Nuril Hidayah Pengajar di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk

Menyerukan Pesan Kemanusiaan dan Religiusitas Tanpa Atribusi Religius di Dunia Showbiz: Mengenal Dimash Kudaibergen [Bagian 2]

3 min read

Dimash Kudaibergen adalah satu di antara sekian penyanyi Muslim yang memasuki pasar internasional. Maher Zain dan Raef Haggag sudah terlebih dahulu go international. Maher adalah penyanyi Swedia asal Lebanon, sedangkan Raef dari Amerika. Keduanya dikenal sebagai penyanyi lagu Muslim modern. Sekalipun memilih pasar yang sangat segmented, Maher dan Raef dianggap sukses mengglobal karena berhasil memasuki pasar negara-negara dengan populasi Muslim terbesar seperti Indonesia.

Berbeda dengan Maher dan Raef, Dimash tidak menekuni musik religius. Seperti penyanyi pada umumnya, tema lagu-lagu Dimash bernuansa sekuler. Tetapi jalannya meraih popularitas justru lebih sulit karena ia memilih genre yang non-mainstream. Genre ini ia sebut neoclassic atau crossover

Dalam genre ini Dimash menginkorporasikan unsur-unsur klasik dan folk ke dalam musik kontemporer. Tidak banyak orang yang menyukai genre ini. Mungkin itulah mengapa Dimash sulit menembus pasar Amerika dan Indonesia karena musik sekuler Indonesia masih berkiblat ke Amerika. Sekalipun demikian, konser solo pertamanya di Amerika Desember 2019 lalu berhasil menjual habis tiket dan membuat sekitar 19,000 orang memenuhi Barclay Center.

Integritas dan kebebasan dalam berkarya adalah dua hal penting yang membentuk profesionalitas Dimash dalam bermusik. Dalam suatu wawancara radio, Dimash mengungkapkan kritiknya atas dunia politik dan showbiz. Keduanya memiliki kesamaan, lebih mengutamakan soal PR (public relation) daripada kepemimpinan (dalam politik) atau musik (dalam showbiz).

Karena itulah ia tidak menyukai sisi komersil industri musik. Demi menjaga dua hal penting di atas, Dimash tidak pernah memiliki produser. Aktivitas kreatifnya ada di bawah naungan Dimashali Creative Center, rumah produksi yang dikelola keluarga dan teman-temannya sendiri. Dengan begitu, Dimash mendapat kebebasan berkreasi dan bereksperimen. Lagu-lagu yang ia nyanyikan juga dipilihnya sendiri dan vokalnya pun diaransemen sendiri. Adapun aransemen musiknya diserahkan pada sahabatnya, Erlan Beckchurin.

Baca Juga  [Puisi] Memperingati Hari Puisi Nasional di Tengah Pandemi

Dimash tidak membatasi diri dalam bereksperimen. Ia seringkali mendobrak berbagai pakem seperti konsistensi style dalam satu lagu, atau pakem bahwa register suara tertentu hanya untuk gender tertentu. Pada kebanyakan kasus, dalam satu lagu Dimash didapati berbagai sentuhan style seperti opera, pop, rock, jazz, dan folk. Range-nya pun kebanyakan lebih dari 3 oktaf, tidak seperti lagu-lagu pada umumnya.

Pilihan ini bukan tidak berisiko. Jika gagal meramu dengan baik, lagu bisa menjadi mozaik tak beraturan di mana bagian-bagiannya terlihat tak menyatu. Akan tetapi, Dimash bisa dikatakan sangat berhasil karena dapat memikat penikmat musik dari berbagai genre, baik klasik, pop, jazz, rock, metal head, dan sebagainya. Dimash membuat pendengarnya menikmati roller coaster musik, atau musical theatre. Ragam komentar kekaguman kemudian diatribusikan padanya mulai dari “alien”,”angel”, “superhuman”, “vocal beast”, “voice technician”, dan masih banyak lagi.

Igor Krutoy, seorang komposer ternama di Rusia yang banyak menciptakan lagu untuk Dimash, mengatakan, Dimash memiliki fans yang dapat membuat iri artis-artis dunia. Saat ini, Dimash memiliki fanbase yang sangat loyal di lebih dari 120 negara. Loyalitas ini membuat album pertamanya meraih platinum dalam waktu 37 detik saja dan meraih triple platinum dalam waktu 1 jam. Selain itu, fans Dimash rela terbang melintasi benua untuk menyaksikan Dimash bernyanyi. Statistik pembelian tiket konsernya yang hampir selalu sold-out menunjukkan pembelian oleh penonton yang berasal dari lebih dari 60 negara.

Karena itulah, Igor bahkan menilai Dimash sedang memulai arah baru dalam industri musik. Di masa ketika suatu lagu dianggap nge-hits tergantung dari seberapa banyak diputar di radio dan kafe-kafe, di era auto-tune dan backtrack dalam performance musik, Dimash membuat orang kembali bersemangat merasakan sensasi live performance.

Keunikan lain fanbase Dimash adalah demografinya yang sangat beragam, baik dari segi budaya, agama, negara, usia, dan genre musik. Multikulturalitas ini tampak di banyak scene. Konser-konser Dimash dihadiri penonton dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga manula. Dalam konser itu, mereka menyanyikan lagu berbahasa Kazakh, Inggris, China, Rusia bersama Dimash.

Baca Juga  [Resensi Buku] Menyoal Batasan Hijab dan Jilbab Perempuan

Contoh lainnya, ucapan selamat menyambut Ramadan dari fans yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan negara membanjiri akun Instagram Dimash, dan ucapan itu tidak hanya ditujukan untuk Dimash tetapi juga sesama fans lain yang Muslim.

Inklusivitas yang sangat menonjol dalam interaksi antar fans ini rupanya tidak hanya didorong oleh keberagaman demografi saja, tetapi juga karena fansnya berusaha melaksanakan nilai-nilai yang senantiasa dipromosikan oleh Dimash. Dalam konser-konsernya, Dimash selalu menyelipkan pesan-pesan universal seperti “Tuhan tidak punya kebangsaan. Karena itu tidak ada yang namanya bangsa yang buruk.”

Kali lain, Dimash mengatakan, “Kita lahir pertama-tama sebagai manusia, bukan penyanyi, guru, dan sebagainya. Karena itu, sebelum berusaha sukses sebagai apapun, sudah seharusnya kita berusaha berhasil menjadi manusia.”

Sebelum menyanyikan lagu ciptaannya “War and Peace”, Dimash juga pernah memberikan pengantar “Kita bukan Tuhan. Jadi tidak berhak memilihkan pilihan hidup orang lain. Banyak perang terjadi karena orang-orang dewasa saling memaksakan kehendak. Dan anak-anak menjadi korban karena perselisihan itu. Seharusnya, kita dapat hidup dengan damai untuk memastikan anak-anak tidak menderita karena konflik orang dewasa.” Pengantar ini terdengar begitu senada dengan pesan kemanusiaan Gus Dur untuk membangun peradaban di mana manusia bisa saling mencintai, saling mengerti dan saling menghidupi.

Tampaknya, Dimash menjadi magnet bagi banyak fans di seluruh dunia karena kombinasi antara suara dan skill bernyanyi yang luar biasa, penampilan yang rupawan, dan kepribadiannya yang sangat humanis. Dimash adalah contoh bagaimana seseorang yang nyanyiannya dapat menyatukan orang dari berbagai belahan dunia, adalah juga seorang patriot yang sangat menghormati akar budayanya, mencintai keluarga, menghormati para orang tua, dan sangat lembut serta penyayang kepada anak-anak.

Baca Juga  Alif dan Mim (1): Sebuah Roman

Capaian Dimash merupakan buah dari prinsip hidupnya bahwa bakat bermusiknya merupakan amanah, dan bukan sekadar wahana aktualisasi diri. Dari fenomena Dimash kita dapat belajar bahwa musik tidak hanya dapat digunakan untuk menghibur, atau membawa pendengar ke dimensi lain. Seorang performer juga dapat menjadi edukator yang menginspirasi pendengar untuk menggali sisi-sisi terbaiknya sebagai manusia. []

Nuril Hidayah Pengajar di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *