“Ketika agama harus dipertarungkan dengan rasionalitas, maka manusia cenderung akan memenangkan yang pertama dan mengalahkan yang kedua”.
Itulah ungkapan Napoleon Bonaparte (1769-1821) saat mencoba berpura-pura menjadi seorang Muslim untuk memikat hati penduduk Muslim di Mesir. Bahwa saat agama harus dikontestasikan dengan rasionalitas, maka manusia cenderung akan memenangkan yang pertama dan mengalahkan yang kedua.
Dan, hal itu juga menjadi gambaran umum saat sebagaian umat Muslim yang merasa antusias melihat seorang dari agama lain “bermutasi” menjadi seorang Muslim. Semua narasi yang disampaikannya dianggap sempurna.
Saat seseorang memutuskan berpindah agama, kontestasi kosakata hidayah dan murtad selalu mengitari dinamika perjalanan spiritual (baca: agama) seseorang. Pun dengan term keberislaman dari yang “menjadi Muslim tanpa embel-embel Hijrah” dengan Muslim “berstatus” hijrah. Status baru dipuja, status lama dicemooh. Status lama tidak sepenuhnya dinaungi hidayah, status baru mendapatkan hidayah absolut. Sayyid Qutb, mungkin, menyebut status lama adalah Jahiliyah dan status baru sebagai Islam autentik.
Kasus Napoleon Bonaparte dengan para mualaf di Indonesia jelas berbeda dan saya tidak ingin menghubungkan keduanya, karena memang konteksnya tidak sama. Napoleon Bonaparte memang tidak sampai mengumbar keburukan agama lama di hadapan para Muslim di Mesir saat itu. Kepentingannya kala itu murni politik-kolonial.
Ini berbeda dengan para mualaf yang kadang didapuk menjadi pendakwah Islam di Indonesia. Tak jarang, para mualaf harus menguliti borok (baca: anomali) agama lamanya. Mereka kemudian diberi panggung pada forum-forum diskusi dan ceramah agama untuk menceritakan pengalaman mereka berpindah agama sembari membuka keburukan agama lamanya. Hal itupun diapresiasi oleh umat yang mendengarnya.
Mulai dari yang paling senior, seperti Irene Handono yang mengaku-ngaku mantan biarawati Katolik, Yahya Waloni yang menantang semua pendeta untuk berdebat dengannya tentang “kesesatan” gereja dan “kepalsuan” Alkitab, Bangun Samudra yang mengaku S3 Vatikan, Staven Indra Wibowo yang “Ditawar 100 Milyar untuk Kembali ke Kristen”, Felix Siaw yang “Setia Mengasong Khilafah”, dan yang teranyar Fauzan Al Azmi yang mengaku saat menjadi Ketua Misionaris, tugas utamanya adalah menghancurkan Islam, selain bahwa dia juga mengaku merupakan lulusan Injil Vatican School (IVS) di Roma, Italia.
Walaupun narasi kebencian dari ceramah mereka di beberapa tempat diapresiasi, namun tidak sedikit umat Islam di Indonesia yang jengah dengan konten-konten ceramah mereka. Sejarah hidup masa lalu para mualaf-pendakwah—seperti yang tersebut di atas—coba dikritisi oleh beberapa orang karena ternyata tak sedikit yang mengandung hoax.
Misalnya Yahya Waloni yang mengaku sebagai pendiri dan rektor Universitas Kristen Papua, ternyata banyak mahasiswa yang tak mengenalnya. Pun dengan Irene Handono yang mengaku seorang biarawati. Suster Lucyana, biarawati dari Biara Ursulin Bandung tempat dimana Irene hampir diikrar menjadi biarawati, pernah menyatakan bahwa Irene bukanlah seorang biarawati. Katanya, Irene belum melewati prosesi “Kleding”, yakni penerimaan pakaian suster. Tanpa melewati proses ini, mustahil dapat menjadi biarawati. Dan, Irene telah gagal disini.
Steven Indra Wibowo yang mengaku ditawari Rp 100 miliar agar meninggalkan agama Islam dan kembali memeluk agama Kristen. Sampai saat inipun belum dijawab siapa orang ultra-dermawan ini yang memberi uang sebanyak itu untuk apa keuntungannya bagi pemberi uang tersebut.
