Merasakan dua kali puasa di Belanda dengan suasana berbeda merupakan pengalaman yang istimewa. Betapa tidak, puasa tahun ini mesti dijalani dalam suasana yang tidak biasa di tengah pandemi Covid-19.
Ramadan tahun lalu, saya masih bisa beraktivitas seperti biasa, baik di rumah maupun di luar rumah, termasuk buka puasa bersama komunitas Muslim di Belanda. Cara paling praktis untuk merasakan suasana Ramadan bersama komunitas Muslim di Belanda adalah dengan mengunjungi masjid di sekitar yang didominasi oleh masjid milik komunitas Muslim Turki dan Maroko. Di sana kita bisa menikmati ngabuburit ala Muslim Belanda yang diawali dengan ramah tamah diikuti dengan taushiyah, buka bersama dan shalat Maghrib berjamaah.
Salah satu masjid yang pernah saya kunjungi Ramadan tahun lalu adalah Eyup Sultan Mosque yang terletak di kota Nijmegen di mana saya tinggal. Tentu saja serba-serbi Ramadan di sini jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Tidak ada kolak atau es buah yang biasanya lazim disediakan sebagai pelengkap sajian berbuka, namun kehangatan suasana berkumpul bersama komunitas Muslim dari negara-negara lain mampu mengobati rasa rindu akan suasana Ramadan di tanah air.
Berbeda dengan Ramadan tahun lalu, pandemi Covid-19 saat ini mengharuskan saya menjalani dan menikmati suasana puasa di rumah karena aturan pembatasan untuk beraktivitas di luar rumah dari pemerintah Belanda. Merespon kebijakan ini, Radboud University di mana saya belajar juga membatasi akses ke beberapa fasilitas kampus sehingga praktis mulai hari pertama Ramadan hingga hari ini saya tidak keluar rumah kecuali untuk belanja kebutuhan pokok seminggu sekali. Selebihnya saya dan keluarga mengikuti anjuran pemerintah Belanda untuk tinggal di rumah (stay at home) dan bekerja dari rumah (work from home).
Dihadapkan pada situasi semacam ini, setelah mengadakan rapat online dengan beberapa pengurus PCI NU Belanda untuk membahas agenda Ramadan, muncul gagasan untuk mengadakan kegiatan kajian tematik online yang akan diisi oleh para mahasiswa yang saat ini sedang menempuh studi di berbagai kampus di Belanda. Sehari setelah rapat muncul ide untuk mengadakan pengajian kitab online. Gagasan ini muncul karena PCI NU Belanda adalah organisasi di bawah PBNU yang sejarah pendirian dan perjalanan kiprahnya tidak bisa dilepaskan dari pondok pesantren. Salah satu tradisi di pondok pesantren selama bulan Ramadan adalah mengadakan khataman kitab kuning atau khatmil kutub dari berbagai bidang keilmuan misalnya tafsir, hadits, fiqih, aqidah, tasawuf dan sebagainya.
Berangkat dari pemikiran ini dan mempertimbangkan situasi dan kondisi pandemi yang tidak memungkinkan untuk mengadakan kegiatan Ramadan di luar rumah, maka PCI NU Belanda menyepakati pelaksanaan dua khatmil kutub dan beberapa kajian tematik mingguan. Adapun kitab yang dikaji adalah kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Al-Zuhaili dan kitab Al-Mar’ah baina al-Sharī’ah wa al-Hayāh karya Syekh Muhammad Al-Habsy.
Kitab yang pertama dibaca oleh KH. Nur Hasyim Subadi, rais syuriah PCI NU Belanda di masjid Al-Hikmah Den Haag yang menjadi pusat kegiatan warga Nahdliyyin Belanda. Sementara kitab kedua dibaca oleh Hj. Zaimatus Sa’diyah, wakil bendahara PCI NU Belanda. Mau tidak mau saya harus menjadi admin pengajian kedua ini karena dilaksanakan di rumah. Maka jadilah saya admin pengajian daring dadakan.
Masalah muncul saat saya menyadari bahwa saya tidak memiliki peralatan yang memadai untuk mengambil video pengajian daring ini. Semua perlengkapan ada di masjid Al-Hikmah Den Haag dan tidak mungkin memboyongnya ke Nijmegen karena berbagai pertimbangan. Dengan segala keterbatasan dan semangat ala santri saya bertekad bahwa the show must go on.
Dengan berbekal fasilitas seadanya berupa laptop, akhirnya pengajian daring bisa dilaksanakan. Hari pertama dan kedua pengajian hanya berhasil dilaksanakan via platform zoom karena terjadi masalah teknis pada laptop. Hari ketiga dan keempat pengajian berhasil dilaksanakan via zoom dan youtube akan tetapi muncul permasalahan lain yaitu kualitas video yang kurang bagus sehingga harus mengganti dengan laptop lain yang memiliki resolusi video lebih tinggi.
Masalah lainnya adalah terlalu dekatnya posisi laptop dengan wajah narasumber meskipun laptop sudah diletakkan di ujung meja. Setelah memutar otak akhirnya saya menemukan ide untuk menggunakan meja setrika sebagai dudukan laptop. Cara ini terbilang cukup berhasil sehingga meja setrika tetap digunakan sampai berakhirnya pengajian daring tanggal 21 Ramadan.
