Ini kisah tentang konsistensi dan kesinambungan gerakan anak-anak muda dalam mendorong dialog lintas agama dan kepercayaan. Tahun 2010, sejumlah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN SATU) Tulungagung—kala itu masih bernama STAIN—membuat rintisan forum lintas agama. Untuk ukuran kota kecil seperti Tulungagung, dialog lintas agama/kepercayaan adalah hal yang benar-benar baru bagi masyarakatnya.
Kisah tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinan terkait adanya sejumlah rumah ibadah yang tidak bisa berdiri di Tulungagung dikarenakan arus intoleransi yang sedang menjadi tren di berbagai wilayah di Indonesia.
Kumpulan mahasiswa itu tidak banyak. Mereka umumnya adalah mahasiswa semester akhir di Jurusan Ushuluddin. Segelintir mahasiswa itu memimpikan suatu tata kehidupan keagamaan yang bebas dari intoleransi.
Di antara segelintir mahasiswa itu, ada sejumlah nama yang hingga kini masih melakukan kerja-kerja organisasi. Sebut misalnya Mukhossis, Nadhil Firdaus, dan Khoirul Fata. Selain aktif terlibat dalam gerakan kebhinnekaan, mereka juga tak kenal lelah membersamai kelompok agama minoritas yang sedang menghadapi problem pendirian rumah ibadah. Salah satu yang paling panjang periode pengurusan izinnya adalah pura milik Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di wilayah Wajak, Tulungagung.
Kembali pada tahun 2010, ketika pertama kali sejumlah mahasiswa—yang menyebut diri sebagai Pemuda Bonorowo—menggelar Dialog Lintas Agama dan Kepercayaan. Seperti sudah bisa diduga, kegiataan yang seperti diinisiasi oleh Pemuda Bonorowo, kala itu bakal mendapat reaksi keras dari mayoritas orang yang terdampak arus intoleransi.
Tak ayal, sebelum acara benar-benar terlaksana, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tulungagung, kala itu, mengeluarkan maklumat agar kegiatan Dialog Lintas Agama dan Kepercayaan tidak jadi digelar. Bahkan, MUI pun meminta agar pihak STAIN menghentikan inisiatif sejumlah mahasiswa tersebut.
Mantan Rektor UIN Tulungagung, Prof. Maftukhin, dalam berbagai kesempatan, membenarkan berita bahwa MUI secara resmi meminta kampus untuk menghentikan kegiatan Dialog Lintas Agama dan Kepercayaan.
Meski begitu, dengan berbagai negosiasi dan penjelasan, akhirnya kegiatan tetap berjalan dengan catatan bahwa mahasiswa tidak lagi menggelar kegiatan serupa di masa mendatang. Bagi Pemuda Bonorowo sendiri, momen ini justru menjadi pelecut dirinya untuk semakin membuka diri dengan berbagai problem intoleransi di Tulungagung, dan sekaligus membuka ruang komunikasi yang lebih intensif dengan komunitas lintas agama.
Pendek kata, para mahasiswa itu tidak bisa digertak apalagi dihentikan. Gerakan mereka bersama dengan para tokoh agama/kepercayaan, terutama kalangan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan tentu saja organisasi-organisasi Penghayat Kepercayaan. Selain menghidupi forum-forum dialog, para mahasiswa juga terlibat aktif dalam ragam gerakan kebudayaan bersama para tokoh-tokoh organisasi keagamaan tersebut.
Pada tahun 2011-2013, para mahasiswa sangat aktif menyokong hajatan tahunan Upacara Buceng Robyong yang digelar setiap bulan Suro di lereng Gunung Wilis bersama dengan komunitas Hindu dan Penghayat Kepercayaan. Sebenarnya, di sela-sela kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut, misi utama Pemuda Bonorowo justru membersamai warga Hindu yang mengalami hambatan pendirian pura sejak tahun 2005.
