Di jalanan Athena kuno yang ramai, di tengah-tengah pasar yang berdesakan dan ruang debat yang megah, ada satu sosok di antara kerumunan orang, Sokrates, filsuf yang memiliki kekuatan bertanya dengan keterampilan dan kemahiran yang tak tertandingi.
Melalui metode penyelidikan dan penggalian yang tiada henti, Sokrates berusaha tidak hanya mengungkap kebenaran, tetapi juga memancing pemikiran kritis dan refleksi diri pada orang-orang di sekitarnya. Kini kita menyelidiki pentingnya pertanyaan dan kekuatan transformatif darinya, seperti yang dicontohkan oleh metode Sokrates.
Bayangkan diri Anda berada di agora, dikelilingi oleh obrolan yang meriah dari para pedagang, politisi, dan pengrajin. Di tengah kerumunan, Anda melihat Sokrates, sosok khasnya sedang mengobrol dengan orang yang lewat.
Berbeda dengan orator sombong yang berusaha mengesankan dengan retorikanya, Sokrates melakukan pendekatan dialog dengan kerendahan hati, hanya berbekal rasa ingin tahu yang tiada henti dan rasa haus yang tak pernah terpuaskan akan pengetahuan.
Inti dari metode Sokrates adalah seni bertanya. Daripada mencoba menyiramkan kebijaksanaan dari atas, Sokrates mengambil sikap ketidaktahuan dari bawah, mengundang orang lain untuk bergabung dengannya dalam perjalanan pencarian dan penemuan.
Pertanyaan-pertanyaan Sokrates bukan sekadar alat untuk mencari informasi, melainkan medium yang ampuh untuk mendedah dan menyingkap kompleksitas pemikiran dan perilaku manusia.
Sokrates tengah mengajak seorang pemuda bercakap-cakap. Terhadap setiap jawaban, Sokrates mengupas lapisan demi lapisan, mengungkap kontradiksi dan mempertanyakan asumsi.
“Apa itu kebaikan?” dia bertanya, mendorong pemuda di depannya untuk merenungkan hakikat moralitas dan kebajikan. Saat dialog berlangsung, Sokrates membimbing lawan bicaranya dalam perjalanan penemuan diri, menuntunnya mempertanyakan keyakinan dan nilai-nilainya sendiri yang selama ini dianggap benar.
Sokrates pernah terlibat dalam diskusi dengan Thrasymakos, seorang sofis yang mengklaim bahwa keadilan hanyalah keuntungan bagi yang lebih kuat.
Sokrates memulai dengan mempertanyakan pernyataan Thrasymakos, berusaha memahami dasar argumennya. Ia bertanya, “Katakan padaku, Thrasymakos, apakah yang kamu maksud dengan keadilan adalah apa yang dipikirkan pihak yang lebih kuat demi kepentingan mereka, apakah itu benar atau tidak? Apakah para penguasa tidak bisa salah, atau apakah mereka melakukan kesalahan seperti orang lain?”
Di sini, Sokrates menggunakan serangkaian pertanyaan menyelidik untuk mengungkap definisi keadilan Thrasymakos. Dengan mempertanyakan keandalan penilaian para penguasa dan sifat kepentingan pribadi mereka, Sokrates menggoyang asumsi yang mendasari argumen Thrasymakos.
Thrasymakos menanggapinya dengan menantang, menyatakan bahwa para penguasa selalu bertindak demi kepentingan mereka sendiri dan bahwa keadilan hanyalah alat yang mereka gunakan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Namun, Sokrates tetap gigih dalam pertanyaannya, mencari kejelasan dan koherensi dalam posisi Thrasymakos.
Sepanjang dialog, Sokrates menggunakan metode dialektiknya untuk membongkar argumen Thrasymakos, menyingkap kontradiksi dan inkonsistensi di sepanjang dialog. Melalui pertanyaannya yang tiada henti, Sokrates mengajak Thrasymakos—dan pembaca—untuk mengkaji secara kritis keyakinan dan asumsi tentang keadilan, yang pada akhirnya membuka jalan bagi pemahaman konseptual yang lebih dalam.
Melalui metodenya, Sokrates menunjukkan kekuatan transformatif dari pertanyaan. Dengan menginterogasi keyakinan yang telah kadung dianut oleh orang secara apriori, Sokrates mendorong interlokutor untuk menghadapi ketidaktahuannya sendiri dan melakukan pencarian pengetahuan.
Dalam kata-kata Sokrates sendiri, “Kehidupan yang tak diuji tak layak dijalani.” Bagi Sokrates, tindakan bertanya bukan sekadar latihan intelektual, melainkan keharusan moral—sebuah jalan menuju kesadaran diri dan pertumbuhan pribadi.
Selain itu, pendekatan Sokrates terhadap pertanyaan melampaui ranah dialog individu dan meluas hingga ke tatanan masyarakat Athena. Di agora dan majelis, ia menantang otoritas elite penguasa, mengungkap kelemahan argumen mereka dan meminta pertanggungjawaban mereka berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran.
Dengan melakukan hal itu, Sokrates mewujudkan peran si pengganggu, menyengat hati nurani Athena dan menggerakkan warganya untuk melakukan refleksi kritis. Namun, pertanyaan Sokrates yang tiada henti juga memicu perlawanan dan kebencian.
Penolakannya untuk menerima jawaban yang mudah dan kesediaannya untuk menantang otoritas membuatnya menjadi musuh di antara orang-orang yang berkuasa dan berpengaruh.
Sumirnya, komitmennya terhadap kebenaran dan kebajikan mengarah pada persidangan dan eksekusi. Walaupun demikian, bahkan ketika menghadapi kematian, Sokrates tetap teguh dalam komitmennya dan konsekuen.
Signifikansi pertanyaan Sokrates melampaui batas-batas Athena kuno, bergema sepanjang sejarah filsafat dan membentuk cara kita mendekati pengetahuan dan melakukan penyelidikan hingga hari ini. Di ruang kelas dan ruang rapat, laboratorium dan ruang sidang, metode Sokrates terus menginspirasi investigasi kritis dan eksplorasi intelektual.
Pada intinya, kekuatan bertanya terletak pada kemampuannya untuk menghilangkan rasa puas diri dan memancing rasa ingin tahu. Dengan menggoyang asumsi dan mengundang dialog, pertanyaan membuka jalan menuju wawasan baru dan pemahaman yang lebih mendalam. Hal-hal tersebut memaksa kita untuk menghadapi keterbatasan pengetahuan kita dan menerima ketidakpastian yang tidak kita ketahui, dan bahkan yang telah kita ketahui.
Seperti yang diamati oleh Sokrates sendiri, “Kebijaksanaan dimulai dari keajaiban.” Mendekati orang lain dengan kerendahan hati dan keterbukaan, kita menciptakan ruang untuk saling belajar dan berkembang.
Pada akhirnya, kekuatan bertanya, seperti yang dicontohkan metode Sokrates, bersifat transformatif dan mencerahkan. Melalui pertanyaan tanpa henti dan penalaran kritis, Sokrates memeriksa hilir mudik asumsi pada masanya dan menginspirasi dari generasi ke generasi untuk mengejar kebenaran dan kebajikan.
Saat ini, saat kita menghadapi lintang pukang dunia yang terus berubah, kita sebaiknya memperhatikan dan mendaras teladannya, untuk mengakui kekuatan pertanyaan sebagai katalisator pertumbuhan pribadi dan masyarakat pada umumnya.