Dewasa ini, banyak umat Islam yang menggunakan perintah nahi mungkar (menolak kemungkaran) sebagai jargon untuk melakukan tindakan yang justru terkesan arogan dan semaunya sendiri.
Jadi begini, sudah maklum bahwa kelompok Islam tertentu dengan dalih amar ma’ruf nahi mungkar merasa punya alasan kuat untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Misalnya, mereka melakukan sweeping tempat-tempat maksiat yang tidak jarang dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Padahal, sebagai warga negara, kita terikat oleh hukum konstitusi yang telah mengatur kehidupan bernegara.
Atau, contoh lain misalnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan sebagai umat Islam yang menggruduk rumah si A di Solo yang sedang mengadakan rangkaian acara pernikahan hanya berdasarkan prasangka bahwa dia sedang mengadakan ritual keagamaan ala Syiah yang dianggap sesat. Bahkan, tindak kekerasan turut mewarnai persitiwa itu.
Kedua contoh tindakan di atas, saya kira, dilakukan oleh orang-orang yang ingin mencegah kemungkaran atau termotivasi oleh perintah nahi mungkar yang sayangnya dengan cara yang kurang tepat.
Mengenai perintah nahi munkar ini, kiai Baha’uddin Nur Salim yang lebih dikenal dengan Gus Baha’ menyampaikan terkait kewajiban nahi munkar (menolak kemungkaran) melalui tindakan yang harus didasari banyak pertimbangan. Pertimbangan yang dimaskud di sini adalah menghindari lahirnya kemungkaran yang lebih besar sebagai akibat dari tindakan atau usaha kita dalam menolak kemungkaran yang awal.
Mengutip kata Imam Nawawi, Gus Baha’ mengatakan, “nahi mungkar itu wajib, selagi tidak berpotensi melahirkan maksiat yang lebih besar”. Dari kalam ini, Gus Baha’ kemudian menegaskan pentingnya sebuah strategi atau pertimbangan yang matang dalam menjalankan nahi mungkar.
“Kita meyakini bahwa nahi mungkar itu wajib hari kiamat. Cuman, kita (harus) punya perhitungan. Kadang nahi mungkar itu (justru) melahirkan kemaksiatan yang lebih besar”.
Kemudian, Gus Baha’ mencontohkan bagaimana akibat yang lahir jika nahi mungkar tidak dilakukan melalui tindakan tanpa didasari pertimbangan yang tepat.
“Umpamanya, kalian mempunyai anak yang nakal yang suka menghina kiai; kalian merasa bahwa anak iti harus ditegur oleh sang kiai. Lalu, kalian pasrahkan anak kalian kepada sang kiai untuk dididik–sehingga bisa menjadi lebih baik. Dan, kalian mengatakan ke sang kiai “dengan cara dipukulin juga tak maslah kiai”. Namun, ternyata sang kiai over nahi mungkar, justru malah menjadikan sang anak membunuh sang.”
Dari contoh tersebut, Gus Baha’ menegaskan bahwa pertimbangan yang matang lagi bijak dalam mencegah kemungkaran sangatlah penting. Anak yang pada mulanya hanya berdosa karena suka menghina kiai (sebuah perilaku yang mungkar), namun karena tindakan nahi mungkar yang diambil kurang tepat, justru membuat anak tersebut melakukan kemungkaran yang lebih besar; membunuh kiainya.
Saya melihat bahwa, dalam hal ini, Gus Baha’ bukannya melarang kita untuk melakukan nahi mungkar, sama sekali tidak. Bahkan ia menegaskan bahwa itu adalah sebuah kewajiban sampai kapanpun. Namun, yang perlu diperhatikan adalah cara untuk menolak kemungkaran tersebut yang patut mendapat perhatian serius.
Dari situ, saya kira, Gus Baha’ mengajak kita semua untuk melakukan refleksi; “sudahkah tindakan nahi mungkar yang kita lakukan, selama ini, melalui sebuah berbagai pertimbangan yang bijak? Atau, jangan-jangan, justru niat baik untuk melakukan nahi mungkar menjadi pemicu lahirnya suatu kemungkaran yang lebih besar?” wallahu a’lam… [AA]