Felix Siauw beda lagi. Konten narasi-narasi di akun media sosialnya seringkali menempatkan dirinya sebagai insan terzalimi, karena asongan khilafahnya. Gaya dan diksi dakwahnya biasanya memotret kejadian-kejadian yang cukup dramatis dan menggugah kesadaran pembaca untuk bersimpati. Dia berperan sebagai orang yang dizalimi, dan tentu saja simpati itu harus mengarah kepada dirinya. Di sinilah Felix sedang bermain peran walau kadang menyisipinya dengan kebohongan. Yang terbaru KH Ahmad Ishomuddin melancarkan kritiknya karena kesalahannya membaca—apalagi memahami—Alquran.
Fauzan Al Azmi yang mengaku sebagai mantan ketua misionaris dan anak Kardinal. Beberapa nitizen mempertanyakan bagaimana ia yang beragama Kristen, namun namanya Katolik banget? Identitas asli Fauzan dibongkar—sebagaimana dikutip dalam pojoksatu—oleh akun FB Sansulung John Sum. Ia menyebut Fauzan Al Azmi adalah pria kelahiran Kudus, 4 Juli 1977 dengan dengan asli Joko Subandi. Menurut Sansulung, “Setelah saya telusuri, ternyata ibu dari mualaf palsu ini bernama Surahma, bukan Maria Laura sebagaimana pengakuannya,” kata Sansulung melalui akun Facebooknya. Menurut Sansulung, Fauzan Al Azmi mengaku kuliah di Undip dengan gelar insinyur. Padahal tidak lulus SMA.
Lantas, label mualaf yang dalam waktu sekejap bisa menyandang gelar prestisius ustaz perlu dikritisi. Semudah itukah masyarakat kita memberi “panggung sandiwara” bagi para mualaf yang latar belakangnya sudah mencurigakan, mengaji Alquran saja belum tentu sampai level sangat bagus, belajar kitab-kitab dasar agama juga belum mumpuni, dan lain sebagainya.
Apakah kemunculan para mualaf-dai ini bagian dari slogan “kembali kepada Alquran dan Hadis” yang tidak mementingkan penalaran dan pemahaman terhadap komponen-komponen penting untuk memahami kedua sumber agama tersebut? Sekadar bisa membaca Alquran dan Hadis sudah cukup manggung di podium dakwah? Apakah hanya berkalung sorban, seorang ustaz bisa kita beri panggung semudah itu? Apakah menjadi pendakwah Muslim lebih mudah dari pada menjadi pastor?
Kita tidak menolak para mualaf-dai yang berniat “manggung”. Tapi setidaknya pahami dulu bahwa seorang dai membawa misi amar makruf nahi munkar, dan ini tidak mudah. Di poin ini, Abu Hamid al-Ghazali menyatakan bahwa etika orang yang berdakwah, bahwa ia harus seorang yang berilmu, bersikap wara’, berakhlak mulia, bersikap lemah lembut dan tidak keras.
Di poin pertama seorang harus berilmu ini tidak mudah, bukan sekadar bisa membaca Alquran dan hadis. Tetapi wawasan keislaman dan penguasaan disiplin ilmu Islam, seperti Ulumul Quran, Ulumul Hadis, Ushul Fiqh, Balaghah, Mantiq dll menjadi penting dikuasai sebagai alat untuk memahami kedua sumber utama Islam, Alquran dan Hadis.
Terkait wara’, seorang dai hanya menegur tindakan yang terbatas pada hal-hal yang dianjurkan saja. Sedangkan terkait akhlak, sikap lemah lembut dan tidak keras, supaya seorang pendakwah tidak melampaui batas yang telah ditentukan oleh syariat. Sehingga tidak berakibat pada lebih banyak menimbulkan keburukan ketimbang mendapat kebaikan. Sebab—dengan begitu—tegurannya justru melanggar syariat.
Jika sudah sedemikian rumit dan berliku seseorang harus mempersiapkan diri menjadi seorang pendakwah ideal dan itu membutuhkan waktu yang lama, maka buat apa kita memberi panggung sandiwara untuk para mualaf-dai yang tingkat kemampuan agamanya masih perlu diupdate. Anda kekurangan dai? Carilah lulusan pesantren atau lulusan ilmu keislaman murni di perguruan tinggi Islam. Pasti banyak. [MZ]