Dari segi metode penyajian, pengajian kitab ini agak berbeda dengan pengajian yang dilaksanakan di kebanyakan pesantren yang menggunakan metode bandongan, yakni dengan cara membaca dan menerjemahkan kata per kata. Kelebihan metode ini memudahkan santri untuk mencerna tidak hanya substansi tapi juga arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat dalam kitab kuning yang dibaca. Akan tetapi metode ini dianggap kurang tepat jika diaplikasikan dalam pengajian daring NU Belanda mengingat mayoritas jamaahnya adalah diaspora dan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di berbagai kampus di Belanda yang tidak semuanya memiliki basis pesantren. Oleh sebab itu metode gabungan mengaji kitab ala pesantren dan pembelajaran di perguruan tinggi dijadikan pilihan agar memungkinkan terjadinya proses dialogis dan pengembangan nalar kritis dalam kajian kitab.
Di luar dugaan, ternyata respon jamaah cukup bagus terhadap diadakannya pengajian ini, terbukti dengan meningkatnya jumlah subscriber youtube NU Belanda dan banyaknya audiens yang menyaksikan kembali video pengajian ini di channel tersebut. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari para peserta di akhir sesi pengajian cukup membuat pengajian ini aktif dan dinamis. Melihat respon yang bagus ini maka disepakati untuk menjadikan kajian Fiqih Wanita ini sebagai program rutin PCI NU Belanda dan akan dilanjutkan kembali setelah Idul Fitri.
Usulan untuk melanjutkan kajian Fiqih Wanita ini karena substansi dan pesan yang disampaikan dalam pengajian dianggap mewakili nilai-nilai wasathiyah (moderat) yang selama ini diperjuangkan oleh NU. Sebenarnya hal ini tidak mengejutkan karena kitab yang ditulis oleh ulama asal Syuriah ini mencoba membaca problematika perempuan melalui pendekatan historis dan perspektif egaliter.
Melalui kitab ini pembaca diajak untuk mengenali pluralitas pandangan hukum Islam mulai dari yang konservatif hingga yang progresif terkait isu-isu kontemporer yang dihadapi perempuan, sehingga diharapkan muncul sikap toleransi dan saling menghargai. Ini berbeda dengan sebagian besar kitab yang membahas tentang isu-isu perempuan yang cenderung bias gender dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Poin inilah yang menarik dan dianggap mampu menjawab tantangan Muslim minoritas di negeri Kincir Angin dan Benua Biru agar tidak lagi gamang menjalankan syariat Islam dengan melakukan adaptasi yang proporsional atas kondisi sosial dan budaya setempat.
Di Indonesia, kitab ini juga pernah dibaca oleh KH. Husein Muhammad, seorang ulama yang concern pada isu-isu kesetaraan gender.
Meski pengajian/kajian Fiqih Wanita ini sudah selesai, namun satu hal yang menjadi catatan adalah bagaimana forum ini bisa diakses oleh lebih banyak lagi masyarakat Muslim di Belanda. Beberapa strategi telah didiskusikan di antaranya adalah rencana pembuatan video-video pendek dengan pesan dakwah Islam wasathiyah (moderat) yang mudah dicerna oleh audiens serta dilengkapi dengan subtitle bahasa Belanda. Tentu saja ini merupakan pekerjaan rumah yang menantang dan butuh keseriusan untuk menggarapnya. Beruntung, salah satu pengurus PCI NU Belanda ada yang mahir berbahasa Belanda dan siap melakukan pekerjaan ini demi keberlangsungan dakwah Islam yang ramah di negeri Kincir Angin.
Salah satu hikmah terjadinya pandemi Covid-19 adalah munculnya inovasi-inovasi baru tak terkecuali dalam aspek literasi keislaman berupa fenomena menjamurnya pengajian-pengajian daring, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain termasuk Belanda, tentu saja dengan distingsi dan keunikannya masing-masing baik dalam metode maupun kecenderungan audiensnya. Pandemi Covid-19 telah menjadikan tradisi khatmil kutub ala pesantren sebagai produk baru yang disajikan di supermarket kajian online.
Kita mesti melihat fenomena ini dengan kacamata positif karena dengan pengajian daring ini model kajian kitab ala pesantren yang selama ini hanya diakses secara terbatas oleh para santri di pesantren kini bisa dikenal dan diakses secara lebih luas oleh khalayak umum baik dari dalam maupun luar negeri. Saya melihat kecenderungan pengajian daring ini akan menjadi tren di tahun-tahun mendatang meskipun pandemi sudah berlalu.
Pandemi Covid-19 diprediksi akan mengubah pola interaksi manusia sehingga intensitas pertemuan secara fisik akan berkurang. Selain itu, perubahan zaman menuju era serba digital yang memungkinkan para pembelajar mengakses materi keislaman dari perangkat elektronik mereka tanpa harus meninggalkan tempat. Oleh sebab itu, tantangan yang perlu segera dijawab adalah bagaimana mengemas materi dakwah Islam dengan tampilan yang semenarik mungkin agar layak untuk dipajang di rak supermarket pengajian daring, tanpa meninggalkan nilai lebih pesantren yang mengedepankan sanad keilmuan dalam produk-produk dakwahnya. []