(Disadur dari Tales from the Land of the Sufis, karya Mojdeh Bayat dan Mohammad Ali Jamnia)
Mendengar Syirin sakit, Khusrau mengirim tabib-tabib terbaik istana. Tapi tidak satu pun yang berhasil menyembuhkan sakit Syirin. Hingga seorang tabib menganjurkan Syirin untuk meminum susu domba. Sayangnya, kawanan domba ini hanya ada di atas pegunungan yang sangat jauh. Siapa yang bisa membawa susu domba dari tempat sejauh itu?
Syapur akhirnya memiliki gagasan untuk menghubungi salah seorang seniman dan arsitek cerdas di Persia waktu itu. Namanya Farhad. Farhad adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Selama ini dia dikenal sebagai pemuda dengan pribadi yang jujur dan tidak tergoda oleh kekayaan. Jika ia merancang sebuah bangunan, itu karena didorong oleh passion-nya atau karena keinginan untuk membantu sesama. Dia selalu punya ide cemerlang. Pastilah dia memiliki solusi atas persoalan ini.
Akhirnya, diundanglah Farhad ke vila Syirin. Syapur menjelaskan persoalan apa yang sedang dihadapi. Intinya, Farhad diminta untuk mencari solusi agar Syirin bisa meminum susu domba itu.
Ketika sang arsitek muda ini melihat Syirin, ia pun jatuh cinta pada pandangan pertama. Tersulut oleh perasaan cintanya, ia bersumpah membawakan susu domba kepada Syirin. Dengan cepat ia mengambil peralatannya dan berangkat ke pegunungah yang dituju. Dia merancang sebuah saluran yang bisa mengalirkan susu doma ke vila Syirin. Hanya dalam waktu beberapa minggu, saluran itu pun jadi. Para gembala memerah susu domba untuk dialirkan melalui saluran buatan Farhad. Jadilan sungai susu yang membentang dari pegunungan langsung ke pintu vila Syirin.
Sebagai penghormatan dan rasa terima kasihnya, Syirin mengundang Farhad ke rumahnya. Dia mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada seniman cerdas dan berbudi yang telah berjasa menyembuhkan penyakitnya. Syirin pun mencopot anting-antingnya dan diberikan ke Farhad. “Engku akan selalu kusayang. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Terimalah anting-anting ini sebagai tanda persahabatanku. Ini harta paling berhargaku yang tersisa setelah aku meninggalkan Armenia.”
Bagi Farhad, hadiah anting-anting itu melebihi dari yang diharapkan. Dia membawa anting-anting itu kemanapun dia pergi. Dia sedemikian dimabuk cinta hingga dia hidup menyendiri di pegunungan. Dia hanya meminum susu yang mengalir ke vila Syirin. Terkadang dia berjalan di sekitar vila syirin sekedar berharap bisa melihat wajah Syirin walau hanya sekelebat. Kepada siapapun yang ditemui, dia mengatakan bahwa dia jatuh cinta kepada Ratu Armenia itu. Semua orang di Mada’in tahu ihwal kegilaan cinta Farhad kepada Syirin.
Khusrau yang mendengar ada seorang pemuda yang dimabuk cinta ke Syirin dibakar cemburu. Dia perintahkan pasukannya untuk menangkap Farhad dan menghadapkan ke dirinya. Dia sangat penasaran bercampur cemburu dan marah. Dia ketakutan kehilangan Syirin andai Syirin betul-betul membalas cinta orang yang akan dihadapkan padanya. Ketika dia diberitahu Farhad telah datang, dia segera menemuninya.
Fahad hanya diam di depan Raja, menunggu untuk disapa.
“Apakah engkau Farhad sang arsitek itu?” Farhad yang tersimpuh dilantai menjawab pelan. Khusrau berjalan mondar-mandir melewati si pemuda. “Dari mana asalmu?”
Khusrau tampak gusar bahwa Farhad sama sekali tidak menunjukkan terkesan sudah diundang ke istana dan berhadapan dengan seorang raja. Dengan tenang Farhad menjawab, “Jika yang Baginda maksudkan adalah tempat kelahiran hamba, maka hamba lahir di Mada’in. Tapi sejak hamba jatuh cinta, tempat tinggal hamba adalah di mana kekasih hamba tinggal.”
Wajah Khusrau suram diselimuti awan. Tak ada sebelumnya orang berani berkata demikian kepadanya.
