Di tahun 2003, Jamal al-Banna—adik kandung pendiri al-Ikhwān al-Muslimūn, Hasan al-Banna—menulis buku yang berjudul al-Islām Dīn wa Ummah wa Laisa Dīnan wa Dawlatan (Islam Agama dan Umat, Bukan Agama dan Negara). Dalam buku itu, Jamal menolak tesis Islam sebagai agama dan negara. Ia lebih mengorientasikan Islam sebagai agama dan umat.
Basis ummah (manusia) sebagai bagian dari agama inilah yang merekomendasikan demokrasi dalam sistem negara. Ini berarti semua individu mempunyai hak yang sama di hadapan negara, baik yang beragama Islam maupun bukan.
Melalui bukunya, Jamal menyatakan bahwa Islam bukanlah agama dan negara, tetapi agama dan ummah. Keduanya sangat berbeda: jika yang pertama lebih berorientasi politik dan kekuasaan, yang kedua berorientasi kultural dan keumatan. [Jamal al-Banna, al-Islām Dīn wa Ummah wa Laisa Dīnan wa Dawlatan, 113]
Kajian al-Banna atas watak dasar kekuasaan politik—tidak terkecuali kekuasaan politik Islam—menyimpulkan bahwa politik dan kekuasaan negara pada dasarnya hanya mendistorsi agama. Baginya, kekuasaan politik seperti negara, sedikit sekali membawa kemaslahatan agama dibanding kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya.
Ketika masuk ke area politik, agama hanya akan berfungsi sebagai legitimator kekuasaan dan akan bersifat sangat destruktif. Karena itu, Jamal mengusulkan pentingnya penekanan orientasi kultural agama ketimbang orientasi politik dan kekuasaan. [al-Islām Dīn wa Ummah, 113]
Untuk menelusuri argumentasinya, Jamal juga menyuguhkan sumber ummah sebagai basis demokrasi dalam Alquran. Ia berargumentasi bahwa kata ummah dapat dijumpai sebanyak 49 kali dan terangkai dalam berbagai redaksi ayat. [Mu’jam al-Mufahras li Alfāz Alquran, 80-81]
Secara umum, makna yang terkandung di dalamnya adalah manusia, Muslim atau bukan. Di antara kata ummah yang terdapat dalam Alquran adalah sebagai berikut:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (QS. al-Baqarah [2]: 143).
Selain ayat di atas ada beberapa ayat yang dirujuk oleh Jamal al-Banna antara lain: QS. al-Nisā‘ [4]: 41; QS. al-A’rāf [7]: 34; QS. Yūnus [10]: 47; QS. al-Ra’d [13]: 47; QS. Al-Mu’minūn [23]: 52, dan lain-lain.
Selain itu, kata ummah tertera sebanyak dua kali dalam Piagam Madinah, yaitu dalam pasal 2 dan pasal 25. Namun penjelasan mengenai konsep ummah banyak diulas dalam beberapa pasal selanjutnya. Misalnya dalam pasal 2, dikemukakan “Sesungguhnya mereka (penduduk Yathrib) adalah satu ummah yang dihadapkan pada komunitas manusia yang lain”. Pasal 25 juga mengemukakan “Kaum Yahudi Bani ‘Awf bersama dengan warga yang beriman adalah satu ummah”. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, sama-sama memiliki kebebasan untuk memeluk agama masing-masing.
Melalui ayat di atas serta prinsip keselarasan yang tertuang dalam Piagam Madīnah, Jamal mengkategorikan Islam sebagai umat kepada seluruh entitas masyarakat meski berbeda bahasa, suku dan negara. Islam, dengan demikian, menjadi agama pemersatu bagi pemeluknya. Paling tidak, ia menjadi pengikat secara emosional di antara sesama manusia.
Jamal menolak dengan tegas perumusan Islam sebagai agama dan negara karena karakteristik sebuah negara. Indikasi itu muncul karena setiap negara harus menciptakan sistem pemerintahan sebagai simbol kekuasaan. Kekuasaan menjadi titik sentral dari undang-undang negara. Artinya, kekuasaan selalu mendikte para pembangkangnya untuk selalu tunduk.
Hal ini berbeda dengan slogan Islam sebagai ummah: tidak perlu sebuah pemerintahan untuk menakar eksistensi ummah. Ide tentang Islam sebagai agama dan umat bukan agama dan negara disebabkan karena watak negara yang hegemonik. Bagi Jamal, kekuasaan, diakui atau tidak, dapat merusak ideologi. Bagaimanapun juga kekuasaan sanggup mendestruksi semua resistensi yang tidak sesuai dengan kepentingannya. [al-Banna, al-Islām Dīn, 113]
Negara bisa dikatakan eksis jika memiliki kekuatan militer. Dengan demikian, segala tindak-tanduk kebijakan yang diberlakukan oleh pemimpin negara mendapatkan sokongan dari para tentaranya.
Sebaliknya, para pembangkang akan mendapat imbalan setimpal jika mengabaikan sistem perundang-undangan yang berlaku. Tidak ada negara tanpa dukungan dari militer. Jika demikian, apabila Islam diformat dalam bingkai kenegaraan, hal ini akan berdampak pada munculnya oposisi biner dan cara-cara berpikir lain yang bersifat hierarkis-dikotomis. Meminjam istilah Derrida, mendekonstruksi suatu oposisi adalah membalikkan suatu hierarki dan bisa berdampak anarkis.
Dalam pandangan Jamal al-Banna, Islam hadir tanpa membedakan suku, ras, dan jenis kelamin. Semua diciptakan untuk menjadi khalīfah fī al-ard (pemimpin di bumi). Bukti kehadiran Piagam Madinah yang memuat satu kekuatan berupa universalitas ummah wāhidah (umat yang satu) mencantumkan hak dan prosedur menyangkut pemecahan konflik dan tindakan komunitas, baik bagi kaum Muslim (Muhājirīn dan Ansār) maupun non-Muslim.
Pada masa itu, keselarasan dan keamanan di dalam masyarakat Madinah juga bermaksud memberikan satu preseden baik bagi dinamika kehidupan yang positif. Kebebasan menjalankan agama masing-masing mewujud dalam bentuk kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, hak yang sama antara perempuan dan laki-laki, dan sebagainya. Namun, tentu saja, kebebasan berpikir dan berekspresi tidak selamanya memberikan kelonggoran mutlak.
Lantas bagaimana konsep ummah bisa menghadirkan demokrasi dalam sistem pemerintahan? Apakah demokrasi yang didengungkan selama ini dapat diaplikasikan secara proporsional? Jamal meragukan asumsi tersebut karena baginya demokrasi yang selama ini dikenal tidak lebih dari sistem yang dieksploitasi oleh kaum borjuis dan kapitalis. [al-Banna, al-Islām kamā, 138]
Konsep demokrasi belum sanggup menampung prinsip-prinsip kebebasan. Jika sebagian kalangan berpendapat bahwa demokrasi sanggup menampung kebebasan (hurriyah), hal itu dibantah oleh Jamal. Baginya, kebebasan itu berorientasi kepada individu sedangkan demokrasi lebih bersifat praktis. Orientasi keduanya jelas berbeda.
Jika kebebasan (berekspresi) bisa mewujudkan peradaban yang luhur, tidak demikian dengan demokrasi. Demokrasi pada level praktis belum menampung kebebasan itu sendiri. Diakui atau tidak, demokrasi itu sendiri terkadang menjadi milik hak mayoritas yang tak jarang mengabaikan hak minoritas. Ini tidak lain karena keterikatan pelaku demokrasi dengan kekuatan mayoritas bisa seenaknya memasung ide demokrasi itu sendiri, di balik ambisi-ambisi politik. [Jamal al-Banna, Matlabunā al-Awwal Huwa: al-Hurriyyah, 64.]
