Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com

Tasawuf di antara Orisinalitas dan Produk Impor

3 min read

Sebagaimana aspek-aspek lain dalam ajaran Islam yang dikodifikasikan dan mulai mapan jauh setelah wafatnya Nabi dan para sahabatnya, berbagai ilmu yang berkaitan dengan Islam juga tumbuh dan berkembang secara kompleks. Misalnya kajian Al-Qur’an, kajian hadis, ilmu fikih, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan studi teologi. Bagaimana dengan tasawuf? Apakah tasawuf sepenuhnya muncul dari interioritas ajaran Islam?

Sekitar 100 tahun setelah kematian Nabi Muhammad, ketika umat Islam mulai membedakan antara muslim spiritual dan muslim yang mendukung monarki yang rusak, berbagai konsep sufistik yang berkaitan dengan pembersihan diri dan pemurnian hati mulai mendapatkan posisi yang berharga. Ini tidak berarti bahwa konsep dan praktiknya tidak ada pada abad pertama Islam. Kalaupun telah ada konsep dan praktik yang begitu berpengaruh, ia belum terkodifikasi dengan baik, dirumuskan, dan didiskusikan lebih jauh dan lebih kompleks.

Sufisme atau tasawuf secara sederhana dapat dipahami sebagai semacam mistisisme Islam. Diketahui bahwa mistisisme tidak khusus untuk Islam, tetapi ia menempati jantung semua agama atau sistem kepercayaan. Oleh karena itu, mudah untuk melihat tasawuf tidak jauh berbeda dengan “tasawuf” agama lain. Namun, tasawuf memiliki keunikan tersendiri yang diilhami langsung oleh doktrin Islam.

Cukup ceroboh untuk menuding tasawuf sebagai replikasi dari mistisisme agama lain, dan dengan demikian ia tidak berasal dari Islam pada awalnya. Memang, ada beberapa pendapat yang membabarkan pengaruh eksternal (atau non-Islam) terhadap tasawuf.

Pertama, pengaruh agama Kristen. Para sufi diduga telah dipengaruhi oleh kekristenan. Jika kita telaah akar leksikal dari kata taawwuf (ṣūf: pakaian wol), yang menandakan asketisme, maka kita tahu bahwa asketisme tersebut telah jauh dipraktikkan dalam agama Kristen.

Baca Juga  Tradisi Ngalap Berkah, Begini Dalilnya

Nicholson menegaskan, “Pengaruh kekristenan melalui para pertapa, biarawan, dan sekte heretik ada dua: asketis dan mistis.” Tidak dapat disangkal, beberapa sufi, seperti Ahmad bin al-Ahawri dan Ibrahim bin Adham, melakukan kontak dengan pertapa dan biarawan Kristen untuk membahas asketisme.

Kedua, neoplatonisme. Pada awalnya tasawuf diduga dipengaruhi oleh neoplatonisme. Memang, pada abad ke-9 dan ke-10 ketika tasawuf berkembang luas, dunia Islam melakukan kegiatan penerjemahan besar-besaran dari filsafat Yunani, tak terkecuali neoplatonisme.

Salah seorang sufi yang diduga terpengaruh oleh pemikiran neoplatonisme adalah Dhu al-Nun al-Miṣr. Beberapa konsep dalam tasawuf juga dianggap sebagai hasil pengaruh neoplatonisme, seperti hulul, ittihad, dan wahdat al-wujud.

Ketiga, gnostisisme. Seperti yang dilaporkan Nicholson, tasawuf juga dipengaruhi oleh gnostisisme meskipun bukti langsung tidak tersedia. Keempat, Buddhisme. Ignaz Goldziher menyatakan bahwa tasawuf banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Selain itu, dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa ada kesamaan antara Ibrahim bin Adham dan Siddharta Gautama, yaitu keduanya meninggalkan kekayaannya untuk menjalani kehidupan pertapaan.

Lebih jauh, penggunaan tasbih diduga dipengaruhi oleh umat Buddha. Selain itu, lanjut Goldziher, pada dasarnya terdapat kesamaan pemahaman tentang fana’ dan nirwana dalam agama Buddha.

Tidak mudah mengambil kesimpulan apakah tasawuf sepenuhnya muncul dari Islam atau tidak. Tak dapat dielak bahwa tasawuf yang kita pahami sekarang belum muncul di zaman Nabi Muhammad baik secara etimologis maupun secara teoretis.

Selama tasawuf dipersepsikan sebagai gerakan asketisme, dapat kita tegaskan bahwa itu adalah gaya hidup Nabi Muhammad. Dia terkenal karena asketismenya, meskipun tidak ada yang memanggilnya “sufi”. Di dalam Al-Qur’an juga, tak ada ayat yang menyebut taawwuf secara verbatim. Namun, merujuk pada pengertian tasawuf yang lain, seperti ṣāfa, al-Qur’an berkali-kali menjelaskan tentang itu. Menyucikan jiwa adalah prinsipiil dalam Islam.

Baca Juga  How Bucin Deal with Public Diplomacy

Secara terminologis, ada sejumlah besar definisi tasawuf. Definisinya sebanyak para sufi yang mendefinisikannya. Imam Junayd al-Baghdadi, misalnya, mendefinisikan tasawuf sebagai pembersihan hati dari perasaan gelisah, berusaha melepaskan diri dari pengaruh naluri rendah, menghindari panggilan nafsu, mendekati sifat-sifat suci spiritualitas, menepati janji dengan Tuhan, dan mengikuti teladan Nabi dalam masalah syariat.

Cara yang lebih mudah untuk memahami tasawuf, mungkin, adalah dengan mengetahui karakteristik dan sifatnya. Jika tasawuf dilihat dari ciri-cirinya yang mencolok, kita dapat menyimpulkan dua hal.

Pertama, tasawuf digambarkan sebagai pengalaman mistis (mystical experience). Dalam hal ini, tasawuf adalah keadaan yang memungkinkan penyingkapan Tuhan atau Realitas Hakiki, yang dihasilkan dari inspirasi yang meresap melalui kalbu, dan bukan dihasilkan dari pengetahuan melalui perolehan (‘ilm al-hudhuri).

Kedua, tasawuf digambarkan sebagai implementasi nilai moral dengan harapan menyucikan jiwa. Hal ini dapat diperoleh dengan latihan fisik dan psikis serta asketisme untuk menghindari hal-hal duniawi. Dengan praktik asketis tersebut, para sufi dapat sampai pada kondisi tertentu yang membawa mereka mengalami fana’ dan baqa’, dua maqamat paling inti dalam tasawuf, sehingga mereka merasakan terungkapnya rahasia segala sesuatu yang disebut mukasyafah.

Melihat dua poin yang saya sebutkan tadi, mungkin kita berpikir bahwa mistisisme agama lain sama dengan tasawuf. Namun demikian, kita tak dapat menyederhanakan masalah ini dengan membaginya menjadi dua pertanyaan, “Apakah tasawuf dipengaruhi oleh konsep filsafat atau agama lain?” dan/atau “Apakah tasawuf sepenuhnya muncul dari doktrin Islam?”

Kita masih bisa bertanya, “Apakah kemunculan tasawuf diilhami oleh doktrin Islam dan kemudian dipengaruhi oleh doktrin eksternal?” “Apakah semua ajaran dalam tasawuf berasal dari Islam atau hanya sebagian saja, dan yang lainnya berasal dari doktrin luar?” “Apakah tasawuf muncul pada generasi pertama Islam atau sepenuhnya sesudahnya?”

Baca Juga  Sokrates dan Kekuatan Pertanyaan

Kita tidak perlu menjawab semua pertanyaan di muka. Akan tetapi, pertanyaan yang paling penting dan relevan adalah, jika tasawuf diilhami oleh doktrin dan ajaran eksternal, apakah ia masih sejalan dengan doktrin Islam atau tidak. Untuk pertanyaan terakhir kita dapat dengan tenang menjawab secara afirmatif bahwa meskipun ajaran eksternal telah memengaruhi tasawuf, ia sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Di sini, kita perlu menekankan keunikan tasawuf meskipun, sedikit atau banyak, juga dipengaruhi oleh ajaran atau doktrin eksternal. Keunikan tasawuf adalah, secara orisinal, bahwa ia didasarkan pada doktrin tauhid dalam Islam. Menurut saya, doktrin fundamental itulah yang menjadi landasan dan naungan sekaligus kompasnya.

Kita tidak boleh keras kepala untuk menyangkal bahwa ajaran lain mungkin telah memengaruhi tasawuf meskipun tasawuf itu sendiri, pertama dan utamanya, diilhami oleh ajaran Islam. Perjumpaan antara Islam dengan budaya lain tidak lagi misterius dan rahasia. Dengan demikian, para sufi dapat membangun ajarannya karena, sedikit atau banyak, pengaruh eksternal, meskipun sebenarnya tasawuf sebagaimana mistisisme pada umumnya adalah produk pengalaman mistik yang sangat personal.[]

Angga Arifka Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com