Sejumlah mahasiswa itu telah menjadi teman yang paling setia bagi warga Hindu dalam mengarungi periode sulit proses-proses hambatan administratif dan penolakan yang datang dari warga terkait pendirian pura.
Bersama dengan Bopo Kasah Subroto, tokoh PHDI Tulungagung, Pemuda Bonorowo juga membantu inisiatif untuk menggalang gerakan konservasi Gunung Budeg (kawasan karst di wilayah selatan Tulungagung). Alih-alih melakukan gerakan advokasi yang heroik, yang dilakukan mahasiswa justru lebih banyak membersamai para penyintas.
Bisa dibayangkan, mulai tahun 2000 komunitas Hindu telah menggalang dana mandiri untuk bisa memiliki pura kabupaten. Setelah dana terkumpul dan mampu membeli tanah pada 2005, mereka dihambat problem perizinan dan bahkan diintimidasi oleh kelompok-kelompok tak dikenal yang menghentikan proses pembangunan.
Bertahun-tahun mereka memperjuangkan haknya, tetapi semua jalan administratif tidaklah mendukung. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tulungagung, saat itu, sama sekali tidak memberi dukungan dan tidak memberi rekomendasi untuk pendirian.
Di tengah-tengah rasa frustasi itu, warga Hindu lebih banyak mengalihkan keprihatinannya dalam kegiatan pelestarian budaya dan gerakan konservasi, dan di posisi inilah semua mahasiswa yang terlibat dalam Pemuda Bonorowo memainkan perannya—membersamai tanpa pamrih dan menjadikan urusan konservasi sebagai gerakan bersama. Hanya melalui kegiatan konservasi inilah rasa frustasi warga Hindu bisa terobati.
Pada tahun 2015, ketika Gusdurian Nasional menguat dan mengembangkan jaringan di berbagai daerah, Pemuda Bonorowo menyambutnya. Organisasi Tanpa Bentuk itu lalu meleburkan dirinya dalam jaringan Gusdurian. Untuk melestarikan identitas lamanya, anak-anak muda itu lalu menyebut dirinya sebagai Gusdurian Bonorowo.
Sejak tahun itu, gerakan pendampingan yang dilakukan oleh mahasiswa telah menggunakan baju baru, yakni Gusdurian Bonorowo. Forum-forum lintas agama/kepercayaan tetap digairahkan, dan upaya membersamai para penyintas juga terus dilakukan.
Setiap tahun, digelar Haul Gus Dur yang degupnya untuk terus mengingatkan semua kelompok agama dan kepercayaan, untuk mewujudkan tata kehidupan keagamaan yang toleran dan bebas diskriminasi.
Saking leburnya hubungan di antara mahasiswa dan kelompok-kelompok agama minoritas seperti PHDI, GKJW, dan kalangan Penghayat Kepercayaan, kelompok-kelompok tersebut juga tanpa ragu-ragu ikut lebur dan mendaku diri sebagai bagian dari jaringan Gusdurian. Bopo Kasah Subroto, misalnya, dalam berbagai forum dan hajatan bersama, selalu menggunakan identitas Gusdurian tanpa canggung.
Proses kebersamaan tanpa syarat itu, akhirnya membawa gerakan ini pada momen di luar dugaan. Setelah menunggu 17 tahun lamanya, pada tahun 2022, ketika kepengurusan FKUB Kabupaten Tulungagung berganti dan PHDI mengajukan kembali izin pendirian pura di kawasan Wajak, proses itu telah dimuluskan, dan izin pendirian pura dikeluarkan oleh Pemkab Tulungagung, salah satunya karena rekomendasi yang diberikan oleh FKUB.
Tak ada yang sia-sia dalam perjuangan jatuh bangun dalam mendapatkan hak untuk memiliki rumah ibadah sendiri bagi warga Hindu. Begitu juga, tak ada yang sia-sia dari gerakan sosial yang dirintis dan dikawal oleh anak-anak muda, terutama bila itu diniatkan untuk mewujudkan tata keagaman yang lebih moderat dan toleran. [AR]