Antara para wali Allah–yang merupakan mukmin sejati–dan Allah, tidak ada penghalang atau jarak. Tirai-tirai telah di angkat dari hati mereka; dan dalam pancaran cahaya ilmu dan iman serta amal-amal saleh, mereka melihat dengan hati mereka sedemikian hingga tidak ada keraguan atau kekebimbangan dalam hati mereka.
Begitulah kira-kira pernyataan yang disampaikan oleh Gulam Reza Sultani dalam karyanya “Islamic Morals.” Sultani meyakini bahwa saking dekatnya hubungan seorang kekasih (wali) dengan Allah, bahkan istilah “dekat” pun tercerabut (no longer exist) dari hubungan ini karena kata dekat masih menunjukkan adanya jarak. Sedangkan, antara Allah dan kekasihNya sudah tidak berjarak.
Terkait dengan hal itu, momen lebaran ini ketika berkunjung ke rumah pakde, saya mendapatkan sebuah kisah yang menarik, tentang cerita si mbah saat sowan ke Kiai Abdul Hamid, Pasuruan.
Sesiang itu Pakde berkisah tentang bapaknya yang tidak lain adalah si mbah saya. Awalnya, seperti lazimnya seorang pakde yang menasehati keponakannya dengan nasihat yang baik-baik. Lalu, setelah pembicaraan mengalir, kemudian beliau menceritakan saat si mbah sowan ke Kiai Hamid Pasuruan (Allahu yarham), sosok kiai yang terkenal dengan maqom kewaliannya.
Semasa hidup si mbah, beliau sangat dekat dengan kiai kampung di desa saya, Kiai Chamim Yasin. Dan, kiai Chamim Yasin ini lah yang sering mengajak beliau untuk sowan kiai, termasuk mbah yai Hamid, Pasuruan.
Alkisah, suatu ketika kiai Chamim Yasin mengajak si mbah sowan ke mbah yai Hamid. Pada saat itu, sebenarnya, si mbah sudah lama ingin sekali berangakat haji. Namun, masih ada satu dua hal yang menjadi beban pikirannya, terutama soal anaknya yang banyak dan masih berumur belia. Si mbah tidak tega untuk meninggalkan mereka. Pun saat itu, kalau tidak salah kisaran tahun 1970-an, untuk daftar haji masih tidak semudah saat ini yang salah satunya adalah terbatasnya layanan transportasi.
Pada saat sowan, tiba-tiba mbah yai Hamid langsung dawuh ke si mbah “Ra usah susah-susah, Ji. Insya Allah mangkat kaji kok, tapi yo ora tahun iki, tahun mben lah.” Kurang lebih artinya seperti ini. tidak usah galau pak Haji, Insya Allah berangkat haji kok, tapi ya tidak untuk tahun ini, tahun berikutnya lah.
Mendengar dawuh sepert itu, si mbah tentu hanya terdiam dan diam-diam mengaminkan dawuh mbah yai Hamid. Saya kira, ketika mendengar petuah seperti itu, perasaan si mbah–dan bisa jadi termasuk saya dan para netizen yang budiman jika dalam posisi yang sama–sangat campur aduk. Bahagia, namun tidak bisa mengekspresikan kebahagiaan itu kecuali hanya dengan sepatah kata seperti nggih atau amiin saja. Terlebih lagi dipanggil dengan sebutan pak haji, padahal dia belum pernah berangkat haji.
Lalu, mbah yai Hamid melanjutkan dengan memberi sebuah analogi sederhana terkait kehidupan seorang hamba ini tak ubahnya seperti burung perkutut yang kurang lebih seperti ini:
“Burung perkutut itu kalau sudah disayang sama yang punya, apapun dikasihkan. Ibaratnya membeli beras ketan untuk sang perkutut pun, si empu pun sama sekali tidak akan merasa keberatan.”
Analogi yang sederhana ini tentu mempunyai makna yang sangat dalam. Sependek pengetahuan saya dalam memamahi dawuh beliau, bahwa manusia yang pada dasarnya tidak lain merupakan hamba (‘abdun) dihadapan sang Pencipta dan Pemilik segalanya, Allah.
Jadi, ketika Allah swt telah mencintai seorang hamba, maka Allah tentu akan mencurahkan cinta dan kasih sayangNya kepada hamba tersebut, bahkan tidak segan-segan untuk memberinya sesuatu yang “wah” yang lazimnya tidak diberikan kepada hamba yang lain.
Misalnya, perumpamaan tentang seorang pemilik burung perkutut yang rela mengeluarkan uang untuk membelikan beras ketan hanya untuk pakan si perkutut yang disayangi. Hal ini tentu sanga luar biasa. Di zaman itu, orang untuk bisa makan nasi saja susah. Naini membeli beras ketan hanya untuk diberikan kepada seekor burung. Ki sanak sekalian jangan menyamakan harga beras ketan pada saat itu dengan sekarang, karena jelas sangat berbeda.
Menurut penuturan pakde, setiap harinya kebanyakan makanan pokok masyarakat di daerah saya saat itu adalah singkong yang telah diiris kecil dan dijemur sampai kering, baru kemudian dimasak dan dimakan seperti lazimnya nasi saat ini.
Lebih dari itu, banyak juga orang yang bekerja hanya dengan upah makan setiap harinya. Itu pun makannya juga singkong kering tadi, sesekali dengan nasi dari ubi atau jagung. Sekali lagi bukan beras, apalagi beras ketan. Silahkan dibayangkan sendiri betapa mewahnya beras ketan pada masa itu bagi masyarakat di sini.
Haini, mbah yai Hamid malah menganalogikan memberi makan burung dengan beras ketan. Saya yakin, petuah yang disampaikan beliau sekaligus sebagai pelajaran ketika seseorang telah mampu medapatkan cinta sang Khaliq, maka hal yang dirasa tidak mungkin pun bisa terjadi.
Di sisi lain, apa yang disampaikan oleh mbah yai Hamid juga mengisyaratkan seseorang untuk pasrah, tawakkal dan ridho terhadap apapun yang ditetapkan oleh Allah. Sehingga, hal itu bisa menjadi sebuah jalan untuk mendapatkan cinta-Nya.
Akhirnya, saya pun meyakini dengan haqqul yaqin bahwa mbah yai Hamid memang telah mendapatkan cinta sang Khaliq. Paling tidak, dari dawuh beliau tentang perkutut, panggilan ‘pak haji’ kepada seseorang yang faktanya belum pernah beribadah haji, dan pernyataan beliau perihal keberangkatan haji si mbah menjadi salah satu bukti nyata terkait anugrah di luar nalar (karomah) yang diberikan sebagai kekasih Allah. Wallahu A’lam (AA)