Tabarrukan atau dikalangan pesantren lebih akrab dengan istilah ngalap berkah. Secara bahasa tabarrukan berasal dari bahasa Arab sighat mujarrad: barakah yang dalam Kamus al-Munawwir berarti “nikmat”. Dalam keterangan lain ia mempunyai arti “karunia Allah swt yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan”.
Menurut al-Ghazali nikmat atau berkah adalah “ziyadat al-khair”, bertambahnya kebaikan. Sedangkan tabarrukan sendiri sering diartikan sebagai proses untuk mendapatkan berkah tersebut. Fenomena ini sudah sejak lama eksis dalam sejarah umat Islam. Tujuan dari ngalap berkah tidak lain hanyalah berharap mendapatkan kebaikan yang melimpah dari sosok yang dianggap mampu memberikan berkah.
Tradisi ini sangat kental sekali dilingkungan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah terutama di kalangan Pondok Pesantren. Dalam konteks ini, umumnya para santri sering ngalap berkah pada sang kiai dengan cara mengabdi (khidmah) atau dengan cara lainya. Misalnya, sudah lazim ketika selesai mengaji, para santri kemudian berebut sisa minuman yang disediakan untuk kiai. Tentunya setelah kiai beranjak dari tempat duduknya.
Taradisi ngalap berkah ini sudah menjadi fenomena sosial yang sangat kental, bahkan sebelum menjadi bagian dari tradisi umat Islam, ngalap berkah sudah dilakukan oleh sebagian umat terdahulu. Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa golongan Bani Israil ketika berperang selalu membawa peti yang berisi rambut Nabi Musa as karena diyakini membawa berkah akan menolong mereka ke pintu kemenangan. Karena sebuah tradisi maka masing-masing bangsa dan daerah memiliki kebiasaan yang berbeda mengenai konsep ngalap berkah ini.
Di Nusantara praktik tabarrukan atau ngalap berkah sangat kompleks; bisa pada orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal dengan berziarah ke makamnya.
Lantas, ngalap berkah pada para kiai dizaman sekarang apakah dapat disamakan dengan ngalap berkah kepada Kanjeng Nabi?
Pertantanyaan demikian sering menjadi perdebatan serius bahkan bisa sampai pada argumen penyesatan dan syirik.
Imam An-Nawawi dalam syarah Muslim menjelaskan bahwa tabarrukan dengan para kiai atau orang sholih itu diperbolehkan. Dalam keterangan lain Ibnu Hibban mengatakan bahwa ngalap berkah seperti yang dilakukan oleh para sahabat boleh dipraktikkan oleh siapapun terhadap orang saleh yang masih mengamalkan sunnah-sunnahnya
Sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Imam Bukhori menyebutkan “Ada seorang wanita mendatangi Nabi saw dengan membawa burdah, kemudian Sahal bertanya pada orang- orang, “Kalian tau apa itu burdah? Mereka menjawab “itu adalah selimut bergaris-garis.” Lalu Sahal berkata “Burdah adalah selimut yang di border bagian tepinya”.
Kemudian perempuan itu berkata, “Wahai Rasulullah aku hadiahkan ini padamu” kemudian Rasulullah mengambilnya, seolah-olah beliau sangat membutuhkanya dan langsung dipakai. Lalu seorang dari sahabat melihat burdah itu dan berkata “Ya Rasulallah betapa bagusnya burdah itu, kumohon berikanlah kepadaku”.
Nabi menjawab “Baiklah”. Begitu Rasulullah bangkit berdiri, bebrapa sahabat mengecam sikap orang itu. Mereka berkata “Alangkah tidak sopanya engkau, saat kau lihat Nabi saw sangat butuh, lalu engkau memintanya, padahal engkau tau bahwa beliau tak pernah dimintai apapun lantas menolaknya”. Kemudian sahabat Nabi saw menjawab. “Aku sangat berharap berkahnya saat Nabi mengenakanya, dan aku berharap akan dikafani denganya. (H.R Bukhori)
Ironinya, belakangan ini muncul golongan orang yang mudah sekali mengkafirkan (takfiri) praktik tradisi tabarrukan ini. Mereka menganggap hal demikian termasuk kemusyrikan padahal sudah banyak hadis Nabi saw yang menjelaskan perihal tabarrukan atau ngalap berkah sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas. [AA]