“Aku sudah mendengar apa yang kamu lakukan kepada Ratu Syirin. Aku juga sudah mendengar bahwa kamu mencintanya. Benarkah?”
Farhad menjawab, “Memang benar saya mencintai Ratu Syirin dan mengabdikan hidup hamba kepadanya.”
“Ini hanya omong kosong! Kamu harus menyadari bahwa ini hanyalah kegilaan. Ini hanya ketergilaan sementara saja,” kata Khusrau semakin gusar.
“Bagi baginda mungkin ini hanya ketergilaan. Tapi bagi hamba ini adalah cinta sejati. Dan cinta sejati tidak akan pernah mati sampai kapapun. Sekalipun sang pecinta mungkin akan mati, cinta sejati akan selalu abadi.”
Baru kali ini Khusrau merasa bertemu tandingannya. Dengan sekuat tenaga dia ingin menghancurkan mental pemuda ini.
“Lalu, bagaimana dengan perasaan Yang Mulia Ratu? Apakah engkau sudah mengetahui keinginan-keinginannya? Bagaimana jika beliau memintamu melakukan sesuatu yang tidak sanggup engkau lakukan?”
“Hamba tidak mengharapkan beliau membalas cinta hamba. Cukuplah bagi hamba jika beliau mengijinkan hamba mencintainya.”
Farhad berdiri dari simpuhnya. Dia melanjutkan bicara, “Hati hamba, satu-satunya yang hamba miliki kini telah jadi miliknya. Jika beliau meminta sesuatu melebihi kemampuan hamba, hamba akan memohon kepada Tuhan agar diberi kemampuan itu.”
Khusrau meminta pelayan untuk menuangkan dua cangkir anggur. Satunya diberikan kepada Farhad dan mempersilahkannya untuk meminumnya. Satu tangan Khusrau diletakkan di atas bahu Farhad sambil menatap ke arah taman istana dari jendela yang terbuka lebar.
Setelah meneguk anggurnya, Khusrau berkata setengah memohon kepada Farhad dengan nada yang dibuat agar tidak ada kesan raja meminta kepada hambanya. “Kawan, aku kasihan dengan dirimu. Engkau tidak seharusnya menjalani hidup yang pedih seperti ini. Engkau mencintai Yang Mulia Ratu Syirin sedang beliau bahkan tidak mengetahui cintamu. Engkau bisa mendapatkan cinta dari para perempuan lain yang tidak kalah cantik.”
Farhad sepenuhnya menyadari isyarat Khusrau. Dengan tenang ia menjawab, ”Hamba tidak memandang hidup hamba sebagai sebentuk kepedihan, karena bagi pecinta, kepedihan dan obatnya adalah satu dan sama. Kekasih hamba mengakui atau tidak mengakui keberadaan hamba itu sama sekali tidak penting.
Hamba mencintainya demi dirinya, bukan demi diri hamba. Cukuplah bagi hamba untuk mencintainya. Tentang keinginan-keinginan hamba, bagaimana mungkin hamba memiliki keinginan sedang kepada diri sendiri saja hamba nyaris tidak menyadari.”
Khusrau merasa mulai kehilangan kesabaran. Agaknya dia harus beralih dari bahasa isyarat ke bahasa perintah.
“Bagaimana jika Rajamu memerintahkan agar kamu meninggalkan sang Ratu dan mencampakkan cinta gila ini?”
Farhad tahu bahwa Khusrau pernah mencintai Syirin. Tapi dia tidak tahu bahwa Khusrau masih menyimpan perasaan itu. Khusrau tampak di mata Farhad sebagai laki-laki yang menyedihkan. Dia jatuh simpati. Tapi cinta itu urusan lain. Dengan tegas Farhad berkata, “Mohon maaf, yang demikian itu tidak bisa hamba patuhi, Baginda.”
Khusrau jelas sadar bahwa ia kalah di depan pemuda ini. Tapi wibawa raja harus tetap ditegakkan. Khusrau pun menyuruh Farhad untuk pergi. Khusrau tidak tahu lagi bagaimana cara mendapatkan cinta Syirin kembali. Bahkan terhadap pemuda jelata pun, dia kalah.
“Dengan cinta si lemah dikuatkan, dengan cinta pula si kuat dibuat tak berdaya.” Bersambung…
Baca selajutnya: Kisah Cinta Sufi… (9)