Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Beragama di Tengah Populisme Pandemi

3 min read

Himbauan pemerintah agar masyarakat muslim di Indonesia tidak melaksanakan salat tarawih berjamaah dan tidak merayakan lebaran selama masa pandemi Covid-19, melahirkan respon yang sangat beragam. Sebagian besar masyarakat memang memilih patuh, namun tidak sedikit yang ‘membangkang’ dengan ragam ekspresi.

Di hampir seluruh wilayah di Indonesia, banyak masjid masih menggelar salat tarawih berjamaah. Ribuan umat Islam dengan berbagai alasan tetap berbondong-bondong ke masjid. Beberapa daerah yang menerapkan kebijakan agak ketat, bahkan memicu sejumlah ketegangan antara aparatur negara dan masyarakat.

Prinsipnya masyarakat ngotot tetap menggelar shalat tarawih berjamaah meski harus menghadapi risiko terpapar oleh virus yang mematikan itu. Ada yang berdalih soal hak kebebasan beragama. Tidak sedikit pula yang membungkusnya dengan ekspresi kebencian terhadap pemerintah. Ada pula yang menjalaninya dengan tetap bijak dan mengindahkan protokol kesehatan.

Saya awalnya menduga bahwa hanya kelompok Islam tipikal fundamentalis yang menolak ‘tunduk’ terhadap himbauan pemerintah. Sejauh penggunaan istilah fundamentalisme Islam masih kontekstual digunakan mengidentifikasi kalangan yang menyunggi ideologi purifikasi sekaligus mendukung agenda politik Islam.

Rupanya dugaan tersebut salah besar. Penolakan itu rupanya kecil sekali hubungannya dengan orientasi keagamaan masyarakat. Shalat tarawih tetap digelar di masjid-masjid dengan jamaah paling moderat bahkan tradisionalis, hingga di kalangan yang paling Islamis. Dengan begitu, kelompok-kelompok yang ‘membangkang’ itu spektrumnya cukup luas dan beragam.

Di tengah pandemi ini, kita juga mulai menyaksikan gejala lunturnya kepatuhan masyarakat terhadap para ulama dan organisasi afiliasi. Tentu saja, hal ini hanya diukur dari soal penyelenggaraan shalat tarawih berjamaah. Meski Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah mengeluarkan himbauan agar umatnya melakukan shalat tarawih di rumah saja, faktanya masjid-masjid yang berafiliasi dengan kedua organisasi Islam terbesar itu tetap menggelar tarawih berjamaah.

Baca Juga  Cara Mahasiswa Menjadi Sufi di Era Digital

Masjid-masjid yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi Islam yang lebih tidak moderat, tentu jauh lebih bersemangat dan demonstratif dalam menggelar tarawih berjamaah. Seolah-olah tarawih berjamaah adalah sarana meneguhkan identitas politiknya yang berseberangan dengan pemerintah. Himbauan MUI juga seperti menguap begitu saja. Di mana-mana masyarakat menawar dan menolak anjuran lembaga kuasi-negara yang biasanya fatwanya sangat ditakuti itu.

Hanya bila soal tarawih berjamaah tersebut dijadikan sebagai ukuran, kita sesungguhnya bukan hanya menyaksikan pudarnya kepercayaan dan ketaatan masyarakat pada pimpinannya dan kepada organisasi afiliasi, tetapi juga gejala perilaku beragama yang tanpa imam, dan itu berarti tanpa kepemimpinan moral dan intelektual ulama. Dalam tarawih berjamaah yang begitu bergelora dan demonstratif itu, sesungguhnya mereka sedang berkiblat ke mana? Faktanya, Masjidil Haram sebagai rujukan terakhir juga memberlakukan kebijakan yang sama.

Situasi distrust dan perilaku beragama tanpa imam dan tanpa kiblat tersebut, tentu dengan mudah ditafsirkan sebagai sisa-sisa, atau malah fase kelanjutan, arus populisme Islam di Indonesia. Selain ditandai oleh orientasi beragama yang sangat bertedensi politik, populisme juga mengendurkan ikatan moral masyarakat dengan para pemegang otoritas keagamaan tradisional. Bisa individu ulama, bisa juga organisasi keagamaan.

