Sukron Makmun Intelektual Muda NU. Pernah tinggal di Azerbaijan

Tips Menjaga Iman Bagi Muslim Minoritas yang Tinggal di Negeri Mayoritas Non-Muslim

2 min read

Minoritas bagi umat Islam bisa berarti seorang Muslim yang tinggal di negeri non-Muslim—seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok, bisa juga bermakna seorang Muslim yang tinggal di negara berpenduduk mayoritas Muslim tetapi tidak menjalankan nilai dan ritual keagamaan secara masif. Ketika seorang Muslim berada di negara seperti ini, ia butuh seni mempertahankan diri dari godaan-godaan, psikologis maupun ideologis.

Seseorang yang berada dalam situasi dan lingkungan seperti itu memiliki dua kemungkinan. Pertama, imannya semakin kuat. Semakin tinggi tekanan, semakin tinggi pula daya untuk bertahan. Kedua, imannya melemah, terpengaruh oleh keadaan dan terseret arus.

Tentu tidak mudah bagi seseorang yang berada dalam posisi minoritas untuk menjalankan ajaran agamanya. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dijaga agar seorang Muslim yang menjadi minoritas bisa bertahan (survive) saat tinggal di negeri dengan mayoritas non-Muslim. Di antaranya sebagai berikut.

Pertama, menjaga salat. Meskipun tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim, kewajiban salat tak bisa ditawar bagi seorang Muslim. Salat adalah sarana memohon pertolongan Allah. Alquran menjelaskan bahwa di antara ciri-ciri orang baik adalah, ketika diberi kekuasaan, ia mengerjakan salat dan menunaikan zakat. Kata Alquran, “… (yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]: 41).

Kedua, menahan diri untuk tidak menganggap buruk praktik keagamaan penduduk lokal. Saat melihat perilaku penduduk lokal yang dianggap bertentangan dengan agama, seorang Muslim minoritas semestinya bisa menahan diri. Tidak kemudian berdakwah atau menceramahi mereka, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, apalagi sampai melakukan tindakan kurang simpatik. Perlu digarisbawahi bahwa dosa dan kemaksiatan seringkali dilakukan karena ketidaktahuan. Al-unfu yunaffiruhu ‘ani al-taallum wa al-‘amal (Shajarah al-Ma’ārif: 199).

Baca Juga  Pentingnya Pasangan Sekufu dalam Al-Qur’an

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kata amr berarti “urusan”, sementara ma’ruf adalah “sesuatu yang sesuai fitrah manusia”, “dianggap lazim”, atau “baik dan wajar”. Sementara kata munkar adalah lawan dari kata ma’ruf.

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ada syarat-syarat tertentu untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Di antaranya adalah kemampuan ekonomi dan posisi sosial. Artinya, kewajiban tersebut sangat bergantung pada sejauh mana seseorang memiliki kekuatan ekonomi dan posisi sosio-politik.

Itulah sebabnya, kenapa Allah mengutus para nabi yang (mayoritas) berasal dari klan atau keluarga terpandang: mā ba’atsa-Allāhu nabiyyan illā min manā’atin min qaumih. Hikmahnya adalah: agar para nabi tidak mengalami kekerasan sosial yang lazimnya menjadi risiko para penyeru kebenaran. Hal tersebut juga bisa dilihat dalam kisah-kisah para rasul. Allah berfirman, “… kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajammu, sedang kamu pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami. Ia menjawab, “Wahai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut kalian dari pada Allah, bahkan Dia kalian abaikan…?” (QS. Hūd: 91-92).

Ketiga, seorang muslim hendaknya memposisikan diri sebagai duta Islam yang merepresentasikan nilai-nilai keislaman. Ia harus ingat bahwa keberadaannya di negeri orang adalah sebentuk kesaksian atas kebenaran Islam.

Keempat, bersikap toleran terhadap sesama manusia. Ingat bahwa toleransi sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi. Tugas seorang Muslim adalah menyampaikan. Tidak ada hak bagi seseorang untuk memaksa orang lain. La ikrāha fī al-dīn. Jika kebaikan dan kebenaran telah disampaikan, maka prinsip lakum dīnukum wa liyya dīn berlaku. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Seorang Muslim tidak boleh menghina agama atau kepercayaan orang lain. Dahulu, beberapa sahabat Rasulullah pernah menghina berhala-berhala yang masih tersimpan di area Masjidil Haram. Lalu turunlah ayat: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. al-An’ām [6]: 108).

Baca Juga  Membaca Toleransi dengan Pendekatan Struktur Gus Dur

Ayat di atas seirama dengan sebuah hadis yang melarang seseorang mengumpat ayah kandungnya. Para sahabat bertanya: “Bagaimana mungkin seseorang mengumpat ayahnya sendiri?” Ya. Bisa, yakni ketika seseorang menghina ayah orang lain, kemudian orang itu membalas umpatan dengan umpatan yang setimpal untuk ayahnya.

Perbedaan adalah sunnatullah sekaligus sarana keseimbangan alam, agar semua saling membutuhkan, agar roda kehidupan tetap berjalan (lihat QS al-Hajj [22]: 40 dan al-Zukhruf [43]: 32).

Di lingkungan yang baik, seseorang akan mudah untuk mengabaikan orang yang berbuat maksiat. Tapi ketika ia berada di lingkungan di mana mayoritas warganya tidak salat, ahli maksiat, ateis dan semacamnya, ceritanya akan berbeda. Sangat sulit baginya untuk bersikap keras dan abai terhadap orang-orang itu, karena mereka mungkin adalah sahabat dekatnya sendiri. Bukan berarti seseorang harus membenarkan kemaksiatan. Bukan. Tapi ini soal realitas: keadaan terkadang mengharuskan orang bersikap lebih longgar dan toleran.

Dalam akidah Aswaja, status keislaman seseorang adalah permanen dan melekat. Meskipun ia melakukan dosa besar, meskipun ia fasik atau munafik, selama yang ia masih mengucap dua shahadat, lā ilāha illa Allāh Muhammad rasūlullāh, maka ia tetaplah seorang Muslim. (AS)

Sukron Makmun Intelektual Muda NU. Pernah tinggal di Azerbaijan

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *