Seringkali kita terjebak pada pemahaman yang salah atau yang biasa disebut ”gagal paham” terkait bagaimana cara mendapatkan petunjuk/hidayah Tuhan atau bagaimana Tuhan dengan hak prerogatif-Nya memberikan hidayah-Nya kepada siapa saja yang Ia kehendaki.
Apakah secara proaktif dengan”mencari” hidayah itu ataukah sebaliknya—secara pasif—dengan dalih semuanya terserah kepada Sang Maha Pemberi Hidayah. Untuk menjawab problematika tersebut memang tidak sesederhana yang dibayangkan, namun juga bisa diajukan jawaban yang sederhana oleh karena telah ditemukan arah suatu pertanyaan atau pintu masuk (entry point) dari suatu jawaban.
Diskusi—atau lebih tepatnya polemik—untuk menguak jawaban pertanyaan di atas, termasuk juga problematika teologis lainnya, sebenarnya sudah terjadi sejak lama tepatnya pada masa keemasan Islam di saat pemerintahan dinasti Abbasiyah, sekitar abad 3 Hijriyah, yaitu paradigma pemikiran aliran Mu’tazilah yang oleh oleh karena Khalifah Ma’mun secara resmi dijadikan sebagai mazhab negara.
Kebijajan tersebut menyebabkan aliran teologi lain yang berbeda harus ”tiarap”. Misalnya, ketika aliran-aliran yang berbeda itu, apalagi yang bertentangan, dengan mazhab negara (baca: Khilafah ’Abbasiyah) masih melakukan kegiatan-kegiatannya, maka mereka akan berhadapan dengan kekuatan negara.
Terbukti betapa banyak ulama, khususnya dari Ahlussunnah wal Jama’ah yang dijebloskan ke pengapnya penjara tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Seperti yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hanbali.
Saat itu, Mu’tazilah memaksakan doktrinnya yang menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk karena itu bersifat baru (hadith), sementara Imam Hanbali berpendapat sebaliknya, bahwa al-Qur’an bersifat qadim (dahulu tanpa diawali ketiadaan) karena Ia merupakan kalamullah (firman Allah).
Syekh Abdullah al-Harari (1910 M.) yang masyhur dengan julukan “al-Habshi”, menulis dalam salah satu karyanya al-Gharat al-Imaniyyah fi Radd Mafasid al-Tahririyyah yang membantah pendapat Imam Taqiyyuddin al-Nabhani (L. 1327 H./1909 M.), pendiri Hizbut Tahrir dalam karyanya al-Shahsiyyah al-Islamiyyah yang menyatakan bahwa semua perbuatan manusia (af’al al-insan) tidak ditentukan kepastian Tuhan (qadla’) dan kepastian Tuhan tidak dapat menjangkau perbuatan manusia karena dengan kemampuan manusia itulah semua perbuatannya bisa dilakukan dengan kehendaknya dan pilihan rasionalnya.
Lebih lanjut al-Nabhani mengkaitkan ”pahala” (al-mathubah) dan ”siksaan” (al-’uqubah) berdasar petunjuk (al-hidayah) dan penyesatan (al-dlalal) Tuhan mengindikasikan bahwa suatu perbuatan manusia itu dari murni manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan. Inilah yang dibantah oleh Syekh Abdullah al-Harari dan seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahwa pandangan al-Nabhani di atas bertentangan (mukhalif) dengan nash al-Qur’an dan Hadis yang sarih (jelas teks dan maknanya).
Di antara firman Allah dalam QS al-Furqan (25): 2, tepatnya di bagian akhir ayat ini, dinyatakan bahwa ”Allah swt menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat”. Demikian pula dalam QS al-Saffat (37): 96, yang maknanya ”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Juga kejelasan makna firman Allah yang langsung bisa didapatkan dari redaksi teks (’ibarat al-nass) QS. al-Qamar (54): 49, yaitu ”Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”.
Al-Harari selanjutnya mengajukan argumen, yakni ”sesuatu” di sini mencakup segala sesuatu yang ada (al-wujud) mencakup hal-hal yang bersifat fisik (al-ajsam), gerak-gerik manusia (harakat al-’ibad), dan diamnya (sukun). Pun demikian dengan perbuatan manusia sehari-hari (ikhtiyari) seperti makan, minum, dan kegiatan lainnya, juga perbuatan yang tidak dapat dihindari (idltirari), seperti sakit, terkena musibah, dan mati.
Perbuatan ikhtiyari manusia dari segi kuantitas tentu jauh lebih banyak daripada yang non-ikhtiyari (idltirari). Oleh karena itu, mengatakan bahwa eksistensi ciptaan manusia dalam wujud perbuatan manusia sehari-hari itu lebih banyak kuantitasnya daripada ciptaan Allah merupakan pernyataan yang keliru dan menyesatkan.
Demikian pula pandangan al-Nabhani di atas bertentangan dengan sejumlah Hadis sarih dan sahih yang dikutip al-Harari, di antaranya hadis riwayat Imam Muslim dan Imam Baihaqi yang artinya bahwa segala sesuatu telah ditentukan takdirnya sampai sifat malas (al-’ajz) dan potensi cerdas (al-kays).
Imam al-Hakim dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Hudzaifah menyebutkan suatu Hadis, yang maknanya, ”Sesungguhnya Allah swt adalah Dzat Yang Maha Mencipta sesuatu yang mengkreasi dan hasil kreasinya.” Imam Turmudzi juga meriwayatkan Hadis sahih dalam kitab Sunan-nya yang menyatakan ”ada 6 (enam) orang di mana Allah swt dan aku (Nabi Muhammad saw), juga setiap Nabi yang mesti diterima (mujab) doanya melaknat orang yang menambah-nambahkan (merubah) al-Qur’an, orang yang mendustakan takdir Allah.”
Dari sini menjadi jelas bahwa pada dasarnya perbuatan manusia (sengaja hanya dibahas global) dan urusan hidayah adalah murni ciptaan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam QS al-Qasas (28): 56 yang menyatakan, ”Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”.
Untuk mendukung uraian di atas, Imam Ahmad Shihab al-Din bin Salamah al-Qalyubi dalam karyanya ”al-Nawadir” (halaman 17) pada hikayah ke-25 menceritakan betapa sekelompok pencuri (al-lusus) yang sudah merajai sejumlah wilayah pada akhirnya bertobat. Hati mereka terketuk dan menjadi sadar akan masa lalu mereka yang kelam setelah kedapatan menyaksikan langsung di hadapan mata kepala mereka sendiri, bahwa anak dari keluarga yang mereka singgahi untuk bermalam, saat itu dalam kondisi lumpuh.
Namun di kesempatan lain, sekelompok penyamun itu menyaksikan sang anak sembuh total dari penyakit lumpuhnya. Mereka penasaran untuk bertanya perihal kesembuhan sang anak. Akhirnya mereka mendapat jawaban, sang anak sembuh karena mendapatkan suatu keberkahan setelah meminum air sisa mereka saat bertamu. Di akhir cerita, Imam al-Qalyubi menulis kelanjutan para pencuri itu setelah bertobat, mereka berbalik 180 derajat, menjadi sekelompok pejuang agama (jumlat al-ghuzat wa al-mujahidin) sampai meninggalnya.
Sebaliknya, seorang orientalis dan guru besar perempuan, pakar sufi berkebangsaan Jerman, Annemarie Schimmel, mengajar di Harvard University dan beberapa kampus ternama dunia, telah menghafal al-Qur’an dan sejumlah kitab-kitab otoritatif dalam ilmu-ilmu keislaman. Di antaranya kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, telah ia hafal lafzan wa ma’nan.
Ia pernah bertemu Gus Dur di Jakarta saat masih menjabat presiden. Ia juga telah banyak menulis sejumlah buku-buku keislaman best seller, namun ia tak pernah memproklamirkan dirinya di hadapan publik sebagai Muslimah. Padahal, dalam banyak kesempatan, ia sering membela konsep-konsep Islam di setiap wawancara atau presentasinya bila dijumpai hal-hal yang menyudutkan. Walhasil, sampai meninggalnya di tahun 2003 agamanya apa masih menjadi misteri; dan saat upacara pemakamannya dilakukan secara keagamaan di Gereja Protestan Bonn Jerman (Kompasiana).
Apa yang ingin saya garisbawahi dari dua hal di atas adalah, kembali lagi, bahwa hidayah ilahiyah bagaimanapun murni merupakan kehendak Sang Maha Pemberi Hidayah itu sendiri, Allah. Tidak ada jaminan bagi pencari hidayah Tuhan akan kepastian untuk menggapainya.
Sebaliknya, seseorang dengan tanpa beban menjalani kehidupan yang sesuai pilihannya, pada akhirnya Allah swt memberikan hidayahNya kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Namun, hal penting lain yang menjadi kongklusi tulisan ini, bahwa upaya ikhtiyar untuk mendekati sumber hidayahNya tetap mendapat posisi terhormat daripada yang hanya duduk manis tanpa melakukan apa-apa.
Pun demikian, setelah mendapatkannya, maka hal yang tidak mudah adalah dengan merawat hidayah itu, mempertahankannya, bahkan meningkatkannya menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama, tentu jauh lebih sulit, bukan?. Wallahu a’lam bissawab. [AA]