Lalu Agus Satriawan Dosen UIN Mataram Nusa Tenggara Barat; Alumnus Universitas al-Azhar Mesir

Bagaimana Penjelasan Tasawuf tentang Kewalian

3 min read

Foto: www.pinterest.co.uk

Dalam terminologi tasawuf, kata wali dan kewalian secara etimologis berasal dari kata walā atau waliya, walāyah atau wilāyah [al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, 195]. Lafal ini—menurut Ibn Manzūr dalam Lisān al-‘Arabbermakna dekat, kekasih, teman, penolong, pemilik, hamba, atau kerabat dekat. Ibn Manzūr juga mengatakan bahwa kata wali merupakan salah satu nama Allah yang berarti penolong yang menguasai seluruh makhluk dengan segala permasalahan. Juga berarti pemilik segala sesuatu dan bertindak atasnya. [Ibn Manzūr, Lisān al-’Arab, Vol. 15, 406]

Sedangkan Ibn Fāris mengatakan bahwa kata wali menunjukkan arti kedekatan. Demikian juga dengan kata derivasinya, mawlā, berarti yang dimerdekakan (hamba), kawan, wakil, sepupu, penolong, tetangga. Mereka semua termasuk wali dalam arti kedekatan. [Ibn Fāris, Mujam Maqāyīs al-Lughah, Vol. 6, 141.]

Dalam bahasa Arab, lafal ini telah dipergunakan jauh sebelum datangnya Islam dan sebelum munculnya tasawuf. Makna awal kata ini adalah kedekatan, karena kata ini menunjukkan arti sepupu dan saudara kaum kerabat dari hubungan darah. Di samping itu juga bahwa dalam kehidupan kabilah, kedekatan yang disebabkan oleh hubungan darah adalah yang paling utama untuk ditolong, dijaga, dan dipelihara. Dari sini mulailah berkembang arti wilayah menjadi pertolongan, penjagaan, dan pemeliharaan [Abu al-A’la al-Afifi, al-Tasawuf al-Thawrah al-Rūhiyah fī al-Islām, 290.]. Karena itu pula, dari makna kedekatan dalam hubungan kekerabatan, kata wilayah berevolusi menjadi makna kedekatan dalam hubungan sosial.

Dalam al-Qur’ān dan hadis, kata wali (jamak awliyā‘) ditemukan di beberapa tempat. Kata ini tidak saja ditujukan untuk manusia, akan tetapi Allah sendiri menyatakan diri-Nya sebagai wali bagi orang-orang yang beriman (Q.S. al-Jāthiyah [45]: 18), wali bagi orang-orang yang bertakwa, wali yang menghidupkan dan mematikan (Q.S. al-Shūrā [42] 10), dan wali yang terpuji (Q.S. al-Shūrā [42]: 28). Dalam bentuk plural, dapat bermakna positif yang menunjukkan arti hamba-hamba-Nya yang muqarrabīn dan yang berjuang di jalan-Nya (Q.S. Yūnus [10]: 63), dan wali-wali-Nya yang tidak memiliki rasa takut ataupun kesedihan (Q.S. Yūnus [10]: 62). Kata ini dapat juga mengandung arti negatif, wali-wali setan (Q.S. al-Nisā’ [4]: 76).

Baca Juga  Betulkah Toleransi Mencampuradukkan Akidah? (2)

Makna-makna etimologis dari kata wali tersebut dapat digolongkan menjadi dua kategori: pertama, berhubungan langsung dengan ide kedekatan, yang merupakan makna asal dari akar kata tersebut, sinonim dengan makna “teman”, “sahabat”, “famili”, “rekan”, “konselor”. Sedangkan yang kedua, bermakna “pelindung” ataupun “pengatur”. Eksistensi dari kedua kelompok makna ini berhubungan erat dengan wazan kata wali tersebut, yaitu faīl yang bermakna ganda; aktif dan pasif. [Michel Chodkiewicz, Seal of the Saints, 15]

Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan al-Qusyairi dalam al-Risālah-nya, bahwa kata wali memiliki dua makna: pertama, sebagai bentuk wazan fāil yang merupakan bentuk superlatif (mubālaghah) fā‘il, seperti qadīr atau ‘alīm, berarti orang yang konsisten dalam ketaatan tanpa dibarengi perbuatan maksiat. Kedua, sebagai bentuk wazan fā‘il dalam arti maf‘ūl, seperti qatīl yang berarti maqtūl atau jarīh yang berarti majrūh, berarti orang yang selalu dijaga oleh Allah sehingga ia tidak berbuat maksiat [al-Qushayrī, al-Risālah, 359.]. Dalam bentuk pertama ia berarti aktif, yaitu orang yang menginginkan (murīd) dan dalam bentuk bentuk kedua adalah pasif yaitu orang yang diinginkan Tuhan (murād).

Bentuk aktif disini, menurut al-Tirmidhī, adalah seseorang yang berusaha, dengan melalui usaha yang berjenjang, sampai pada tahap yang benar-benar s}iddīq, memerangi hawa nafsunya secara terus menerus hingga ia sampai kepada rahmat Allah. Orang tersebut dinamakan ahl s}udq, ia mengusahakan dirinya sesuai dengan fitrahnya dan usahanya masing-masing. Sedangkan bentuk pasif adalah orang yang ditarik (majdhūb), tidak ada pilihan lain baginya kecuali menjadi hamba yang murni. Bentuk pasif ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu orang yang memang dikehendaki Allah (ahl al-mashī‘ah) sehingga ia ditarik Allah, dan orang yang memang telah berusaha dan sampai pada tahap Wali Haq Allah dan kemudian ia ditarik menuju kepada wali Allah. Orang ini disebut ahl al-hidāyah. [‘Abd. al-Fattāh Abdullah Barakah, al-Hakīm al-Tirmīdhī wa Nazariyatuhu fī al-Walāyah, 76-78.]

Baca Juga  Menyerukan Pesan Kemanusiaan dan Religiusitas Tanpa Atribusi Religius di Dunia Showbiz: Mengenal Dimash Kudaibergen [Bagian 2]

Salah satu ciri khusus seorang wali adalah kedekatannya dengan Allah. Ciri ini berlaku bagi setiap Muslim, karena setiap orang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Menurut para sufi—sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Afifi dalam kitab al-Tasawuf al-Thawrah al-Rūhiyah fī al-Islām, seorang wali adalah seorang yang telah sampai pada maqām kedekatan dengan Allah, disebabkan karena kesucian, ke-wara’-an dan kefanaannya dalam cinta ilahi.

Ketika ciri tersebut berlaku bagi setiap Muslim yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, maka kewalian itu adalah kewalian umum. Jika berlaku hanya pada orang-orang yang “telah sampai” di hadirat ilahi, maka kewalian tersebut adalah kewalian khusus [al-Tirmidhī, Kitāb Khatm al-Awliyā, 491]. Sehingga dapat dikatakan bahwa sufi adalah “khas”nya Muslim dan wali adalah “khas”nya sufi. Alhasil, wali adalah “khas”nya Muslim. Kewalian adalah tingkatan spiritual yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh setiap Muslim.

Seorang wali selalu disibukkan dengan mengingat Allah dan seluruh hidupnya dipersembahkan hanya untuk-Nya. Wali adalah ia yang telah dapat membebaskan diri dari jerat hawa nafsunya, kecenderungan-kecenderungan jiwa rendahnya, dan hubungan dirinya dengan alam sekitar. Karena itu, sangatlah wajar jika ia telah sampai pada tingkatan ini. Seluruh pikiran dan bisikan hatinya akan sesuai dengan kehidupan spiritualnya. Bahkan lebih dari itu, karena kebersihan hatinya, ia mampu mengetahui hal-hal yang gaib dan hakekat sesuatu melalui kashf dan ilham. [MZ]

Lalu Agus Satriawan Dosen UIN Mataram Nusa Tenggara Barat; Alumnus Universitas al-Azhar Mesir

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *