Di saat pandemi Covid-19 ini, saya memang jarang keluar rumah. Ya karena kita tidak tahu siapa saja orang yang terpapar virus. Akan tetapi, pagi itu saya memaksakan diri untuk keluar rumah lantaran ada keperluan mendesak.
Sudah jatuh tertimpa tangga, itulah pepatah yang sepertinya pantas disematkan atas apa yang saya alami. Sudah memaksaan diri untuk keluar rumah, terjebak macet pula. Saya juga tidak tau mengapa, masih pagi kok sudah macet saja.
Setelah saya amati, ternyata kemacetan terserbut disebabkan oleh sebagian orang yang tidak mematuhi rambu-rambu traffic light.
Di perjalanan yang super singkat ini, terasa seperti semakin banyak pelajaran baru yang saya dapatkan. Lantaran, ketika tidak terburu-buru saya biasanya terlalu santai dan berangan-angan tentang masa depan sembari menaiki sepeda motor hitam yang warnanya sudah berubah menjadi abu-abu, karena menebalnya tempelan debu polusi yang hinggap disitu.
Saat di perjalanan menuju kampus, saya melihat banyak sekali embel-embel keislaman yang dicantumkan pada beberapa toko, bank, makanan, bahkan toko baju pun ada label keislamannya. Embel-embel keislaman itu tidak lain adalah seperti label halal, syariah, Islamic product.
Dan, menariknya ada sebuah warung makan yang tidak menggunakan labelisasi halal terlihat sangat sepi. Padahal, jika dilihat dari sisi ekonomis dan higienis makanan yang dijual, sangat jauh lebih baik daripada warung makan yang ada labelisasi halalnya.
Saya teringat dengan ungkapan dosen pada saat menjelaskan di kelas. Bahwa, yang tertarik untuk membeli produk berlabel syariah tidak hanya muslim. Namun, para non-Muslim juga sangat tertarik dengan adanya produk yang berlabelisasi syariah.
Masih menurut dosen saya tadi, sebenarnya labelisasi halal itu hanya digunakan untuk menarik minat pelanggan. Secara keseluruhan tidak mmenjamin kualitas produk yang dijual. Namun, faktnya saat ini sebagian besar pengusaha baik muslim maupun non-muslim berbondong-bondong memberi label syariah pada barang dagangannya.
Teman saya yang berasal dari Lombok pernah bercerita, bahwasanya di daerahnya ada sebagian warung makan dan juga beberapa cafe milik non-muslim yang merenovasi kedainya dengan embel-embel syariah.
Dulu di kedai itu terlukis doodle seekor babi. Dari segi rasa makanan sangat enak, akan tetapi kedai itu sangat sepi. Lantas, oleh pemilik kedai lukisan itu diganti dengan lukisan sapi dan ia juga mengganti dresscode pelayananya dengan mengenakan jilbab bagi pelayan perempuan. Alhasil, kedai tersebut beberapa minggu setelah itu mulai ramai dipadati pembeli.
Dari fenomena ini, saya melihat bahwa banyak dari kita yang masih tertipu oleh tampilan luarnya saja. tidak terkecuali dalam hal labelisasi halal atau syariah yang digunakan oleh para pengusaha atau produsen sebagai strategi marketingnya.
Kita lebih mementingkan label atau cover dalam memilah suatu produk padahal label tersebut belum tentu menjamin kualitas produk tersebut.
Akhirnya, dalam membeli dan mengkonsumsi sesuatu seharusnya kita bisa lebih jeli dan teliti. Tidak melulu terpengaruh oleh iklan dan strategi marketing lainnya yang digunakan oleh produsen. Sehingga, kita bisa benar-benar membeli produk yang kualitas–atau kehalalannya–sesuai yang kita harapkan. [AA]