Muhammad Ahalla Tsauro MA at National University of Singapore

Ziarah Makam Habib Noh: Menjaga Tradisi di tengah Modernitas Singapura

3 min read

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan hadir kembali untuk ziarah ke makam seorang wali besar di Singapura yakni Sayyid Noh bin Muhammad bin Ahmad Alhabsyi atau yang lebih dikenal dengan nama Habib Noh. Makam beliau terletak di jalan Palmer, Singapura. Tidak jauh dari Shenton Way Bus Terminal dan MRT Tanjong Pagar.

Sama seperti ziarah-ziarah sebelumnya, saya juga bertemu dengan peziarah dari Indonesia yang sedang berwisata. Tidak jarang pula saya berbincang dengan peziarah dari komunitas Melayu yang ternyata juga sering berkunjung ke Indonesia, seperti menghadiri Haul Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang), Habib Abu Bakar Gresik, Habib Ali Kwitang dan masih banyak lagi.

Saat masa pandemi lalu, kegiatan di situs ini pun tak pernah sepi dan masih tetap berjalan namun dengan pembatasan jumlah pengunjung. Misalnya, saat peringatan haul beliau di bulan Oktober tahun 2021, jamaah yang hadir dibatasi hanya sampai 50 orang saja.

Acara haul tersebut diadakan di dalam Masjid Haji Muhammad Salleh yang diambil dari nama sahabat baik Habib Noh asal Batavia, yang terletak persis di samping makam. Tepatnya setelah Isya’, acara dimulai dengan pembacaan Maulid Dibai, Manaqib Sahibul Haul, dan diakhiri dengan ziarah bersama.

Secara umum, para peziarah yang berkunjung ke makam Habib Noh seringkali menyempatkan diri untuk mampir ke makam Sayid Abdurrahman bin Salim Al-Habsyi, sepupu Habib Noh, yang terletak di belakang makam Habib Noh. Habib Abdurrahman selama hidupnya dikenal sebagai Qadhi atau hakim pertama di Singapura.

Habib Noh: Biografi dan Cerita Singkat

Seperti halnya makam-makam  wali di jawa, Makam Habib Noh tidak pernah sepi karena selalu dikunjungi peziarah setiap harinya, baik itu peziarah lokal maupun mancanegara. Sangat penting kemudian untuk mengetahui sisi dalam dari tokoh yang dihormati ini.

Baca Juga  Disunnahkan Membaca Doa-doa ini Sebelum Salam Saat Sholat

Dalam catatan Perpustakaan Nasional Singapura (NLB), terdapat beberapa dokumentasi mengenai beliau. Habib Noh lahir sekitar tahun 1788 M. dalam sebuah perjalanan di atas kapal dari Hadramaut menuju semenanjung Melayu. Ayah beliau memberi nama Noh sebagai bentuk syukur atas keselamatan dan rahmat selama perjalanan mengarungi lautan dan ombak.

Semasa hidupnya, Habib Noh belajar langsung dari ayahnya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari sana, ia tumbuh menjadi ulama yang sangat dihormati di Singapura, Johor dan Malaka. Habib Noh menikah dengan perempuan Melayu Sayyidah Hamidah dan dikaruniai seorang putri yakni, Syarifah Badaniah.

Habib Noh meninggal di usia 78 tahun tepatnya pada tahun 1866 M. Saat akan dimakamkan, peti jenazah beliau tidak bisa diangkat untuk dibawa ke tempat pemakaman umum yakni Bidadari Muslim Cemetry. Sampai akhirnya, ada seseorang mengingat bahwa Habib Noh ingin dimakamkan di puncak Gunung Palmer, maka seketika itu pula peti itu bisa diangkat. Tempat tersebut memiliki arti tersendiri bagi Habib Noh karena seringkali beliau menghabiskan waktunya menyendiri di tempat tersebut.

Pemakaman Habib Noh sempat mendapat penolakan dari seorang Parsi yang secara sah mengakuisisi Gunung Palmer dan menolak adanya makam di sana. Kemudian, orang ini mengizinkan sembari menuntut biaya yang sangat tinggi untuk pemakaman. Ketika sejumlah uang terkumpul dalam waktu singkat, orang Parsi ini malah meninggal dunia disusul dengan anggota keluarganya. Lantas, kejadian ini membuat keluarga Parsi ini khawatir dan memutuskan untuk mengembalikan uang kepada keluarga Habib Noh, sehingga kejadian tersebut berakhir.

Terdapat berbagai macam cerita mengenai makam Habib Noh. Salah satunya ialah ketika Perang dunia ke dua ketika sebuah bom menghantam area di Gunung Palmer, termasuk di kawasan makam Habib Noh. Anehnya, makam tersebut masih utuh dan tidak terdampak dari ledakan bom tersebut.

Baca Juga  Lailatur Qadar, Menghadirkan Citra Tuhan Yang Welas Asih

Cerita lainnya yang cukup terkenal ialah rencana pembangunan jalan tol pada tahun 1980-an yang secara perencanaan diharuskan melitasi kawasan sekitar makam. Keanehan pun terjadi lagi, buldoser yang berada di kawasan proyek dekat makam tidak dapat beroperasi selama beberapa percobaan. Hingga akhirnya, proyek pembangunan ini dialihkan ke jalan yang lain sembari meminta doa dari sohibul makam. Kemudian, proyek pun berjalan dengan lancar.

Terlepas dari cerita di luar nalar atau karamah beliau tersebut, bagi saya, mengunjungi makam Habib Noh di Singapura merupakan sebuah upaya menjaga tradisi positif di tengah kemegahan dan gemerlap negara maju.

Sangat penting kemudian untuk menengok sejarah singkat beliau sembari mengingat dan meneladani pesan dan ajaran beliau. Diantara nasehat yang terkenal ialah, “Jangan serakah akan harta dan materi yang bersifat duniawi, atau memiliki perasaan benci kepada siapapun sepanjang hidupmu.”

Keramat dan Komunitas Melayu

Dalam komunitas Melayu, makam seperti ini lebih popular dengan istilah keramat yang dalam Bahasa melayu berarti tempat yang membawa berkah. Sumit K. Mandal (2012) memaknai istilah ini tidak hanya pada makam akan tetapi juga individunya. Yang terakhir ia tekankan karena memiliki latar belakang etnik dan agama tertentu. Seringkali istilah ini melekat pada komunitas muslim yang kebanyakan dari tradisi Hadramaut, Yaman.

Mandal melihat bahwa keramat ini merupakan situs yang sangat penting bagi keberagaman sosial dan kultural suatu tempat. Artinya, terdapat interaksi kultural yang memiliki nilai sejarah tertentu yang sangat penting untuk memahami kondisi sosial masyarakat di kawasan tersebut. ditambah lagi, situs tersebut juga dapat memvalidasi proses islamisasi di kawasan yang telah dimulai sekitar tujuh ratusan tahun yang lalu.

Sementara itu, dalam observasi Snouck Hurgronje, keramat dianggap dapat menjadi tempat yang mampu menjembatani para jamaah untuk lebih dekat dengan Tuhannya. Ia juga mencatat, tidak jarang orang-orang datang ke makam untuk memenuhi nazar masing-masing.

Baca Juga  Konsep Aswaja Perspektif Nahdlatul Ulama

Kebangkitan keramat sebagai tempat praktik budaya multietnis dan hibrid mungkin terkait dengan munculnya jaringan sosial Muslim dan Islam di kawasan Samudera Hindia sebagai kerangka budaya lintas wilayah dari abad ke-15 M. hingga ke-18 M.

Azyumardi Azra (2013) percaya bahwa transmisi pemikiran Islam ke dunia Melayu dilakukan oleh ulama dari berbagai etnis dan campuran yang melakukan perjalanan melalui kota-kota pelabuhan budaya kosmopolitan antara Mekah dan Aceh, Pattani, Melaka, Banten, dan sebagainya.

Dari perspektif ini, munculnya negara-negara kolonial dan eksploitasi ekonomi yang intensif pada abad ke-19 yang semakin membatasi kosmopolitanisme Samudera Hindia dan menandai awal dari apa yang disebut Engseng Ho sebagai era ‘parokialisasi’.

Mungkin bukan suatu kebetulan bahwa banyak makam keramat terkemuka yang muncul pada periode antara abad ke-15 dan ke-18 di tempat-tempat seperti Aceh, Penang, Melaka, Jakarta, dan Surabaya. Di antara yang tertua dan paling terkenal adalah kuburan Wali Songo yang berjasa memperkenalkan Islam ke Jawa.

Berasal dari abad ke-16 M., kuburan ini merupakan salah satu rute ziarah paling menguntungkan saat ini. Koneksi keramat ini secara tidak langsung menjadi bukti sejarah Islam dan koneksi para tokoh di nusantara pada masa lalu.

Yang tidak kalah penting bagi saya, ada sisi lain yang menarik di tengah modernitas masyarakat Singapura, tradisi ziarah makam wali seperti ini masih memiliki nilai penting dalam level agama, kultural dan sosial dalam masyarakat. Tidak jarang pula, banyak tokoh masyarakat maupun politisi di sana berkunjung ke sana terleih  lagi ketika ‘musim politik’. [AA]

*artikel ini merupakan karya dua kontributor, Ahalla Tsauro dan Ahmad Lubab

Muhammad Ahalla Tsauro MA at National University of Singapore