Media Zainul Bahri Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penulis Buku Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn ʻArabī, Rūmī, dan al-Jīlī

Kitab Suci Agama-agama [Part 1]

3 min read

Sebagai Muslim, tentu saja kita beriman kepada keagungan Alquran. Selama berabad-abad Alquran telah menjadi referensi kaum Muslim membangun peradaban Islam di negeri-negeri Muslim, baik (peradaban) dalam pengertian harfiah maupun substansial. Sejak di madrasah dan pesantren kita diberitahu bahwa Alquran adalah satu-satunya mukjizat nabi Muhammad yang tertulis dan abadi sepanjang masa, untuk seluruh umat manusia. Guru-guru kita mengajarkan bahwa mukjizat para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad bersifat lokal-temporal dan sebagian besarnya bersifat material-empiris, misalnya membelah laut, menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, tidak terbakar api dll. Tetapi, begitu para nabi itu wafat, maka selesai pula mukjizatnya. Hal itu berbeda dengan Alquran.

Secara eksklusif, tentu kita meyakini Alquran sebagai mukjizat terbesar nabi Muhammad. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah Alquran adalah satu-satunya wahyu Allah sebagai mukjizat yang sampai hari ini, di planet bumi ini, terjaga dengan baik? Bagaimana dengan kitab-kitab suci agama-agama lain yang dulu diwahyukan kepada para nabi, yang hari ini juga eksis bersama-sama kita? Apakah keberadaan mereka tidak dianggap? Sekali lagi, jika dihadapkan dengan kenyataan objektif, apakah Alquran hanya satu-satunya sebagai “kitab suci tertulis” yang ada sampai saat ini? Mari kita lihat fakta objektifnya.

(1) Menurut Orang Hindu, kitab suci mereka, Weda (Veda) secara umum terbagi dua: Weda Sruti dan Weda Smrti. Sruti artinya “mendengar”: mendengar langsung dari Tuhan. Weda Sruti adalah sabda suci dari Tuhan yang maha kuasa yang “didengar langsung” oleh para Maharshi (maha resi) pilihan atau para nabi puluhan abad lalu sebelum Masehi. Wahyu yang didengar langsung oleh para maha resi segera mereka tulis dalam satu kitab yang kemudian disebut Weda Sruti. Tetapi, Weda Sruti ini sulit dipahami maknanya, oleh orang biasa, karena berbentuk mantra dan syair. Karena itu, para maha resi membuat “tafsir” agar lebih mudah dipahami oleh umatnya. Tafsir-tafsir itu nanti terhimpun dalam Weda Smrti. Kata ‘Smrti’ atau ‘semerti’ atau ‘smriti’ berasal dari kata “smr” yang artinya ingat. Weda Semerti adalah kitab suci yang ditulis oleh para maha resi berdasarkan ingatan atas wahyu yang mereka dengar, tetapi kemudian ditambahi tafsir-tafsir agar mudah dipahami. Karena berisi banyak tafsir, maka nilainya dianggap lebih rendah dari Weda Sruti. Artinya, jika terdapat pertentangan/kontradiksi isi kitab Semerti dengan Sruti, maka yang dianggap benar adalah isi dari kitab Weda Sruti.

Baca Juga  Hanifiyyah: Ajaran Tauhid Sebelum Islam (1)

Dari kitab suci Weda Sruti ini yang paling tinggi nilainya adalah Kitab Catur Weda: Rig Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atarwa Weda. Kitab suci Weda ini adalah Kelompok Besar Pertama dari kitab suci orang Hindu. Kelompok besar kedua adalah kelompok kitab suci Nibanda, yang nilainya lebih rendah dari kitab suci Weda. Dari Weda dan Nibanda kemudian bercabang ke bawah menjadi banyak: Bhagawad Gita, Upanishad, Tantra, Brahma sutra dan lain-lain. Jadi jelaslah bahwa Weda adalah “wahyu Tuhan” bukan buatan para resi/tokoh agama Hindu seperti yang sering dituduhkan orang-orang yang tidak paham. Negeri-negeri yang didiami mayoritas Hindu seperti India, kota-kota besar di Asia Selatan, dan pulau Bali tentu membangun peradaban mereka dan negerinya, sedikit banyak, berdasarkan kitab suci Weda dan tafsir-tafsirnya.

(2) Menurut orang-orang Buddha, kitab suci mereka, Tripitaka atau Tipitaka, adalah ajaran Buddha Gautama selama ia menjadi Sang Buddha (45 tahun), dalam Bahasa Pali. Segera setelah Sang Hyang Buddha Maha Parinirvana (meninggal), 500 Bikkhu yang telah mencapai maqām “ma’rifat” (Arahat) berkumpul di salah satu lereng gunung Himalaya untuk mengumpulkan semua khotbah Sang Buddha. Konsili pertama ini dipimpin oleh Ananda Maha Kasyapa (mungkin sudah kasyaf). Maha Kasyapa adalah murid Sang Buddha yang punya ingatan yang luar biasa, yang ikut mendampingi kemana saja Sang Buddha pergi mendakwahkan Dharma. Ananda Maha Kasyapa diminta oleh para Bikkhu yang hadir untuk mengulangi kembali khotbah-khotbah Buddha. “Demikianlah yang telah aku dengar”, kata Ananda.

Barulah pada tahun 80 SM (versi lain 100 SM), konsili Buddhis keempat yang diadakan di Sri Lanka dengan sponsor Raja Vattagamini Abbaya, Tripitaka untuk pertama kalinya ditulis (dikodifikasi). Tripitaka yang berarti “tiga keranjang” berisi: Sutta Pitaka (ajaran/ceramah), Vinaya Pitaka (aturan disiplin) dan Abhidhamma Pitaka (psikologi moral). Negeri-negeri dengan mayoritas Buddhis seperti Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Tibet, sebagian India, dan lain-lain, mereka membangun keadaban hidup mereka berdasarkan “worldview” Tripitaka dan ulasan-ulasannya yang luas.

Baca Juga  Cerpen: Hati yang Kaya [1]

Mengapa disebut “tiga keranjang”? Dalam masyarakat India kuno, para pekerja bangunan biasa memindahkan material bangunan dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan keranjang. Mereka meletakkan keranjang “di atas kepala”, berjalan dalam jarak tertentu, mengalihkan ke orang selanjutnya, dan begitu ia mengulang-ulang proses tersebut. Budaya tulisan telah dikenal pada masa sang Budhha, namun ketika itu dianggap kurang handal dibanding ingatan manusia. Sebuah buku dapat membusuk akibat kelembaban musim hujan atau dimakan rayap, namun “memori/hapalan manusia” bertahan sepanjang ia hidup. Begitulah, para bhikkhu dan bhikhuni bertekad menghafalkan seluruh ajaran Sang Budhha dan menyampaikannya satu sama lain sebagaimana pekerja bangunan saling memindahkan materi dalam keranjang.

(3) Salah satu agama tertua di Asia, bersama-sama dengan Hinduisme adalah agama Zoroaster. Para pemeluk agama ini, di masa Iran kuno, meyakini Zarathustra sebagai nabi yang mendapat wahyu dari Tuhan Ahura Mazda, dan kumpulan wahyu itu kemudian dikodifikasi menjadi kitab suci Avesta. Zarathustra diajari oleh Tuhan tentang Tuhan yang maha terang, yaitu Ahura Mazda yang harus disembah dan diikuti, dan melawan kekuatan gelap yang bisa menjerumuskan manusia, yakni Daevas (Ahriman). Hidup manusia adalah perjuangan atau tarik menarik antara kekuatan Ahura Mazda atau Daevas.

Zarathustra diberi wahyu tentang kebebasan manusia untuk memilih perbuatan baik atau buruk, tetapi manusia harus menyadari ada semacam ‘malaikat”: Spenta Mainyu (mencatat amal baik) dan Angra Mainyu (mencatat amal buruk). Kelak setelah mati, manusia harus melewati satu jembatan yang disebut “Civentu Peretu” (Chivanto Peretu) [yang dalam Islam biasa disebut jembatan shirotol mustakim]. Jika manusia bisa melewati jembatan itu dengan selamat, maka ia akan sampai di sebuah kebun yang sangat indah, yang disebut Paradeza (Firdaus), dan hidup bahagia karena rahmat Ahura Mazda. Sebaliknya, jika manusia jatuh dari jembatan itu, ia akan dibakar di bawahnya bersama batu-batu. Tempat itu disebut Gehanama (Jahanam).

Baca Juga  Kisah Habib di Keluargaku

Semua ajaran Zarathustra ini kemudian ditulis menjadi kitab suci “Avesta” atau “Zend Avesta” pada sekitar abad ke-6 SM. Menurut para sarjana agama, banyak ajaran Zoroaster ini kemudian dilanjutkan oleh (mempengaruhi) Yahudi, Kristen dan Islam. Ketika ada tamu tokoh-tokoh Syiah Iran ke Fakultas Ushuluddin, saya bertanya tentang eksistensi agama Zoroaster sekarang di Iran. Mereka menjawab bahwa meskipun Zoroaster adalah agama minoritas di Iran, tetapi mereka cukup solid: memiliki rumah sakit, sekolah-sekolah dan layanan publik lainnya secara mandiri. [MZ]

–Bersambung–

Media Zainul Bahri Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penulis Buku Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn ʻArabī, Rūmī, dan al-Jīlī

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *