Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah (Ahlussunnah wal-Jamaah), yang dalam istilah masyarakat Indonesia juga dikenal sebagai Aswaja, dijelaskan dalam kitab Ziyādat Ta‘īiqāt karya KH. Hasyim Asy’ari sebagai kelompok ahli tafsir, ahli hadis, dan ahli fikih. Mereka mengikuti dan memegang teguh sunah Nabi serta mengikuti khulafaurasyidin. Mereka dianggap sebagai kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah) dan mengikuti empat mazhab, yaitu Hanafi, Syafi‘i, Maliki, dan Hanbali.
Dari pengertian tersebut, Aswaja bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi terhadap aliran-aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki. Sebaliknya, Aswaja adalah Islam murni yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan diamalkan oleh para sahabat dan tabiin. Artinya, Aswaja merupakan Islam murni yang berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW, yang kemudian diteruskan oleh para sahabat.
Setelah itu, para ulama merumuskan kembali ajaran Islam ini untuk mengatasi paham dan aliran-aliran yang mencoba memecah belah ajaran Nabi dan para sahabat yang murni masih murni tersebut. Dalam ajaran Aswaja terdapat tiga aspek penting dalam agama Islam: īman, islām, dan iḥsān.
Meskipun dari segi ilmiah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, para ulama telah memisahkannya menjadi ilmu-ilmu tersendiri. Īmān menghasilkan ilmu tauhid atau ilmu kalam, islām—dalam arti sempit—membawa ilmu fikih atau ilmu hukum Islam, dan iḥsān menghasilkan ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.
Ciri khas Aswaja adalah keyakinan bahwa Tuhan ada tanpa arah dan tempat, yang membedakan mereka dari aliran lainnya. Terdapat banyak dalil, baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun dalil ‘aqli (berdasarkan akal manusia), yang menunjukkan bahwa Tuhan ada tanpa arah dan tempat.
Para ulama Aswaja menjelaskan bahwa alam terbagi menjadi dua: benda (‘ayn) dan sifat benda (‘araḍ). Benda juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu al-jawhar al-farḍ (benda yang tak dapat dibagi lagi) dan jism (benda yang dapat dibagi menjadi bagian-bagian).
Benda memiliki sifat yang melekat padanya seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik, dan sebagainya. Namun, Tuhan tidak bisa disifati dengan sifat-sifat benda, karena jika demikian, banyak yang akan serupa dengan-Nya, dan itu akan mengakibatkan Tuhan memiliki dimensi, yang merupakan ciri makhluk yang membutuhkan kepada penciptanya.
Imran bin Husayn pernah berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tuhan ada pada azali (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu pun selain-Nya.’” Hadis ini menjelaskan bahwa Tuhan ada sejak azali (tanpa permulaan), tanpa ada yang bersama-Nya. Tuhan juga tetap dalam wujud-Nya yang asli, yaitu ada tanpa arah dan tempat, karena perubahan adalah ciri sesuatu yang baru.
Sekarang, jika akal mampu menerima bahwa Tuhan ada sebelum penciptaan tempat dan arah, maka dengan yakin akal dapat menerima bahwa Tuhan tetap ada tanpa tempat dan arah setelah penciptaan tempat dan arah tersebut. Ini bukanlah penafian atas wujud Tuhan.
Abu Hurayrah meriwayatkan dari Nabi, yang bersabda, “Engkaulah al-Ẓāhir (bahwa segala sesuatu menunjukkan eksistensi-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu. Dan Engkaulah al-Bāṭin (bahwa Dia tidak dapat dibayangkan), tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (HR. Muslim).
Dasar-dasar akidah Aswaja berprinsip pada keyakinan yang berkaitan dengan tauhid dan aspek lainnya, yang menurut Aswaja harus didasarkan pada dalil dan argumen yang sudah pasti atau qaṭ‘i dari Al-Qur’an, hadis, ijmak ulama, dan argumentasi akal yang sehat. Beberapa poin penting yang perlu dicatat sebagai aspek prinsipiil dalam ajaran Aswaja ada empat.
Pertama, Al-Qur’an adalah prinsip utama dalam semua argumen dan dalil. Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran risalah Nabi Muhammad. Al-Qur’an juga merupakan kitab terakhir dari Tuhan yang menguatkan pesan-pesan kitab-kitab samawi sebelumnya. Tuhan memerintahkan kaum Muslim untuk selalu merujuk persoalan yang diperselisihkan kepada Tuhan dan rasul-Nya.
Kedua, hadis adalah dasar kedua dalam menetapkan akidah dalam Islam. Namun, tidak semua hadis dapat digunakan sebagai dasar untuk menetapkan akidah. Hadis yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah adalah hadis yang perawinya diakui dan dipercayai oleh para ulama.
Ketiga, ijmak ulama yang mengikuti ajaran ahl al-ḥaqq dapat dijadikan argumen dalam menetapkan akidah. Sebagai contoh, penetapan bahwa sifat-sifat Tuhan itu qadīm (tidak memiliki awal) didasarkan pada ijmak ulama yang bersifat qaṭ‘i.
Keempat, dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan, sifat-sifat Nabi, sifat-sifat malaikat, dan hal-hal lainnya, para ahli kalam hanya bergantung pada penalaran akal semata. Mereka membahas hal ini dengan tujuan membuktikan kebenaran semua yang disampaikan oleh Nabi dengan bantuan akal. Menurut mereka, akal berfungsi sebagai alat untuk membuktikan kebenaran syariat dan bukan sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. [AR]