Ahmadi Fathurrohman Dardiri Pengajar Tafsir di Fakultas Syariah IAIN Surakarta.

[Resensi Buku]: Tafsir Maqasidi, Puncak dari Segala Jenis Tafsir?

3 min read

Judul: Metode Tafsir Maqasidi: Memahami Pendekatan Baru Penafsiran Al-Qur’an
Penulis: Dr. Wasfi Asyur Abu Zayd
Penerjemah: Dr. Ulya Fikriyati
Penerbit: PT Qaf Media Kreativa, Jakarta Selatan
Cetakan: Pertama, Maret 2020
Tebal: 242 halaman

Sulit bagi saya melupakan buku, Yang Hilang dari Kita: Akhlak, karya Prof. M. Quraish Shihab. Buku tersebut mengutarakan banyak hal tentang diri kita yang kehilangan orientasi kehidupan utama, yaitu akhlak. Tak peduli betapapun tinggi kedudukan manusia secara keilmuan dan sosial, kemuliaan akhlak menjadi muaranya. Alasannya sederhana, “Bukankah Rasulullah Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak?”

Apa yang relevan dari kehilangan kita atas akhlak, jika direfleksikan ke dalam kajian al-Qur’an adalah kaburnya visi penafsiran. Banyak metode tafsir lahir dari beragam perspektif keilmuan dan sudut pandang, namun tidak banyak yang menawarkan gagasan utuh dan lengkap seperti tafsir maqasidi, sekalipun masih berlabel ‘pandangan awal’ (ru’yah ta’sisiyyah). Meski sama otentiknya dengan metode tafsir tematik (al-mawdu’iy) yang digagas ‘Abd al-Hayy al-Farmawi (1977), tafsir maqasidi bisa dibilang sedikit lebih unggul, terutama dari sisi titik pijak dan visinya.

Buku berjudul Nahwa al-Tafsir al-Maqashidy li al-Qur’an al-Karim: Ru’yah Ta’sisiyyah li Manhaj Jadid fi Tafsir al-Qur’an, karya Wasfi ‘Asyur Abu Zayd ini menawarkan visi penafsiran yang komprehensif. penulisnya sendiri mengklaim bahwa posisinya lebih krusial dibanding maqasid al-syari’ah.

Menurut Abu Zayd, pengarang kitab tersebut, “Maqashid al-Qur’an cakupannya lebih luas, melingkupi banyak hal dibanding dengan maqashid al-syari’ah. Hal itu karena di dalam al-Qur’an mencakup bahasan yang luas meliputi akidah, akhlak, ibadah, muamalah, adab, politik, ekonomi, pendidikan, peradaban, penyucian jiwa, pemikiran, kemasyarakatan, berbagai perkara dan hubungan interaksi yang berbeda-beda.” Pada titik ini, Abu Zayd seolah ingin menunjukkan bahwa gagasannya itu mengandung aspek kebaruan (novelty), sesuatu yang diidamkan dalam tradisi akademik kita. (Hlm. 16.)

Baca Juga  Tadarus Litapdimas (10): Bagaimana Agama Mengkonstruksi Seksualitas Perempuan?

Nuansa Ilmiah Tafsir Maqasidi

Buku tersebut disajikan dalam alur uraian ilmiah khas akademik modern. Telaah pustaka disajikan sebagai hidangan pembuka untuk melihat diferensiasi pendekatan yang diusung tafsir maqasidi vis a vis metode-metode tafsir terdahulu seperti tahlily (analitik), mawdhi‘iy (atomistik), ijmaly (global), mawdhu‘iy (tematik), muqarin (komparatif) dan sunany (profetik). Kebaruan menjadi nilai tambah bagi tafsir ini dan karenanya layak dipertimbangkan sebagai alternatif penafsiran al-Qur’an di era ‘Big Data’. (Hlm. 23-27.)

Untuk menunjukkan betapa komprehensif gagasannya, Abu Zayd membuat percabangan maqashid ke dalam 5 bagian, yaitu: (1) umum; (2) khusus; (3) surah-surah al-Qur’an; (4) ayat-ayat al-Qur’an; dan (5) kata dan huruf al-Qur’an. Menurut hemat penulis, tidak ada yang istimewa dalam pencabangan ini kecuali hanya suguhan logika piramida terbalik saja. Sebagai konsekuensinya, saat hendak melihat satu atau lebih maqashid ayat al-Qur’an, di mana ia terletak di posisi 4, maka pemahaman atas maksud umum dan khusus al-Qur’an (posisi 1 dan 2) harus terlebih dahulu dipahami dengan baik. Begitu juga pemahaman atas posisi 3, tempat di mana maqshad global surah al-Qur’an berada. (Hlm. 28-83.)

