Fatima Mernissi merupakan seorang feminis, pemikir, dan penulis prolifik asal Maroko yang telah mendedikasikan karier intelektualnya untuk mengkaji status perempuan dalam masyarakat muslim. Salah satu isu sentral yang dibahasnya adalah peran perempuan di bidang kepemimpinan atau di ruang publik.
Dalam banyak tulisannya, Mernissi banyak mengkritik interpretasi tradisional patriarkis yang memandang perempuan berada di bawah laki-laki, penolakan peluang dan potensi perempuan untuk memegang posisi kekuasaan serta keterlibatan aktif perempuan di ruang publik. Sebaliknya, Mernissi berpendapat bahwa ajaran dan tradisi Islam mendukung hak perempuan yang setara untuk memimpin dan mengambil peran di ruang publik.
Mernissi dengan tegas mendemonstrasikan beberapa figur perempuan yang memiliki pengaruh di ruang publik dan memiliki otoritas kepemimpinan dalam sejarah Islam awal. Misalnya, ia menyoroti istri Nabi Muhammad yang pertama, yakni Khadijah, sebagai contoh pengusaha sukses dan penasihat tepercaya Nabi.
Menurut Mernissi, kehadiran Khadijah menunjukkan contoh konkret bahwa perempuan boleh dan bisa sukses dalam urusan bisnis di ruang publik dan bisa memainkan peran penting dalam menasihati, mendukung, dan mendampingi pemimpin laki-laki, yakni Nabi sendiri.
Sebagai seorang pengusaha perempuan yang sukses dan memainkan peran penting dalam ranah politik pada masanya, Khadijah dianggap Mernissi sebagai figur kunci untuk menunjukkan bahwa segregasi dan pengeksklusian interpretasi patriarkis terhadap perempuan merupakan bias kelompok laki-laki belaka.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul “The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam”, Mernissi mencatat bahwa Khadijah bukan hanya seorang saudagar ‘tajir melintir’ belaka, tetapi juga sosok yang dihormati dan disegani di komunitasnya karena kecerdasan, integritas, dan keterampilan kepemimpinannya di ruang publik (Mernissi, 1991: 116).
Aktivitas bisnis dan pengaruh sosial Khadijah terkait erat dengan politik memang tak dapat dielak, sebab Khadijah memiliki kekayaan dan status sosial untuk mendukung Nabi Muhammad dan misi dakwah beliau.
Misalnya, diceritakan bahwa Khadijah memberikan dukungan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad ketika beliau mulai menerima wahyu dari Allah, dan Khadijah adalah salah satu orang pertama yang masuk Islam (Ibid., 102-103).
Selain itu, Mernissi menunjukkan bahwa kepemimpinan dan pengaruh politik Khadijah melampaui perannya sebagai pengusaha dan pendukung Nabi. Mernissi menegaskan bahwa Khadijah juga terlibat dalam urusan sukunya dan berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan di ruang publik.
Pembacaan Mernissi terhadap kehidupan Khadijah tentunya tampak menantang pandangan mapan patriarkis tentang peran perempuan dalam masyarakat Islam awal. Mernissi mencatat bahwa kesuksesan dan pengaruh sosial Khadijah terkait erat dengan politik.
Menurut Mernissi, peran Khadijah mengindikasikan bahwa perempuan, sama halnya laki-laki, sepenuhnya memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dan berpengaruh di bidang politik dan kontribusi perempuan sangat penting bagi keberhasilan masyarakat muslim awal.
Selain Khadijah, Mernissi juga menyoroti peran Aisyah, istri Nabi Muhammad lainnya. Dalam perspektif Mernissi, Aisyah menjadi simbol bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin di berbagai bidang di ruang publik. Mernissi menyimpulkan bahwa ajaran Islam mendukung hak perempuan untuk melakukannya, yakni berkecimpung dan berkontribusi di ruang publik.
Peran signifikan Aisyah dalam aspek politik Islam awal tak bisa dielak. Menurut Mernissi, Aisyah merupakan seorang figur berpengaruh yang turut terlibat di ruang publik dan memainkan peran penting dalam urusan politik dan agama pada masyarakat muslim awal.
Mernissi menunjukkan bahwa Aisyah dikenal karena pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan kepemimpinannya. Ia aktif terlibat dalam diskusi politik, dan pandangan serta pendapatnya sangat dihargai baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Salah satu contoh penting dari pengaruh politik Aisyah adalah keterlibatannya dalam Perang Jamal. Aisyah memihak sekelompok pemberontak yang menentang kekuasaan khalifah yang baru diangkat, Ali bin Abi Thalib. Terlepas dari polemiknya, yang digarisbawahi oleh Mernissi adalah bahwa aspek kepemimpinan Aisyah sebagai seorang perempuan di ranah politik tak dapat disangkal (Ibid., 5).
Mernissi juga menyoroti peran Aisyah dalam pendidikan perempuan di masyarakat Islam awal. Aisyah tentu saja dianggap memainkan peran penting dalam ranah intelektual, terutama dalam bidang hadis dan masalah yurisprudensi Islam. Ia dikenal karena kemampuan mengajarnya, dan banyak perempuan muslim awal belajar kepadanya dalam masalah agama dan sosial (Ibid., 70).
Aisyah memainkan peran kunci dalam mentransmisikan tradisi dan ajaran Nabi Muhammad kepada generasi mendatang, khususnya di kalangan perempuan. Politik tentu saja tidak hanya soal strategi dan kepemimpinan untuk tata kelola peradaban, melainkan juga soal edukasi dan keilmuan untuk tata kelola intelektualitas dan kebudayaan.
Sumirnya, alasan Mernissi mempertimbangkan Aisyah sebagai figur perempuan yang berpengaruh dalam aspek politik Islam awal adalah bahwa kontribusi Aisyah di ruang publik kepada masyarakat muslim awal menunjukkan peran penting yang dimainkan perempuan dalam membentuk lanskap politik dan tradisi intelektual Islam (Ibid., 6).
Mernissi mengkaji kehidupan Nabi Muhammad dan istri-istrinya untuk menyoroti secara jelas bagaimana perempuan memainkan peran penting dalam sejarah awal Islam. Ia mencatat bahwa Nabi Muhammad sering berkonsultasi pada istri-istrinya. Artinya, peran perempuan berkaitan dengan ruang publik dalam kehidupan Nabi sama sekali tak bisa disepelekan.
Lebih lanjut, Mernissi menegaskan postulat bahwa Alquran mengukuhkan nilai-nilai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan memberikan perempuan hak dan tanggung jawab yang setara dengan laki-laki.
Pandangan dan pembacaan Mernissi tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam adalah suatu terobosan yang memiliki dampak signifikan terhadap cara masyarakat muslim memandang peran perempuan dalam hal kepemimpinan.
Dengan mengacu pada sejarah serta tradisi Islam, teologi, dan yurisprudensi, Mernissi menegaskan bahwa ajaran Islam mendukung kesetaraan hak perempuan atas kepemimpinan dan perannya di ruang publik, termasuk dalam ranah politik. [AA]
*Artikel ini merupakan hasil kerjasama Arrahim.ID dengan INFID