Heru Setiawan Alumni PP. Lirboyo-Kediri, Staf Departeman Manuskrip Islam Jawa, IJIR-IAIN Tulungagung

Muhammad bin Abdul Wahab Tak Mengingkari Tawasul, Lantas Kemana Wahabi Berkiblat?

2 min read

Tawasul sudah dipraktikkan sejak lama di Indonesia dan masih langgeng hingga kini. Bagi para pelakunya, tawasul tidak lain adalah doa, meminta hanya kepada Allah yang Maha Kuasa. Dalam praktik doa ini, orang-orang menyebut nama Nabi, atau orang-orang saleh hanya sebagai perantara, bukan Dzat yang diminta.

Itulah gambaran praktik tawasul sependek pengetahuan saya. Bagi saya, tidak ada yang aneh dari pratik semacam itu, apalagi sampai haram atau syirik. Namun ceritanya akan menjadi beda saat merujuk pendapat sebagaian aliran Islam semisal Wahabi. Bagi mereka, tawasul adalah hal yang tidak benar, bidah bahkan syirik. Karena itu, menurut mereka praktik tawasul haram hukumnya dan harus diingkari.

Pandangan semacam itu tentu dipertanyaan ulang, apa landasan dan dari mana asalnya. Sebagaimana yang kita ketahui, sekte Wahabi ini seringkali dikaitkan (atau bahwakan mengaitkan) keberadaanya dengan sosok Muhammad bin Abdul Wahab. Bahkan ada yang mengatakan bahwa sekte ini didirikan olehnya. Akan tetapi, klaim dan penilaian sekte Wahabi terhadap tawasul tersebut justru tidak sesuai dengan pendapat Muhammad bin Abdul Wahab.

Sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki dalam Mafāhim Yajibu An Tusahhah (Hai’ah As Shofwah, h. 149), Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah mengharamkan praktik tawasul atau mengingkarinya. Tawasul menurutnya boleh dilakukan, baik itu tawasul kepada Nabi ataupun orang-orang saleh. Hal ini dapat disimak dari kisah berikut.

Diceritakan, suatu hari Muhammad bin Abdul Wahab ditanya mengenai pendapatnya yang berbunyi “Tidak apa-apa tawasul dengan para orang saleh” dan “bahwa sesungguhnya tidak diperbolehkan memohon pertolongan kepada makhluk”. Mendengar pertanyaan itu, Muhammad bin Abdul Wahab menjawab:

 “Perbedaaanya antara keduanya sangat jelas. Menganai hal itu bukanlah keahlian saya. Sebagian ulama memberi keringanan (rukhsah) tentang diperbolehkannya Tawasul dengan orang-orang saleh. Sebagian lain hanya memperbolehkan Tawasul khusus kepada Nabi. Kebanyakan ulama melarangnya dan menganggapnya makruh”.

Jelas sekali dalam petikan pendapat di atas, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab menganggap beda, antara Tawasul dengan orang-orang sahluh, dan meminta pertolongan kepada makhluk. Menurutnya, yang tidak diperbolehkan adalah meminta pertolongan kepada makhluk, sehingga melupakan Allah. menyerahkan semua kesusahannya kepada makhluk.

Baca Juga  [Resensi Buku]: Tafsir Maqasidi, Puncak dari Segala Jenis Tafsir?

Tidak hanya itu, Muhammad bin Abdul Wahab bahkan melarang pengingkaran terhadap para pengamal tawasul. Ini ia sampaikan dalam ungkapan berikut:

“Semua itu adalah permasalahan fikih, meskipun pendapat yang benar menurutku adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hal itu makruh. Meski begitu, kita tidak boleh mengingkari orang yang melakukan tawasul. Tidak ada pengingkaran dalam permasalahan ijtihad.”

Jelas sekali, dalam petikan di atas bagaimana Muhammad bin Abdul Wahab tidak melarang tawasul. Ia memaparkan pendapatnya, bahwa menurutnya pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama. Akan tetapi perlu diingat, bahwa pendapat tersebut sama sekali tidak melarang praktik tawasul. Hukumnya pun juga makruh, tidak sampai haram.

Tidak hanya itu, Muhammad bin Abdul Wahab selanjutnya juga menyatakan bahwa tidaklah diperbolehkan mengingkari orang yang mengamalkan tawasul. Menurutnya, tawasul merupakan salah satu praktik keagamaan hasil ijtihad. Karena itulah tawasul tidak sepatutnya diingakari.

Dengan begitu sangatlah jelas, bahwa sebenarnya Muhammad bin Abdul Wahab tidak melarang, mengharamkan atau mengkafirkan para pengamal tawasul. Tawasul diperbolehkan jika seseorang tetap meminta kepada Allah saja. Para Nabi atau orang-orang saleh adalah perantara, sedangkan Dzat yang dituju sebenarnya hanyalah Allah semata, sebagaimana pendapatnya berikut:

“Tetapi pengingkaranku terhadap orang-orang yang berdoa atau meminta kepada makhluk lebih besar daripada meminta kepada Allah. Memohon pada semisal kuburan Syaikh Abdul Qadir atau selainnya, dengan maksud agar dihilangkan kesedihannya, pertolongan akan kesusahan, atau dikabulkannya permintaan, ini yang aku ingkari”.

Ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa tawasul tidaklah dilarang. Satu-satunya hal yang tidak diperbolehkan adalah praktik meminta-minta atau memohon sesuatu kepada selain Allah. Itupun jika keyakinannya kepada selain Allah lebih besar dibanding keyakinannya kepada Allah, sehingga meminta kepada selain-Nya.

Baca Juga  Suwuk Mbah Di dan Gol Satu Arah

Tidak hanya itu, Muhammad bin Abdul Wahhab bahkan memberikan contoh dari praktik tawasul. Hal ini sebagaimana ungkapannya berikut:

“Tetapi seseorang berkata dalam doanya: ‘Aku meminta dengan perantara Nabi-Mu’ atau ‘dengan perantara para Rasul’ atau ‘dengan perantara para hamba-Mu yang saleh’ atau mendatangi kuburan (orang saleh), baik diketahui namanya maupun tidak, lalu berdoa di sebelahnya. Tapi dia tidak berdoa atau memohon kecuali hanya kepada Allah. Maka semua itu termasuk sesuatu yang kami ada di dalamnya (kami setujui)”. (Muhammad bin Abdul Wahab, Majmū’at al-Mu’allafāt, Juz 3, h. 68).

Dari ungkapan tersebut, jelas sekali bahwa Muhammad b. Abdul Wahab tidak melarang tawasul, bahkan jika hal itu dilakukan di samping kuburan Nabi atau orang saleh. Apa yang dia tolak sebenarnya adalah praktik memohon kepada selain Allah saja. Sedangkan jika ada orang yang melakukan tawasul, namun ia tetap meminta pada hanya kepada Allah semata, maka hal itu diperbolehkan, bahkan Muhammad bin Abdul Wahab menyetujui dan melakukannya.

Sampai sini jelas sekali, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab yang sering dirujuk oleh Wahabi tidakah melarang atau mengingkari para pelaku tawassul. Baginya, tawasul tidaklah haram apalagi sampai menjadikan syirik atau kafir. Jika begitu, ke manakah sebenarnya Wahabi berkiblat? [MZ]

Heru Setiawan Alumni PP. Lirboyo-Kediri, Staf Departeman Manuskrip Islam Jawa, IJIR-IAIN Tulungagung