
Sebenarnya ini adalah catatan saat Ndarus masuk hari ke-14. Saya membaca rangkaian rencana Allah dalam proses penciptaan pada Q.S. Al-Hijr: 29. Ayat yang berbunyi
فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْرُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud
Ayat tersebut merupakan semacam maklumat Allah kepada malaikat yang telah diciptakan terlebih dahulu. Yang menarik bagi saya adalah kalimat وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ “Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya”.
Dalam terjemahan Kemenag, kata ruh-Ku diselipi dengan kata ciptaan walaupun bila diartikan secara literal bermakna ruh-Ku. Berarti yang ditiupkan ke manusia adalah ruh Tuhan dong? Di sinilah menariknya.
Rangkaian kalimat ini telah lama menjadi perdebatan para ulama apalagi para teolog dan filosof. Tentu saja dengan menggunakan kata meniupkan/menghembuskan berkonotasi pada pemahaman ala “mutajasim”.
Bagaimana meniupkan bila tidak menggunakan mulut? Di sinilah pemaknaan meniupkan mengundang perdebatan. Apa yang dimaksud meniup dan apa maksud ruh-Ku? Membicarakan ruh, tentu kita sudah diingatkan oleh Allah kalau itu menjadi urusan-Nya. Manusia hanya diberikan sedikit ilmu (Q.S. Al-Isra’: 85).
Kembali lagi ke Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib, kata meniup (نفخ) menurutnya memang berkonotasi memasukkan angin (ke dalam rongga tubuh). Maka dhohir kata ini mengindikasikan bahwa ruh itu (berwujud) angin. Yang jelas bagi Ar-Razi ruh itu esensi (jauhar) tersendiri di samping jiwa (nafs) maupun jasad.
Kemaujudan ruh menurutnya ada karena perintah, komposisi, dan peran Allah dalam memberi manfaat bagi kehidupan jasad. Karenanya ruh itu baru (haditsah) dan bukan qadim. Sehingga, penyandaran ruh Adam (representasi manusia) kepada ruh Tuhan dimaknai Ar-Razi (pun dengan Al-Qurtubi dalam Al-Jami li Ahkamil Qur’an) dalam rangka untuk menghormati dan memuliakan Adam.
Karenanya pula dilanjutkan dengan perintah sujud kepada Adam. Al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani oun ikut menegarkan bahwa kata “meniup” dalam ayat tersebut tidak bisa dimaknai secara hakiki.
Memang hakikat dan substansi (mahiyah) ruh itu sendiri tidak dapat diketahui secara pasti sebagaimana difirmankan Allah. Namun sisi penasaran manusia terus ingin menguliknya. Filosof Muslim seperti Al-Farabi yang dikenal sebagai Mu’allim ats-Tsani (Guru Kedua) setelah Aristoteles pun mencoba membahas tentang kaitan antara Sang Pencipta dengan Cipataan-Nya.
Tuhan yang disebutnya sebagai Wajibul Wujud Lidzatihi (Wujud yang ada dengan dirinya sendiri) adalah sebab pertama bagi segala yang ada yang disebutnya Wajibul Wujud Lighairihi (Wujud yang ada karena lainnya).
Sebagai penerjemah filsafat Aristotelian yang fasih, Al-Farabi menunjukkan bahwa Wajibul Wujud Lighairihi ini bisa saja ada atau juga bisa saja tidak ada. Adanya karena ke-ada-an yang lainnya sebagaimana adanya cahaya karena adanya matahari.
Cahaya disebutnya sebagai wujud yang mumkin (bisa ada atau tidak) yang menjadi bukti adanya Sebab yang Pertama karena segala yang mumkin harus berakhir pada wujud yang nyata dan pertama kali ada.
Walaupun cahaya berasal dari matahari, kita toh tidak serta-merta bisa mengatakan bahwa substansi cahaya adalah substansi matahari. Sama saja dengan saat kita bercermin, kita dapat melihat bayangan kita di cermin tapi kita tidak lantas mengatakan bahwa yang di dalam cermin adalah kita.
Mungkin demikian juga kita bisa memahami ruh Tuhan yang ditiupkan kepada manusia. Atau dengan Teori Faidh (Emanasi) Al-Farabi kita bisa sedikit tercerahkan bagaimana yang fana (dan serba juz’iyyat/parsial) bisa berasal dari yang kekal (dan serba kulliyat/universal). Menurutnya, jiwa memancar dari Akal ke-10 yang disebutnya Wujud ke-11 sementara Tuhan sendiri adalah Wujud Pertama. Proses yang panjang bukan?
Lupakan Emanasi ala Al-Farabi (juga Ibnu Sina) yang bisa njlimet menguraikannya. Tetiba saya teringat dengan penjelasan Prof. KH. Nasarudin Umar tentang substansi ruh yang berdiri sendiri di samping jasad dan jiwa (nafs). Karena, ruh manusia berasal dari ruh Tuhan, maka ruh inilah yang terus menarik JIWA manusia pada kesucian bertauhid dan beribadah kepada Allah.
Sementara jasad perlu pemenuhan-pemenuhan kebutuhan jasmaniah (makan, minum, seks, dsb.) yang bisa diperolehnya dengan cara apapun. Ruh inilah yang bisa mengendalikan jiwa agar proses pemenuhannya benar-benar menjunjung tinggi asma Allah (bismi rabbika). Kita bisa membayangkan komposisinya dimana jiwa berada di tengah sementara di sisi kanan ada ruh dan sisi kiri ada jasad yang saling tarik-menarik.
Kita akan lebih ditarik oleh yang mana? Ruh atau jasad? Belum lagi ditambah dengan godaan dan rayuan lihai dari Syetan. Tantangan yang berat bukan? Di sinilah peran puasa untuk mengembalikan jiwa kita kepada ruh ilahiah. Meminjam istilah Prof. KH. Quraish Shihab, puasa itu melatih manusia untuk meneladani dan meniru sifat-sifat ketuhanan. Mari kita manfaatkan ibadah puasa untuk mengingat keruhaniahan Tuhan yang ada pada diri kita sambil merenungi siapa sejatinya kita. Selamat berpuasa dan wallahu a’lam bish-shawab… (AA)
Aktif di Pesantren for Peace dan Peneliti di CSRC UIN Jakarta