk memahami dunia secara relasional. Refleksi menyingkapkan keterkaitan semua hal: antara diri dan alam, antara hati dan realitas ilahi. Relasionalitas ini melawan individualisme dan keterasingan kehidupan modern. Refleksi menawarkan ruang di mana iman seseorang bukanlah dogma pribadi, tetapi lensa untuk memahami kesakralan dunia.

Di dunia yang diliputi percepatan, tafakur adalah kembali ke hati. Ini menjadi perjalanan ke dalam diri yang menghubungkan kembali jiwa yang terpecah dengan sumber koherensi, yaitu Allah.

Al-Qur’an bertanya, “Apakah mereka tidak berpikir tentang (kejadian) dirinya?” (QS. al-Rum [30]: 8). Ini bukan pertanyaan retoris, melainkan tantangan eksistensial. Menjadi muslim saat ini berarti menerima tantangan itu dengan keberanian.

Ketika dunia kita terus terfragmentasi—melalui perang, medsos, krisis ekologis—tafakur memang tidak akan menyelesaikan segalanya. Namun, tafakur dapat mengubah orientasi kita. Ia dapat mengajarkan kita untuk menjalani waktu dengan tujuan, membaca tanda-tanda dunia dengan rasa takjub, dan bertindak dengan kebijaksanaan di saat kebingungan. Di zaman yang penuh gangguan, hati yang reflektif bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan.

0

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.blogspot.com

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.