Ada fenomena menarik jika kita mengamati respons masyarakat terhadap kebijakan social dan physical distancing yang diambil pemerintah guna memutus mata rantai penyebaran virus Korona. Banyak orang bersikap sama sekali tidak peduli. Life goes on as usual (hidup berlangsung seperti biasa). Mereka tidak peduli dengan apa yang sedang dan akan terjadi. Bahkan, banyak juga yang dengan pongah mengatakan tidak takut terinfeksi.
Padahal, ancaman Covid-19 yang kita hadapi saat ini sangat mengerikan. Setidaknya, jika kita perbandingkan dengan pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada 1918. Pada saat itu, tidak kurang dari lima ratus juta orang di seluruh dunia meninggal. Padahal saat itu mobilitas manusia tidak terlalu tinggi karena teknologi transportasi yang masih tradisional.
Di berbagai negara, kebijakan karantina rupanya tidak efektif karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk mematuhinya. Misalnya, di Italia sekalipun national lockdown telah dilakukan, namun jumlah korban terus bertambah karena banyak masyarakat yang enggan mematuhinya. Di Inggris, masyarakat merasa tertekan dengan kebijankan pemerintah untuk menutup fasilitas-fasilitas umum semisal taman kota.
Di Iran pun demikian, masyarakatnya masih saja bepergian di akhir pekan untuk berekreasi, meskipun pemerintah sudah menganjurkan untuk menjaga jarak di tengah semakin merebaknya penderita Covid-19. Sementara itu, kita di sini masih sering menyaksikan acara-acara yang melibatkan kerumunan, seperti, pernikahan, pengajian, maupun acara-acara sosial lain.
Agaknya, faktor tersulit dalam melawan pandemi sejak dulu adalah kebandelan masyarakat. Saat Flu Spanyol terjadi, seluruh otoritas pemerintahan di negara-negara yang terdampak menerapkan kebijakan penjarakan (distancing). Misalnya, Philadelphia, Amerika, salah satu tempat yang juga terpapar Flu Spanyol menerapkan kebijakan melarang semua acara yang melibatkan orang banyak.
Seperti yang kita temui saat ini, orang-orang saat itu juga enggan mematuhi kebijakan penjarakan ini. Masyarakat masih ingin terus melanjutkan berbagai kalender sosial yang setiap tahun mereka lakukan. Apa yang terjadi selanjutnya? Tidak kurang dari 10.000 nyawan melayang setelah mengikuti acara Karnaval Tahunan di tengah pandemi itu.
Di sini, yang perlu menjadi perhatian serius adalah kedisiplinan masyarakat. Mengapa banyak kalangan yang tidak mampu menahan diri untuk sekedar tinggal di dalam rumah sementara waktu, padahal itu untuk kesalamatannya? Jawabannya mungkin akan macam-macam. Kemungkinan pertama adalah apa yang biasa disebut dengan istilah fenomena “the forbidden fruit” (pohon terlarang).
Fenomena “the forbidden fruit” merujuk pada kisah Adam dan Hawa saat dilarang Tuhan untuk tidak mendekati sebuah pohon. Karena dilarang, mereka malah tergoda untuk mendekati, bahkan memakannya.
Analogi kepada “the forbidden fruit” bisa menjelaskan tentang ke-ngeyel-an masyarakat terhadap kebijakan penjarakan. Dalam kondisi normal, masyarakat mungkin akan dengan senang hati atau malah mencuri-curi kesempatan untuk sekedar tinggal dirumah dari pada harus datang ke kantor. Tapi ketika “tinggal di rumah” itu diperintah, mereka justru “tergoda” untuk melanggarnya.
Mereka justru keluar rumah dan bahkan ke kantor. ‘Kenikmatan’ kerja online yang banyak didambakan orang, tiba-tiba seperti siksaan ketika WFH (Work from Home) menjadi sebuah perintah. Situasinya kemudian menjadi terbalik. Covid-19 tidak lagi dirasa sebagai penyakit yang mengancam, tapi kebijakan “tinggal di rumah” adalah penyakitnya yang harus diobati dengan cara melanggarnya.
Kemungkinan kedua adalah karena alasan kebutuhan primer hidup yang belum terpenuhi. Masih banyak masyarakat Indonesia yang untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya disandarkan pada hasil kerja harian. Anjuran “tinggal di rumah” tidak relevan bagi mereka. Salah satu naluri dasar manusia adalah bertahan hidup, yang oleh Sigmund Freud disebut dengan eros. Naluri ini akan mengalahkan ketakutan pada apapun.
Kemungkinan ketiga adalah pemahaman agama. Seringkali kita menemukan adanya acara-acara kerumunan yang mengatasnamakan agama. Bagi banyak orang, agama masih dianggap sebagai standar tertinggi dalam berkehidupan. Ketika pemahaman agama tidak menjadikan keselamatan sosial sebagai prioritas, maka berbagai ritual keagamaan yang melibatkan banyak orang akan tetap berjalan tanpa menghiraukan bahwa hal itu akan melipatgandakan jumlah korban virus Korona.
Bagi orang-orang tertentu, kebandelan ini seringkali dibungkus dengan alasan tawakkal, bahwa hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini, mereka harus sadar bahwa berusaha untuk hidup dengan sehat adalah juga sebentuk ketaatan dalam beragama. Bahkan kalau ada orang yang karena alasan tawakkal kepada Tuhan lalu bergaya hidup sembrono di tengah pandemi, mereka juga harus sadar bahwa adalah sebuah dosa untuk menyebabkan kecelakaan orang lain karena tertular penyakit darinya.
Kemungkinan terakhir adalah sentimen politik. Kemungkinan ini terkait dengan polarisasi politik pasca-Pilpres yang di banyak kalangan belum selesai. Polarisasi politik ini sebegitu dalam sehingga tidak sedikit kelompok masyarakat yang meluapkan ketidaksukaannya ke dalam perilaku-perilaku “negatif” terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh lawan politiknya.
Terlepas dari berbagai kemungkinan mengapa kesadaran masyarakat begitu rendah, yang perlu kita sadari adalah bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. Manusia diangkat Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi yang tugasnya adalah untuk membuat kebaikan, bukan melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan kehancuran kehidupan.
Dalam konteks kewajiban kita sebagai khalifah inilah seharusnya ketaatan terhadap kebijakan pemutusan mata rantai penyebaran virus Korona, apapun wujud kebijakan itu, harus diletakkan. Kebijakan penjarakan adalah bagian dari upaya kita memenuhi tugas kekhalifahan kita untuk mempertahankan kehidupan dan memakmurkan semesta. [AZH, MZ]