Untuk dapat mencapai layers (lapis-lapis) percabangan maqashid di atas, Abu Zayd menawarkan 4 metode penting, dan sepertinya di sinilah ruh tafsir maqasidi. (Hlm. 84-110.) Pertama, metode ‘tekstual’. Hal termudah memahami al-Qur’an tentu melalui telaah atas aspek tekstualnya. Di luar potensi makna kontekstual dan implisitnya, ayat al-Qur’an sejatinya telah siap sedia dengan makna harfiahnya yang eksplisit. Namun, untuk mereduksinya menjadi pemahaman berbasis terjemahan al-Qur’an semata, penulis sama sekali tak sepakat. Sayang sekali Abu Zayd tak menggarisbawahi hal ini.

Kedua, metode ‘induktif’. Ada pengakuan bahwa Abu Zayd mengadopsi tafsir tematik dalam proses penafsiran maqasidinya. Namun, alih-alih hanya terjebak dalam satu tema khusus, ragam dimensi perlu disajikan agar tidak kaku dalam membatasi potensi maqshad-maqshad lain yang mungkin dapat muncul dan tersaji tanpa diduga.

Baca Juga  Rembug Manusia Semesta

Ketiga, metode ‘konklusif’. Awalnya diduga akan menawarkan teknis yang rumit, ternyata metode konklusif semata-mata melanjutkan metode induktif yang secara rigid diikuti dengan proses analisis mendalam yang khas seperti dalam Ulumul Qur’an. Ketiga metode di atas tampak seperti satu kesatuan utuh dan tidak bisa saling berdiri sendiri.

Pada akhirnya, metode keempat, yaitu metode ‘eksperimen para pakar al-Qur’an’, justru tampak seperti versi ‘matang’ dari ketiga metode terdahulu. Kita hanya perlu menikmati hasil tafsiran para pakar tafsir al-Qur’an. Agar tidak terasa naif, setidaknya kita perlu mempelajari atau meniru metode para pakar dalam mengupas ayat-ayat al-Qur’an, yang barangkali teknis-teknisnya tidak tercakup dalam ketiga metode terdahulu.

Selain 2 aspek besar di atas, yaitu percabangan maqashid dan 4 metode Tafsir Maqasidi, buku ini juga mengetengahkan aturan-aturan dasar yang perlu dipahami saat melakukan penafsiran berbasis maqashid. Sisa 2 bab lainnya hanya membahas syarat-syarat mufasir ala maqasidi dan manfaat dari tafsir ini yang tidak terlalu urgen, meski tetap layak disimak.

Memaklumi Klaim Sepihak

Abu Zayd melempar klaim bahwa Tafsir Maqasidi, “…lebih luas dan melingkupi lebih banyak hal dibanding dengan maqashid al-syariah.” Dalam catatan penulis, pengakuannya perihal metode ‘eksperimen para pakar al-Qur’an’ justru seperti menampar muka Abu Zayd sendiri.

Menurutnya, “Kemampuan tersebut lahir karena masa interaksi yang panjang dengan al-Qur’an, bergaul dengannya, dan mentadaburinya.” (Hlm. 110.) Loh, apakah Abu Zayd tidak tahu bahwa para fuqaha yang merumuskan maqasid al-syari’ah itu juga merupakan pakar yang multi disiplin? Jika yang dijadikan patokan adalah masa interaksi dengan al-Qur’an, maka sangat mungkin posisi tafsir maqasidi ini berada beberapa langkah di belakang maqashid al-syari’ah.

Apapun klaim-klaim lemah yang ditemukan di buku ini, perlu diakui bahwa usia gagasan tafsir maqasidi ini masih cukup belia. Termasuk rancunya metode ‘induktif’ dan ‘konklusif’ yang mungkin tampak sama dengan metode tafsir tematik. Karena ide tersebut pertama kali muncul pada tahun 2015 yang kemudian dibukukan pada tahun 2019. Abu Zayd sendiri mengakui bahwa, “Buku sederhana ini berusaha memberi pijakan awal bagi metode dan model tafsir maqasidi.” Dia berharap gagasan tafsir maqasidi ini kelak dapat dilengkapi oleh para pemikir lain. (Hlm. 14 dan 221.)

Baca Juga  Muhammad bin Abdul Wahab Tak Mengingkari Tawasul, Lantas Kemana Wahabi Berkiblat?

Akhir kata, buku ini diterjemahkan dengan sangat baik. Sehingga seluruh ulasan dan penjelasan teknis dapat dipahami dengan mudah. Selamat membaca. [FYI]

Ahmadi Fathurrohman Dardiri Pengajar Tafsir di Fakultas Syariah IAIN Surakarta.