Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;

Jatim Intoleran, Salah Siapa? (2)

2 min read

Sebelumnya: Jatim Intoleran, Salah Siapa? (1)

Heterokausal

Lebih arif dikatakan bahwa, Jatim bukanlah Provinsi yang kebal akan arus diskriminasi dan intoleransi yang terus mewarnai kehidupan berbangsa. Jatim adalah miniatur yang sempurna dari Indonesia—negara yang tengah dalam perjuangan mengeliminasi praktik-praktik diskriminasi dan intoleransi, untuk tidak menyebutnya sebagai negara intoleran. Berbagai praktik intoleransi dan diskriminasi dengan mudah ditemukan di Jatim karena berbagai faktor yang melingkupinya.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, sudah bisa dipastikan bahwa tingginya angka pelanggaran terkait langsung dengan aspek struktural. Dalam konteks ini adalah negara sebagai pemangku kewajiban (Negapa Pihak) yang harusnya mengemban kewajiban untuk melindungi hak-hak dasar individu/kelompok agama, tidak menjalankannya tugasnya dengan baik. Lemahnya komitmen dalam melindungi berbagai kelompok yang sangat beragam, dianggap sebagai faktor hulu yang menjadikan corak kehidupan beragama/berkeyakinan terus diwarnai oleh tindakan diskriminasi dan intoleransi.

Dalam kasus Jatim, berbagai produk hukum yang secara sengaja melembagakan diskriminasi juga bisa dianggap sebagai peran aktif negara dalam menjaga kultur masyarakat yang mudah dipicu untuk bersikap dan bertindak intoleran. Sejauh Pegub No. 55 tahun 2012 dan Pergub No. 188/94/KPTS/013/2011 masih diberlakukan, ini sekaligus berarti bahwa tindakan intoleran terhadap kelompok-kelompok minoritas agama/keyakinan—bukan hanya Ahmadiyah dan Syiah—selalu mendapatkan pembenaran etisnya.

Pembenaran etis tersebut dalam kadar tertentu juga ikut menyumbang kokohnya ‘mayoritarianisme’. Istilah ini saya gunakan untuk melihat relasi keagamaan yang sepenuhnya dikontrol oleh norma dan selera kelompok mayoritas. Menarik dicermati, Laporan Setara Institute menyebut bahwa dalam berbagai kategori intoleransi di Jatim, Nahdlatul Ulama (NU) disebut-sebut sebagai aktor penting yang menyebabkan pelanggaran dalam kategori penolakan ceramah agama dan penyesatan.

Inilah yang saya sebut sebagai gejala mayoritarianisme. Norma-norma yang dilembagakan oleh kelompok mayoritas, bisa menjadi pisau bermata dua bagi kehidupan toleransi. Kita semua tidak akan menyangkal bahwa NU adalah salah satu organisasi yang paling moderat dan paling toleran di Indonesia, akan tetapi dalam relasi dengan kelompok-kelompok di internal Islam—terutama mereka yang diidentifikasi sebagai kelompok radikal dan esktremis, NU bisa tergoda untuk menggunakan kekuatan mayoritasnya dalam membatasi dan menghalangi hak-hak dasar kelompok lain.

Baca Juga  Tugas Kekhalifahan Manusia dan Ketaatan terhadap Karantina

Gejala yang sama bisa ditemukan dalam semua kelompok keagamaan manapun. Atas nama mayoritas, setiap kelompok keagamaan berpotensi tergoda menerapkan norma mayoritarianisme berlaku bagi kelompok-kelompok lain.

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam menyumbang tingginya angka toleransi di Jatim, adalah lemahnya gerakan masyarakat sipil (civil society) yang mampu menjaga marwahnya dalam mengawal kehidupan toleransi. Ini tentu paradoks dengan situasi umum di Jatim yang diwarnai oleh kegairahan dalam merayakan isu kebhinnekaan.

Harus diakui, sejak satu dekade terakhir, Jatim diwarnai oleh lahirnya beragam aliansi masyarakat sipil yang mengusung isu keberagamaan. Untuk menyebut beberapa diantara mereka, Roemah Bhinneka (RB), Beda Tapi Mesra (BM), Indonesia Merayakan Perbedaan (IMP), Jatim Forum, dan sebagainya.

Inilah aliansi masyarakat sipil yang telah menggantikan peran CSO sejak sepuluh tahun terakhir, tetapi sayangnya arah gerakan aliansi-aliansi ini masih sebatas pada perayaan kebhinnekaan secara formal, dan sedikit sekali menyisakan sumber daya untuk mengawal isu-isu intoleransi yang tampak di depan mata.

Semua aliansi tersebut mewarnai kehidupan keberagamaan dan keberagaman di Jatim, akan tetapi tidak banyak diantara mereka yang benar-benar memiliki perhatian untuk melakukan kerja-kerja advokasi terhadap kelompok-kelompok rentan yang terus menjadi sasaran kebencian dan tindakan intoleransi.

Itulah alasan mengapa secara umum mayoritas gerakan sosial lebih memilih melupakan isu-isu krusial seperti koersi yang dialami oleh Jamaah Syiah, penutupan tempat ibadah terhadap sejumlah Gereja, Pura, dan Sanggar milik Penghayat Kepercayaan. Ada gejala yang sangat kuat, arah gerakan kebhinnekaan sebagaimana dikawal oleh aliansi-aliansi tersebut memang sebatas perayaan formal.

Semua aspek di atas, memberi sumbangan yang sama besarnya bagi grafik toleransi/intoleransi di Jatim. Problem struktural menyumbang kontribusi sama besarnya dan problem mayoritarianisme dan tumpulnya gerakan masyarakat sipil. Selesai… [AA]

Akhol Firdaus Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;