Menurut Jamal, kebekuan demokrasi di atas harus direalisasikan dengan nilai kebebasan itu sendiri. Karena demokrasi dalam sebuah pemerintahan dapat termanifestasi hanya dengan menempatkan individu masyarakat sebagai basis kekuatannya.
Jika sistem pemerintahan dalam negara-negara Islam ingin memenuhi kategori-kategori di atas, demi terbentuknya dinamika yang positif, maka kesenjangan antarkeragaman agama, suku, dan partai harus mendapatkan pemerataan yang berkeadilan. Setiap bangsa mempunyai karakternya masing-masing. Tidak serta merta upaya mengadopsi sistem negara lain bisa diaplikasikan dalam konteks negara tertentu, sebab segala sesuatu mempunyai ukurannya masing-masing.
Adapun isyarat Alquran mengenai sistem pemerintahan dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Alquran tidak pernah menyebut kata dawlah (negara) sebagai sistem pemerintahan. Penyebutan dawlah dalam Alquran hanya sekali dan maknanya lebih kepada “sirkulasi kekayaan” (tadāwul al-tharwah). Sebagai gantinya, Alquran lebih familiar dengan bahasa ummah ketika harus mengasosiasikan sebuah kekuasaan.
- Kata al-hukm (hukum) dalam Alquran bukan deskripsi politik. Karena hukum merupakan otoritas Tuhan yang di dalamnya terdapat dua pilihan antara mengikuti atau mengabaikan.
- Alquran mengusung shūrā sebagai bagian dari sistem sebuah negara dan menegasi model teokrasi, monarki dan sikap individualis dalam sistem pemerintahan.
- Alquran mengibaratkan bahwa hidup bermewah-mewahan adalah salah satu faktor kemerosotan sebuah negara.
- Alquran melihat bahwa kekuatan sistem perundang-undangan terletak kepada keadilan. Allah berfirman: wa idhā hakamtum bayn al-nās an tahkumū bi al-’adl.
- Keadilan bukan proporsi hukum semata. Lebih dari itu, ia merupakan basis episteme syariah.
Artinya, Islam sebagai agama sangat tidak mungkin dikorelasikan dengan sebuah kekuatan (al-sultah), karena kekuatan tersebut akan selalu mendistorsi dan mengeksploitasi akidah tertentu. Oleh karenanya, ide negara Islam akan sangat kontras dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Jamal, ide yang benar adalah ummah muslimah (masyarakat yang tunduk), di mana ketundukan tersebut akan mengasosiasi keadilan dari prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam sebagai bagian dari hidup bermasyarakat dan bernegara.
Menurut pandangan Jamal al-Banna, dasar-dasar hukum harus diambil dari kemufakatan wakil umat (rakyat) melalui jalur demokrasi. Mereka yang terpilih dalam kepemimpinan tertinggi harus mempraktikkan dasar-dasar Qur’āni sembari senantiasa mendasari perilakunya dengan prinsip-prinsip Alquran.
Jamal melanjutkan bahwa kepentingan Islam selama ini bukanlah mendirikan negara, melainkan memberikan ukuran dan dasar-dasar bagaimana menjadikan sebuah negara adil dan sentosa. Buktinya, tidak ada satu pun indikasi bahwa Alquran maupun Nabi dan dua al-Khulafā‘ al-Rāshidūn pertama mengemukakan tentang perincian dan model ideal sebuah pemerintahan. Yang ada hanya konsepsi shūrā untuk sebuah kebijakan menuju kebaikan dan upaya keluar dari kezaliman. [Jamal al-Banna, al-Islām wa Tahaddiyāt al-‘Asr, 97]
Akhirnya, kekuasaan masyarakat (demokrasi) harus diiringi dengan sistem perundangan-undangan yang konkret dan berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat. Demokrasi tanpa konsistensi sistem perundang-undangan hanya akan memantik anomali serta anarkisme. Oleh karenanya, demokrasi dari basis ummah (shūrā) adalah sistem yang dibangun dari basis soliditas umat dan perundang-undangan.