Sumanto Al Qurtuby Direktur Nusantara Institute; Associate Professor di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Saudi Arabia

Gagal Paham tentang Saudi Arabia dan Salafisme

1 min read

“Kuliah virtual” singkat kali ini mengenai sejumlah kesalahpahaman masyarakat luar non-Arab tentang Saudi. Banyak orang, baik di Barat maupun di Indonesia, saya lihat “gagal paham” dalam melihat “interior” Arab Saudi.

Misalnya saja banyak yang beranggapan bahwa Saudi itu sama dengan Wahabi. Itu keliru. Perlu dicatat bahwa sekitar 10-15 persen dari penduduk Saudi adalah pengikut Syiah dari berbagai sekte: Itsna Asy’ariyah, Ismailiyah, Zaidiyah, dan lain-lain.

Warga Syiah tersebar di berbagai kawasan seperti Madinah, Najran, Qatif, Al Khobar, Ahsa dan sebagainya. Pula, lebih dari 1/3 populasi Saudi adalah kaum migran, baik migran Arab maupun non-Arab. Untuk kaum migran Arab sebagian besar dari Yaman, Mesir, dan Yordania. Sementara untuk migran non-Arab mayoritas dari India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Filipina, Sudan, Somalia, Ethiopia, dan tentu saja Indonesia.

Pengikut “Wahabi” (sengaja saya pakai tanda kutip karena pengikut “Wahabisme” biasanya tidak mau disebut Wahabi. Mereka lebih suka disebut “Salafi”) sejatinya adalah “minoritas agama penguasa” disini karena menjalin patron dengan rezim politik. Mayoritasnya tentu saja Sunni dari berbagai mazhab (Syafii, Maliki, Hanafi, Hanbali) yang tersebar di berbagai daerah.

Pengikut “Wahabi” kebanyakan terpusat di kawasan Najd (Saudi bagian tengah), khususnya Al-Qassim, Ha’il (juga Riyadh), tempat lahirnya pendiri Wahabi (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) dan leluhur Dinasti Saud. Perlu juga dicatat: tidak semua keturunan Raja Sa’ud itu otomatis pengikut Wahabi.

Kesalahpahaman berikutnya adalah pandangan yang mengatakan bahwa “Wahabi” itu sama dengan “ekstrimis”. Ini juga keliru besar. Pengikut “Wahabi” itu warna-warni: ada “Wahabi ekstrem” (yang suka ngamuk-ngamuk), ada “Wahabi asesoris” (pakaian dan jenggotnya doang yang mirip-mirip “Wahabi”), ada “Wahabi pragmatis-oportunis” (ini kelompok yang pura-pura jadi Wahabi supaya dapat akses politik dan ekonomi), ada juga “Wahabi moderat” (ke dalam konservatif, ke luar toleran), ada pula “Wahabi liberal” (nah yang ini “Wahabi”-nya kalau di ruang-ruang publik Saudi saja.

Baca Juga  Hizbut Tahrir [Indonesia]: Gerakan Moral atau Politik?

Kalau di ruang privat apalagi di luar Saudi, lain lagi ceritanya). Kelompok “Wahabi moderat-progresif” ini bisa saja tidak setuju dengan kelompok agama lain dalam banyak hal tentang isu-isu sosial-keagamaan tertentu tetapi bukan berarti lantas marah-marah dan ngamuk-ngamuk menggeruduk seenaknya.

Kemudian, banyak pula saya perhatikan yang berpandangan kalau warga Sunni dan Syiah di Saudi itu saling bermusuhan. Itu juga tidak benar. Bagaimana bisa bermusuhan padahal mereka bisa ngopi-ngeteh-ngrokok dan kongkow-kongkow bareng di berbagai ruang publik.

Mereka juga biasa bareng di pasar-pasar tradisional baik sebagai penjual maupun pembeli. Di berbagai daerah di Ahsa bahkan sudah biasa mereka kawin-mawin selama beratus-ratus tahun.

Memang ada “orang yang normal” yang suka melihat kekerasan dan kekacauan? “Semua orang waras” ya lebih memilih hidup rukun bukan daripada bermusuhan? Pelaku kekerasan terhadap Syiah di Saudi itu bukan dilakukan oleh “massa” (layaknya di Indonesia) tapi oleh kelompok snipers (penembak jitu) dan teroris yang di Saudi sendiri juga dimusuhi.

Oleh karena itu saya sarankan sejumlah kelompok Islam di Indonesia jangan suka berbuat kekerasan terhadap kelompok agama lain, apalagi membawa-bawa Saudi sebagai legitimasi. [MZ]

Sumanto Al Qurtuby Direktur Nusantara Institute; Associate Professor di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Saudi Arabia