Di tengah renggangnya ikatan moral dan menipisnya kepemimpinan moral itu, keberadaan otoritas lama dengan mudah digeser dan digantikan oleh otoritas baru. Dalam konfigurasinya yang begitu cair di Indonesia, otoritas baru itu bisa saja berbentuk organisasi keagamaan baru dengan corak yang lebih Islamis, atau bisa jadi perebutan otoritasnya lebih menyempit dan berlangsung di setiap lokal.

Faktanya, di banyak desa, anjuran untuk tetap menjalankan tarawih berjamaah juga merujuk pada hujjah kiai lokal atau organisasi keagamaan setempat. Dengan begitu, otoritas keagamaan menjadi jauh lebih terfragmentasi. Meski begitu, transformasi otoritas tersebut tidak selalu bersifat personal tetapi juga digital. Populisme menguat karena ditopang oleh media populer yang berkembang biak sedemikian rupa tanpa mampu dikontrol para pemegang otoritas kebijakan, apalagi otoritas agama.

Baca Juga  Islam Agama dan Umat, Bukan Agama dan Negara

Pelipatgandaan media populer di masa pandemi seperti saat ini, terbukti bukan hanya mengambil alih kepemimpinan moral dan intelektual dalam hal perilaku agama, tetapi juga dalam kesadaran dan sikap terhadap pandemi. Inilah yang menandai lahirnya apa yang oleh para ahli disebut sebagai ‘populisme pandemi’.

Gejala ini tidak hanya berlangsung di dunia Islam, tetapi juga menjadi tren di negara-negara maju dan sekuler. Di Eropa misalnya, perkembangan media populer bahkan telah sedemikian mengontrol persepsi dan perilaku masyarakat dalam menghadapi wabah.

Umumnya, media-media itu begitu gemar menyebarluaskan informasi yang salah dan menipu. Mereka juga mereproduksi secara kreatif teori-teori konspirasi yang dikaitkan dengan wabah. Umumnya terkait dengan isu-isu lama seperti perang senjata biologis, bisnis farmasi, isu pengungsi, pemanasan global, lalu dibumbui dengan imajinasi tentang akhir dunia: Fantasi kiamat.

Di Indonesia, teori-teori konspirasi juga secara kreatif dikemas dan direproduksi sehingga membanjiri media-media populer. Mengaitkan wabah dengan isu lama seperti konspirasi Yahudi menghancurkan Islam, skenario menjauhkan umat Islam dari masjid, pembunuhan sistematis para kiai dan ulama. Dan sekali lagi, semua dengan bumbu imajinasi tentang hari kiamat. Arus ini begitu derasnya, sehingga pelan dan pasti mulai menggeser kepemimpinan dan prakarsa intelektual di sebagian besar komunitas muslim.

Menarik, sebagian alasan mengapa masyarakat tetap melaksanakan tarawih berjamaah juga didikte oleh teori konspirasi sebagaimana digambarkan di atas. Sebagian muslim sangat mengkhawatirkan sepinya masjid sebagai konspirasi Yahudi. Sebaginnya lagi, mengkhawatirkan datangnya tanda-tanda kiamat. Bukan hanya perilaku beragama yang dikontrol oleh fantasi tentang hari kiamat, populisme pandemi secara keseluruhan juga membentuk pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap wabah.

Di balik kesombongan narasi ‘mati di tangan Allah, bukan virus corona,’ ada gejala mengendornya kepemimpinan moral dan intelektual para ulama dan organisasi keagamaan karena masyarakat mulai berkiblat pada media-media populer. Sudah pasti narasi tersebut menggambarkan kekacauan nalar beragama karena dikontrol oleh teori konspirasi.

Baca Juga  Sistem Hukum dan Peran Hukum Tata Negara Perspektif Lawrence M. Friedman

Hal itu sekaligus menandai bahwa, populisme pandemi ternyata telah menjangkiti masyarakat jauh melebihi virus corona itu sendiri. [HM]

Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *